Fenomena Kembar Buncing dalam Film Sekala Niskala
Kamila Andini selaku sutradara film Sekala Niskala (2017) berbagi seputar proses kreatif dalam pembuatan filmnya dalam UWRF 2018.
GIANYAR, NusaBali
Di Bali, istilah Sekala dan Niskala mungkin sudah tidak asing lagi. Secara filosofis, Sekala berarti ‘terlihat’ dan Niskala berarti ‘tidak terlihat.’ Jika dijabarkan lagi, Sekala Niskala juga bisa berarti gelap dan terang, matahari dan bulan, pria dan wanita, atau hal-hal beriringan lainnya yang saling melengkapi.
Melalui unsur spiritual dan tradisional tersebut, Kamila Andini, Sutradara pendatang baru yang telah sukses meraih berbagai penghargaan melalui film pertamanya The Mirror Never Lies (2011) dan kini Sekala Niskala (The Seen and Unseen) (2017) yang juga telah berkeliling dunia sejak tahun perilisannya, hadir berbagi cerita di Ubud Writers and Readers Festival 2018, pada Jumat (26/10) di Indus Restaurant, Jalan Raya Sanggingan, Ubud, Gianyar.
Menurut Kamila, proses pembuatan film ini sendiri tidaklah mudah, apalagi harus berkutat dengan biaya dan kebutuhan alat yang tidak sedikit. Seperti, ia harus menjelaskan pada donatur tentang film tersebut berulang-ulang kali dengan topik yang tentu sulit dijelaskan karena film Sekala Niskala mengambil tema yang absurd, juga kebutuhan pencahayaan yang tidak memadai karena proses shooting harus melalui hari gelap.
Ia juga bercerita, kurang lebih 5 tahun proses pembuatan film tersebut dan belum rampung. Lalu, Kamila berinisiatif untuk membuatnya dalam ‘kanvas’ kecil, dengan pemain dan latar yang minim. Bahkan, selama pembuatan, para kru harus berkutat dengan kesederhanaan.
“Akhirnya saya baca scriptnya, saya membuatnya dalam ‘kanvas’ kecil, seperti yang kita lihat hanya ada sedikit tokoh dalam film dan hanya ada 2 lokasi dalam film. Bahkan kami tidak tidur di hotel selama shooting. Kami tidur di rumah warga dan berjalan kaki untuk menuju tempat shooting. Bagi saya, biaya bukanlah hal utama, namun kreativitas itu lah yang utama, kita punya kebebasan untuk berkarya. Itu mengapa, saya tetap menjalankan produksi film ini,” ungkap Kamila dalam Bahasa Inggris.
Sering kali, hari yang mulai gelap menjadi penghalang yang berarti ketika tidak cukupnya penerangan yang mereka punya. Namun, Kamila mulai berpikir untuk tidak menjadikan gelap tersebut sebagai penghalang, melainkan memanfaatkan gelap sebagai unsur dalam cerita.
Sekala Niskala berkisah tentang sepasang saudara kembar (buncing), Tantra dan Tantri, yang sering menghabiskan waktunya berdua. Namun, Tantra jatuh sakit dan akhirnya meniggal. Tantri yang keras kepala tidak ingin menerima kepergian Tantra, lalu ia menciptakan dunianya sendiri dengan Tantra dalam percakapan niskala atau dalam imajinasi.
Perpaduan gelap dan terang sangat kentara terlihat tatkala kebahagiaan berubah menjadi kesedihan, juga unsur spiritual dan tradisi yang disajikan menjadi pelengkap yang apik dalam film tersebut. Setting tempat Pura mewakili unsur spiritual dalam film tersebut, juga ketika Tantri melakukan tarian untuk memuja Dewi Bulan. Unsur budaya datang dari kepercayaan masyarakat Bali terhadap fenomena kembar buncing yang dapat mendatangkan mara bahaya bagi keluarga bersangkutan atau pun desa setempat.
Akhirnya, setelah 12 hari melalui proses shooting, film Sekala Niskala pun rampung. Sejumlah penghargaan pun sempat diraihnya, beberapa di antaranya yaitu, Film Terbaik dalam Berlinale (2018), Toronto International Film Festival (2017), Grand Prix di Tokyo FILMeX (2017), Film Remaja Terbaik di Asia Pasific Screen Awards (2017), dan Golden Hanoman Award di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (2017). Setelah Sekala Niskala, Kamila membocorkan sedikit rahasia, bahwa ia akan merilis film barunya yang masih dikerjakan scriptnya. Katanya, film tersebut berkisah tentang pernikahan remaja. *ph
Di Bali, istilah Sekala dan Niskala mungkin sudah tidak asing lagi. Secara filosofis, Sekala berarti ‘terlihat’ dan Niskala berarti ‘tidak terlihat.’ Jika dijabarkan lagi, Sekala Niskala juga bisa berarti gelap dan terang, matahari dan bulan, pria dan wanita, atau hal-hal beriringan lainnya yang saling melengkapi.
Melalui unsur spiritual dan tradisional tersebut, Kamila Andini, Sutradara pendatang baru yang telah sukses meraih berbagai penghargaan melalui film pertamanya The Mirror Never Lies (2011) dan kini Sekala Niskala (The Seen and Unseen) (2017) yang juga telah berkeliling dunia sejak tahun perilisannya, hadir berbagi cerita di Ubud Writers and Readers Festival 2018, pada Jumat (26/10) di Indus Restaurant, Jalan Raya Sanggingan, Ubud, Gianyar.
Menurut Kamila, proses pembuatan film ini sendiri tidaklah mudah, apalagi harus berkutat dengan biaya dan kebutuhan alat yang tidak sedikit. Seperti, ia harus menjelaskan pada donatur tentang film tersebut berulang-ulang kali dengan topik yang tentu sulit dijelaskan karena film Sekala Niskala mengambil tema yang absurd, juga kebutuhan pencahayaan yang tidak memadai karena proses shooting harus melalui hari gelap.
Ia juga bercerita, kurang lebih 5 tahun proses pembuatan film tersebut dan belum rampung. Lalu, Kamila berinisiatif untuk membuatnya dalam ‘kanvas’ kecil, dengan pemain dan latar yang minim. Bahkan, selama pembuatan, para kru harus berkutat dengan kesederhanaan.
“Akhirnya saya baca scriptnya, saya membuatnya dalam ‘kanvas’ kecil, seperti yang kita lihat hanya ada sedikit tokoh dalam film dan hanya ada 2 lokasi dalam film. Bahkan kami tidak tidur di hotel selama shooting. Kami tidur di rumah warga dan berjalan kaki untuk menuju tempat shooting. Bagi saya, biaya bukanlah hal utama, namun kreativitas itu lah yang utama, kita punya kebebasan untuk berkarya. Itu mengapa, saya tetap menjalankan produksi film ini,” ungkap Kamila dalam Bahasa Inggris.
Sering kali, hari yang mulai gelap menjadi penghalang yang berarti ketika tidak cukupnya penerangan yang mereka punya. Namun, Kamila mulai berpikir untuk tidak menjadikan gelap tersebut sebagai penghalang, melainkan memanfaatkan gelap sebagai unsur dalam cerita.
Sekala Niskala berkisah tentang sepasang saudara kembar (buncing), Tantra dan Tantri, yang sering menghabiskan waktunya berdua. Namun, Tantra jatuh sakit dan akhirnya meniggal. Tantri yang keras kepala tidak ingin menerima kepergian Tantra, lalu ia menciptakan dunianya sendiri dengan Tantra dalam percakapan niskala atau dalam imajinasi.
Perpaduan gelap dan terang sangat kentara terlihat tatkala kebahagiaan berubah menjadi kesedihan, juga unsur spiritual dan tradisi yang disajikan menjadi pelengkap yang apik dalam film tersebut. Setting tempat Pura mewakili unsur spiritual dalam film tersebut, juga ketika Tantri melakukan tarian untuk memuja Dewi Bulan. Unsur budaya datang dari kepercayaan masyarakat Bali terhadap fenomena kembar buncing yang dapat mendatangkan mara bahaya bagi keluarga bersangkutan atau pun desa setempat.
Akhirnya, setelah 12 hari melalui proses shooting, film Sekala Niskala pun rampung. Sejumlah penghargaan pun sempat diraihnya, beberapa di antaranya yaitu, Film Terbaik dalam Berlinale (2018), Toronto International Film Festival (2017), Grand Prix di Tokyo FILMeX (2017), Film Remaja Terbaik di Asia Pasific Screen Awards (2017), dan Golden Hanoman Award di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (2017). Setelah Sekala Niskala, Kamila membocorkan sedikit rahasia, bahwa ia akan merilis film barunya yang masih dikerjakan scriptnya. Katanya, film tersebut berkisah tentang pernikahan remaja. *ph
1
Komentar