Art of Impact: Terciptanya Seni dari Sebuah Dampak Besar
Lima seniman masing-masing menciptakan karya dan gerakan dari penyandang skizofrenia, cerita ibu-ibu yang memilukan, isu-isu sosial, hingga diskriminasi kaum Tionghoa pada tahun 1998.
GIANYAR, NusaBali
Sebagai sajian di hari terakhir, Ubud Writers and Readers Festival 2018 (UWRF18) menyajikan program utama yang bertajuk ‘Art of Impact,’ yaitu sebuah kreativitas seni dari sebuah dampak besar. Acara yang berlangsung pada Minggu (28/10) di Indus Restaurant, Ubud, tersebut, menghadirkan sejumlah pembicara, yakni; Budi Agung Kuswara (Seniman Rupa dan Aktivis Sosial), Wanggi Hoed (Seniman Pantomim dan Aktivis Sosial), Kadek Sonia Piscayanti (Penulis dan Penggiat Teater), Rani Pramesti (Seniman Pertunjukan), dan Cindy Saja (Ilustrator).
Masing-masing dari kelima pembicara tersebut memiliki cerita tersendiri tentang bagaimana mereka melahirkan karya dari sebuah dampak besar yang jarang disadari orang lain padahal hal tersebut dekat di sekitar kita.
Sebut saja, Budi Agung Kuswara atau akrab disapa ‘Kabul.’ Pria tamatan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, tersebut, sering menunjukkan karya-karya kontemporernya di kancah internasional. Ia juga dikenal sebagai Co-Founder Proyek Ketemu, sebuah kolektif seni lintas budaya dan bisnis sosial. Saat ini juga ia sebagai Co-Founder Rumah Berdaya Denpasar, sebuah pusat rehabilitasi untuk penyandang skizofrenia. Kabul memberdayakan mereka untuk mengobati jiwa dengan berkesenian. Ia mengajari ODS (Orang dengan Skizofrenia) untuk melukis, membuat kerajinan tangan, topeng, hingga benda-benda yang memiliki nilai jual. Kabul adalah sosok di balik poster UWRF18 yang kita kenal sekarang.
Sementara, Wanggi Hoed, pria kelahiran Cirebon ini, telah menggeluti dunia pantomim sejak SMP. Ia kerap menyuarakan isu-isu sosial, kemanusian, hingga spiritual melalui mimik dan gerakan tubuh yang seolah menyindir fenomena yang terjadi. Ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang tampil dalam World Mime Organization di Beograd, Serbia, serta tampil bersama seniman pantomim dunia termasuk dalam Contemporary Circus Theatre of France.
Beralih pada Kadek Sonia Piscayanti, perempuan Bali yang selalu giat menyuarakan suara perempuan melalui karya-karyanya dalam bentuk cerpen, puisi, mau pun teater. Kali ini ia tampil dengan topik seputar garapan teater dokumenternya yang bertajuk ’11 Ibu, 11, Panggung, 11 Cerita’ yang telah rutin melaksanakan pentas sejak beberapa bulan lalu. Melalui teater tersebut, Sonia telah membantu perempuan untuk berani bersuara dan secara langsung menyembuhkan trauma mereka dari masa lalu yang kelam.
Yang terakhir datang dari dua orang perempuan, Rani Pramesti dan Cindy Saja, yang telah berkolaborasi menghasilkan sebuah komik digital berbasis audio visual yang diberi nama ‘Chinese Whispers.’ Dalam komik tersebut, diceritakan Rani, seorang marga Tionghoa, yang berusaha mencari asal usul dirinya. Seperti yang diketahui, kaum Tionghoa sempat dikambinghitamkan dalam masa Orde Baru, hingga membuat sebagian orang tua memilih memindahkan anak-anaknya ke negara lain agar mendapat penghidupan yang aman. Rani lalu bertemu dengan sesama etnisnya di Melbourne, Australia. Di sana lah ia mewawancarai kawannya terkait peristiwa 98. Lalu, seseorang mengatakan padanya bahwa ‘kita tidak bisa menyembuhkan hal-hal yang tidak kita ikhlaskan.’ *ph
1
Komentar