Bawaslu Sesalkan Putusan MA soal OSO
Putusan MA ini dianggap tidak sesuai dengan putusan MK, sebab putusan MK tidak membolehkan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD.
JAKARTA, NusaBali
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Ketum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) terkait PKPU Nomor 26/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu DPD. Bawaslu menyayangkan putusan tersebut.
"Putusan pengadilan ini, kami sebagai Bawaslu memang menghargai, tapi sangat disayangkan karena memang tidak bersesuaian dengan apa yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo, Rabu (31/10).
Putusan MA ini dianggap tidak sesuai dengan putusan MK. Menurutnya, putusan MK tidak membolehkan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD. "Iya, putusan Mahkamah Konstitusi kan tidak membolehkan itu," kata Ratna. Ratna mengatakan sebelumnya, Bawaslu sudah mengambil keputusan dengan gugatan OSO yang sama. Bawaslu menilai cara yang dilakukan KPU telah sesuai dengan putusan MK.
"Nah, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi itu, laporan dari Partai Hanura, dalam hal ini yang dimaksud adalah OSO, yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU, itu menurut kami KPU itu tidak melakukan pelanggaran tata cara dan prosedur," kata Ratna.
"Jadi apa yang dilakukan KPU sudah sesuai dengan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi," sambungnya. Ratna mengatakan pihaknya dan KPU telah menegakkan aturan yang sesuai dengan keputusan MK. "Jadi kami ini kan sudah menegakkan aturan sesuai dengan perintah Mahkamah Konstitusi," tuturnya dilansir detik.com.
Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan putusan Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi Ketum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) itu. ICW bahkan menyebut putusan itu sebagai keputusan ajaib. "Ajaib karena MK dalam perkara 30 itu secara eksplisit sudah disampaikan, tak berlaku di pemilu 2024 tapi berlaku di 2019. Karena memang proses pencalonan saat diketok MK sedang pada tahapan on going, belum calon tetap, itu yang kemudian mahkamah berpendapat masih ada ruang waktu bagi kandidat untuk melepas baju partai untuk menjadi anggota DPD," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz di Kantornya, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu kemarin.
Selain putusan gugatan OSO, ICW juga menyoroti keputusan MA yang mengabulkan napi korupsi nyaleg. Sebab, kata Donal keputusan itu terganjal pasal 55 undang-undang MA.
"Dalam dua bulan ini ada putusan ajaib dari MA pertama PKPU terkait larangan mantan narapidana korupsi dibatalkan juga oleh MA, pertimbangannya justru MA belum boleh memutus perkara yang diajukan M Taufik karena ada ganjalan pasal 55, MA tak bisa yudisial review sepanjang undang-undangnya diuji MK. Tapi kemudian mereka bersurat tak ada pasal tersebut," kata Donal.
"Jadi dasarnya bukan kewenangan MA, tapi dasarnya adalah surat dari MA sehingga mereka menerobos pasal 55 undang-undang MK. Ini putusan ajaib," lanjut dia. Balik lagi soal gugatan OSO yang dikabulkan MA. MA juga diminta menjelaskan secara rinci poin apa saja yang dikabulkan terkait gugatan OSO dobel job pengurus parpol dan senator. *
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Ketum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) terkait PKPU Nomor 26/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu DPD. Bawaslu menyayangkan putusan tersebut.
"Putusan pengadilan ini, kami sebagai Bawaslu memang menghargai, tapi sangat disayangkan karena memang tidak bersesuaian dengan apa yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo, Rabu (31/10).
Putusan MA ini dianggap tidak sesuai dengan putusan MK. Menurutnya, putusan MK tidak membolehkan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD. "Iya, putusan Mahkamah Konstitusi kan tidak membolehkan itu," kata Ratna. Ratna mengatakan sebelumnya, Bawaslu sudah mengambil keputusan dengan gugatan OSO yang sama. Bawaslu menilai cara yang dilakukan KPU telah sesuai dengan putusan MK.
"Nah, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi itu, laporan dari Partai Hanura, dalam hal ini yang dimaksud adalah OSO, yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU, itu menurut kami KPU itu tidak melakukan pelanggaran tata cara dan prosedur," kata Ratna.
"Jadi apa yang dilakukan KPU sudah sesuai dengan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi," sambungnya. Ratna mengatakan pihaknya dan KPU telah menegakkan aturan yang sesuai dengan keputusan MK. "Jadi kami ini kan sudah menegakkan aturan sesuai dengan perintah Mahkamah Konstitusi," tuturnya dilansir detik.com.
Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan putusan Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi Ketum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) itu. ICW bahkan menyebut putusan itu sebagai keputusan ajaib. "Ajaib karena MK dalam perkara 30 itu secara eksplisit sudah disampaikan, tak berlaku di pemilu 2024 tapi berlaku di 2019. Karena memang proses pencalonan saat diketok MK sedang pada tahapan on going, belum calon tetap, itu yang kemudian mahkamah berpendapat masih ada ruang waktu bagi kandidat untuk melepas baju partai untuk menjadi anggota DPD," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz di Kantornya, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu kemarin.
Selain putusan gugatan OSO, ICW juga menyoroti keputusan MA yang mengabulkan napi korupsi nyaleg. Sebab, kata Donal keputusan itu terganjal pasal 55 undang-undang MA.
"Dalam dua bulan ini ada putusan ajaib dari MA pertama PKPU terkait larangan mantan narapidana korupsi dibatalkan juga oleh MA, pertimbangannya justru MA belum boleh memutus perkara yang diajukan M Taufik karena ada ganjalan pasal 55, MA tak bisa yudisial review sepanjang undang-undangnya diuji MK. Tapi kemudian mereka bersurat tak ada pasal tersebut," kata Donal.
"Jadi dasarnya bukan kewenangan MA, tapi dasarnya adalah surat dari MA sehingga mereka menerobos pasal 55 undang-undang MK. Ini putusan ajaib," lanjut dia. Balik lagi soal gugatan OSO yang dikabulkan MA. MA juga diminta menjelaskan secara rinci poin apa saja yang dikabulkan terkait gugatan OSO dobel job pengurus parpol dan senator. *
1
Komentar