Belum Mau Berikan Persetujuan Bandara Sebelum Ada Penlok
Krama Negak (warga pemegang kebijakan desa, Red) Desa Pakraman Kubutambahan, Kecamatan Kubutambaha, Buleleng, mulai mengambil sikap terkait rencana pembangunan Bandara Internasional Buleleng di wewidangan (wilayah)-nya.
Hasil Paruman Krama Negak Kubutambahan
SINGARAJA, NusaBali
Mereka sepakat belum akan memberikan persetujuan pembangunan banadara di Desa/Kecamatan Kubutambahan, sebelum ada kepastian penetapan lokasi (penlok). Kesepakatan ini diambul melalui paruman (pertemuan adat) krama Negak yang dilaksanakan di Wantilan Pura Desa Pakraman Kubutambahan pada Buda Wage Ukir, Rabu (31/10) lalu. Paruman kala itu menghadirkan 33 krama Negak. Bagi kraman Negak Desa Pakraman Kubutambahan, banyak hal yang harus dipertimbangkan jika Bandara Internasional Buleleng dibangun di darat.
“Makanya, kami sepakat menunggu kepastian Penlok (penetapan lokasi)-nya. Setelah ada kepastian Penlok bandara, di mana batas-batasnya, barulah kami akan mengambil keputusan, apakah setuju atau tidak bandara tersebut dibangun di darat,” ungkap Kelian Desa Pakraman Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, saat dikonfirmasi NusaBali di Singaraja, Jumat (2/11).
Menurut Jero Pasek Warkadea, paruman krama Negak dilaksanakan sebagai tindak lanjut hasil pertemuan prajuru adat dengan Bupati Putu Agus Suradnyana di Kantor Bupati Buleleng, Jalan Pahlawan Singaraja, Senin (29/10) lalu. Jero Pasek Warkadea menyebutkan, dalam pertemuan itu, krama Negak untuk sementara menolak memberikan persetujuan rencana pembangunan Bandara Internasional Buleleng di wilayahnya. Penolakan ini karena belum ada kepastian titik lokasi bandara, walaupun disebutkan akan dibangun di darat.
Jero Pasek Warkadea mengaku mendapat informasi bandara akan dibangun di darat dengan memanfaatkan tanah duwen desa (lahan milik adat Kubutambahan). Hanya saja, batas pemanfaatan lokasi itu yang masih ditunggu.
Dia menyebutkan, masih ada kekhawatiran dari krama Negak bahwa jika bandara dibangun di darat, nanti akan berdampak terhadap bangunan-bangunan suci dan situs-situs keramat yang ada, apalagi harus relokasi. “Kalau sekarang kami telanjur memberikan persetujuan, nyatanya nanti justru banyak pura, situs-situs purbakala, dan pemukiman yang harus digusur, ini kan menyulitkan kami. Kalau memang nanti penloknya seperti itu, kami sepakat tidak mendukung pembangunan bandara,” tandas Jero Pasek Warkadea, yang juga masih menjabat Staf Ahli Pemkab Buleleng.
Menurut Jero Pasek Warkadea, Desa Pakraman Kubutambahan memiliki banyak tradisi dalam setiap pelaksanaan upacara keagamaan yang harus dipertahankan. Di antaranya, tradisi Maboros (berburu) saat upacara di Pura Ratu Pingit. Tradisi Maboros ini selalu dilaksanakan di kawasan lahan duwen desa. Di samping itu, ada jalan yang harus dilalui oleh Ida Bhatara Ratu Pingit saat medal (keluar) di kawasan tersebut. “Kalau ini sampai digusur, jelas kami sesuai kesepakatan krma Negak akan menolak pembangunan bandara tersebut,” warningnya.
Selain menyangkut keberadaan kawasan suci dan situs purbakala, kata Jero Pasek Warkadea, krama Negak juga memutuskan tidak akan melepas hak atas lahan duwen desa adat. Hal ini untuk menghidari adanya persoalan-persoalan lain, apalagi sampai proses hukum. “Krama Negak tidak mau menjual lahannya. Kami ingin misalnya disewa dalam bentuk HGB seperti itu. Kami juga tidak ada proses hukum terkait dengan hak atas lahan tersebut,” tandas Jero Pasek Warkadea.
Sebelumnya, Pemkab Buleleng untuk kali pertama rapat membahas rencana pembangunan bandara, Senin lalu, dengan menghadirkan pula prajuru adat Desa Pakraman Kubutambahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Buleleng, dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Singaraja. Rapat pembahasan rencana pembangunan bandara hari itu dipimpin langsung Bupati Agus Suradnyana, didampingi Wabup dr Nyoman Sujidra SpKJ, Kadis Pekerjaan Umum & Penataan Ruang (PUPR) Bule-leng Ketut Suparta Wijaya, perwakilan Dinas Perhubungan Buleleng, serta Kabag Hukum Setkab Buleleng Bagus Gede Barata.
Seusai rapat kemarun, Bupati Agus Suradnyana mengungkapkan pihaknya baru pertama kali mengadakan pertemuan dengan prajuru adat dari Desa Pakraman Kubutambahan. Pertemuan dilakukan setelah pi-haknya mendapat kepastian rencana pembangunan bandara tersebut. Pertemuan yang melibatkan prajuru Desa Pakraman Kubutambahan itu sebagai langkah awal sosialisasi kepada pihak adat.
“Selama ini kan tidak pernah ada pertemuan, karena memang belum ada kepastian. Kalau sekarang sudah ada kepastian, makanya saya sosialisasikan pertama dengan pihak adat dulu,” terang Agus Suradnyana. *k19
SINGARAJA, NusaBali
Mereka sepakat belum akan memberikan persetujuan pembangunan banadara di Desa/Kecamatan Kubutambahan, sebelum ada kepastian penetapan lokasi (penlok). Kesepakatan ini diambul melalui paruman (pertemuan adat) krama Negak yang dilaksanakan di Wantilan Pura Desa Pakraman Kubutambahan pada Buda Wage Ukir, Rabu (31/10) lalu. Paruman kala itu menghadirkan 33 krama Negak. Bagi kraman Negak Desa Pakraman Kubutambahan, banyak hal yang harus dipertimbangkan jika Bandara Internasional Buleleng dibangun di darat.
“Makanya, kami sepakat menunggu kepastian Penlok (penetapan lokasi)-nya. Setelah ada kepastian Penlok bandara, di mana batas-batasnya, barulah kami akan mengambil keputusan, apakah setuju atau tidak bandara tersebut dibangun di darat,” ungkap Kelian Desa Pakraman Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, saat dikonfirmasi NusaBali di Singaraja, Jumat (2/11).
Menurut Jero Pasek Warkadea, paruman krama Negak dilaksanakan sebagai tindak lanjut hasil pertemuan prajuru adat dengan Bupati Putu Agus Suradnyana di Kantor Bupati Buleleng, Jalan Pahlawan Singaraja, Senin (29/10) lalu. Jero Pasek Warkadea menyebutkan, dalam pertemuan itu, krama Negak untuk sementara menolak memberikan persetujuan rencana pembangunan Bandara Internasional Buleleng di wilayahnya. Penolakan ini karena belum ada kepastian titik lokasi bandara, walaupun disebutkan akan dibangun di darat.
Jero Pasek Warkadea mengaku mendapat informasi bandara akan dibangun di darat dengan memanfaatkan tanah duwen desa (lahan milik adat Kubutambahan). Hanya saja, batas pemanfaatan lokasi itu yang masih ditunggu.
Dia menyebutkan, masih ada kekhawatiran dari krama Negak bahwa jika bandara dibangun di darat, nanti akan berdampak terhadap bangunan-bangunan suci dan situs-situs keramat yang ada, apalagi harus relokasi. “Kalau sekarang kami telanjur memberikan persetujuan, nyatanya nanti justru banyak pura, situs-situs purbakala, dan pemukiman yang harus digusur, ini kan menyulitkan kami. Kalau memang nanti penloknya seperti itu, kami sepakat tidak mendukung pembangunan bandara,” tandas Jero Pasek Warkadea, yang juga masih menjabat Staf Ahli Pemkab Buleleng.
Menurut Jero Pasek Warkadea, Desa Pakraman Kubutambahan memiliki banyak tradisi dalam setiap pelaksanaan upacara keagamaan yang harus dipertahankan. Di antaranya, tradisi Maboros (berburu) saat upacara di Pura Ratu Pingit. Tradisi Maboros ini selalu dilaksanakan di kawasan lahan duwen desa. Di samping itu, ada jalan yang harus dilalui oleh Ida Bhatara Ratu Pingit saat medal (keluar) di kawasan tersebut. “Kalau ini sampai digusur, jelas kami sesuai kesepakatan krma Negak akan menolak pembangunan bandara tersebut,” warningnya.
Selain menyangkut keberadaan kawasan suci dan situs purbakala, kata Jero Pasek Warkadea, krama Negak juga memutuskan tidak akan melepas hak atas lahan duwen desa adat. Hal ini untuk menghidari adanya persoalan-persoalan lain, apalagi sampai proses hukum. “Krama Negak tidak mau menjual lahannya. Kami ingin misalnya disewa dalam bentuk HGB seperti itu. Kami juga tidak ada proses hukum terkait dengan hak atas lahan tersebut,” tandas Jero Pasek Warkadea.
Sebelumnya, Pemkab Buleleng untuk kali pertama rapat membahas rencana pembangunan bandara, Senin lalu, dengan menghadirkan pula prajuru adat Desa Pakraman Kubutambahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Buleleng, dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Singaraja. Rapat pembahasan rencana pembangunan bandara hari itu dipimpin langsung Bupati Agus Suradnyana, didampingi Wabup dr Nyoman Sujidra SpKJ, Kadis Pekerjaan Umum & Penataan Ruang (PUPR) Bule-leng Ketut Suparta Wijaya, perwakilan Dinas Perhubungan Buleleng, serta Kabag Hukum Setkab Buleleng Bagus Gede Barata.
Seusai rapat kemarun, Bupati Agus Suradnyana mengungkapkan pihaknya baru pertama kali mengadakan pertemuan dengan prajuru adat dari Desa Pakraman Kubutambahan. Pertemuan dilakukan setelah pi-haknya mendapat kepastian rencana pembangunan bandara tersebut. Pertemuan yang melibatkan prajuru Desa Pakraman Kubutambahan itu sebagai langkah awal sosialisasi kepada pihak adat.
“Selama ini kan tidak pernah ada pertemuan, karena memang belum ada kepastian. Kalau sekarang sudah ada kepastian, makanya saya sosialisasikan pertama dengan pihak adat dulu,” terang Agus Suradnyana. *k19
1
Komentar