2.726 Subak Berusaha Bertahan
Yang rentan alih fungsi lahan itu subak sawah. Tidak hanya kepentingan pariwisata dan bisnis, melainkan ada juga kepentingan pemilik sendiri.
SUBAK menjadi salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Bali. Sistem pengairan sawah tradisional Bali ini bahkan telah mendapat pengakuan dunia sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Namun, keberadaan subak kini dihadapkan pada permasalahan alih fungsi lahan yang kian marak. Dalam lima tahun terakhir (2013-2017), menurut data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali, rata-rata alih fungsi lahan pertanian sekitar 550 hektare per tahun. Bagaimanakah nasib subak ke depan?
Jumlah subak yang masih bertahan menurut data Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tahun 2018, 2.726 subak di 1.493 desa pakraman. Jumlah subak tersebut terdiri dari 1.596 subak (sawah) dan 1.130 subak abian. Data ini merupakan kompilasi dari data Bantuan Keuangan Khusus (BKK) tahun 2018 dari Dinas Pemberdayaan dan Masyarakat Desa di wilayah dinas dan data hibah tahun 2017 dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali untuk di wilayah kelurahan.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha, pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk melarang pemilik tanah mengalihfungsikan atau menjual tanahnya. Hal ini karena beberapa faktor yang kemungkinan mendesak, seperti kebutuhan akan tempat tinggal sang ahli waris. Karena warisan tanah biasanya akan semakin mengecil setelah dibagi-bagi. Sementara lahan dengan luasnya yang semakin mengecil tidak produktif ketika ditanami padi.
“Yang rentan alih fungsi lahan itu subak sawah. Tidak hanya kepentingan pariwisata dan bisnis, melainkan ada juga kepentingan pemilik sendiri. Tanah warisan itu digunakan untuk membangun pemukiman, karena mungkin sudah tidak cukup menampung di rumah tua (rumah induk, red)-nya. Ini cukup banyak terjadi sekarang,” ungkapnya saat ditemui di Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Jumat (2/11).
Kadis Dewa Beratha mengaku, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sendiri hanya berwenang dalam hal pembinaan. Pihaknya tidak hanya mencatat laporan alih fungsi lahan tersebut. Padahal sebenarnya, jika mengkhusus soal jual beli lahan, sebenarnya harus disaksikan oleh pekaseh atau ketua subak menurut awig-awig subak. “Kadang-kadang ini tidak dilakukan, sehingga pekaseh sendiri tidak tahu proses jual beli lahan itu. Seandainya ini dilakukan, kan bisa ada pencatatan di kelian (ketua) subaknya. Kelian subak banyak yang mengeluhkan hal tersebut. Mungkin karena tidak ada sanksi, dan yang dijual itu merupakan miliknya sendiri,” katanya.
Dikatakan, setiap tahunnya tiap subak mendapatkan hibah Rp 50 juta. Hibah ini ditujukan untuk pembinaan Tri Hita Karana di lembaga subak. Sedangkan hibah sendiri tidak bisa alih fungsi ini dilakukan oleh individu atau pemilik tanah. “Hibah ini kebanyakan digunakan untuk upacara dan implementasi Tri Hita Karana di subak,” ujarnya.
Namun, hibah ini tidak bisa mencegah alih fungsi lahan karena persoalan tersebut bergantung pada individu sebagai pemilik lahan. Pemerintah pun tidak memiliki kewenangan untuk melarang pemilik lahan untuk jual beli tanah karena itu merupakan miliknya sendiri. Hibah subak biasanya digunakan untuk membantu perbaikan pura, melakukan upacara, meningkatkan ekonomi anggota subak, serta perbaikan-perbaikan areal subak seperti saluran irigasi.
Sementara itu, nasib pura subak yang di daerah pertanian disebut Pura Ulunsuwi, tidak lagi difungsikan sebagai pura swagina, namun palinggih tersebut tidak ditinggalkan melainkan ditambah dengan padmasana. Sehingga pura tersebut yang dulunya diempon krama subak, sekarang diempon oleh masyarakat yang menempati lahan tersebut sebagai lahan permukiman. “Pada intinya kan umat tetap memohon keselamatan dan kemakmuran. Jadi, palinggih Bhatara Sri yang dulu disungsung di pura swagina (Pura Ulunsuwi, Red) oleh para krama subak, ketika sekarang sudah alih fungsi lahan, maka tetap disungsung oleh masyarakat yang menempati lahan tersebut,” tandasnya. *ind
Jumlah subak yang masih bertahan menurut data Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tahun 2018, 2.726 subak di 1.493 desa pakraman. Jumlah subak tersebut terdiri dari 1.596 subak (sawah) dan 1.130 subak abian. Data ini merupakan kompilasi dari data Bantuan Keuangan Khusus (BKK) tahun 2018 dari Dinas Pemberdayaan dan Masyarakat Desa di wilayah dinas dan data hibah tahun 2017 dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali untuk di wilayah kelurahan.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha, pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk melarang pemilik tanah mengalihfungsikan atau menjual tanahnya. Hal ini karena beberapa faktor yang kemungkinan mendesak, seperti kebutuhan akan tempat tinggal sang ahli waris. Karena warisan tanah biasanya akan semakin mengecil setelah dibagi-bagi. Sementara lahan dengan luasnya yang semakin mengecil tidak produktif ketika ditanami padi.
“Yang rentan alih fungsi lahan itu subak sawah. Tidak hanya kepentingan pariwisata dan bisnis, melainkan ada juga kepentingan pemilik sendiri. Tanah warisan itu digunakan untuk membangun pemukiman, karena mungkin sudah tidak cukup menampung di rumah tua (rumah induk, red)-nya. Ini cukup banyak terjadi sekarang,” ungkapnya saat ditemui di Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Jumat (2/11).
Kadis Dewa Beratha mengaku, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sendiri hanya berwenang dalam hal pembinaan. Pihaknya tidak hanya mencatat laporan alih fungsi lahan tersebut. Padahal sebenarnya, jika mengkhusus soal jual beli lahan, sebenarnya harus disaksikan oleh pekaseh atau ketua subak menurut awig-awig subak. “Kadang-kadang ini tidak dilakukan, sehingga pekaseh sendiri tidak tahu proses jual beli lahan itu. Seandainya ini dilakukan, kan bisa ada pencatatan di kelian (ketua) subaknya. Kelian subak banyak yang mengeluhkan hal tersebut. Mungkin karena tidak ada sanksi, dan yang dijual itu merupakan miliknya sendiri,” katanya.
Dikatakan, setiap tahunnya tiap subak mendapatkan hibah Rp 50 juta. Hibah ini ditujukan untuk pembinaan Tri Hita Karana di lembaga subak. Sedangkan hibah sendiri tidak bisa alih fungsi ini dilakukan oleh individu atau pemilik tanah. “Hibah ini kebanyakan digunakan untuk upacara dan implementasi Tri Hita Karana di subak,” ujarnya.
Namun, hibah ini tidak bisa mencegah alih fungsi lahan karena persoalan tersebut bergantung pada individu sebagai pemilik lahan. Pemerintah pun tidak memiliki kewenangan untuk melarang pemilik lahan untuk jual beli tanah karena itu merupakan miliknya sendiri. Hibah subak biasanya digunakan untuk membantu perbaikan pura, melakukan upacara, meningkatkan ekonomi anggota subak, serta perbaikan-perbaikan areal subak seperti saluran irigasi.
Sementara itu, nasib pura subak yang di daerah pertanian disebut Pura Ulunsuwi, tidak lagi difungsikan sebagai pura swagina, namun palinggih tersebut tidak ditinggalkan melainkan ditambah dengan padmasana. Sehingga pura tersebut yang dulunya diempon krama subak, sekarang diempon oleh masyarakat yang menempati lahan tersebut sebagai lahan permukiman. “Pada intinya kan umat tetap memohon keselamatan dan kemakmuran. Jadi, palinggih Bhatara Sri yang dulu disungsung di pura swagina (Pura Ulunsuwi, Red) oleh para krama subak, ketika sekarang sudah alih fungsi lahan, maka tetap disungsung oleh masyarakat yang menempati lahan tersebut,” tandasnya. *ind
1
Komentar