Pasedahan Agung Pertahankan Subak di Tabanan
Kabupaten Tabanan punya bentang persawahan nan luas dan subur. Tak salah jika sampai saat ini Tabanan dijuluki lumbung berasnya Bali.
TABANAN, NusaBali
Hamparan sawah yang membentang itu, sistem pengairannya masih kental diatur oleh subak. Selain petani, pemerintah sangat berperan penting dalam mencegah alih fungsi lahan pertanian, terutama sawah. Di Tabanan sendiri secara kelembagaan dalam mempertahankan subak sudah ada Pasedahan Agung. Pasedahan Agung memiliki peran penting melakukan pembinaan terhadap subak sendiri. Disamping itu telah ada Perda No 9 Tahun 2010 tentang Subak. "Yang jelas di Tabanan sendiri sangat komit dalam menjaga subak," ujar Kepala Dinas Kebudayaan Tabanan I Gusti Ngurah Alit Supanji, Sabtu (3/11).
Menurut Supanji, berbicara tentang subak tentu pembahasannya sangat kompleks. Karena subak ada kelembagaan, struktur, prajuru, keanggotaan, dan wilayah fungsi. Subak juga terkait dengan tata kelola air irigasi dan pola tanam. "Jadi sangat kompleks sekali, tidak bisa dilihat dari satu kacamata saja," lanjutnya.
Sehingga dengan adanya kelembagaan Pasedahan Agung ini secara rutin sudah melaksanakan pembinaan terhadap subak dan subak abian. Dalam pembinaan yang dilaksanakan setahun sekali diadakan evaluasi. Dalam evaluasi ini menemukan permasalahan yang dipecahkan lewat pembinaan.
Ada empat pembinaan yang dilakukan Dinas Kebudayaan dalam mempertahankan subak di Tabanan. Pertama, pembinaan secara administrasi. Di tengah modernitas zaman, sebuah organisasi tidak bisa tanpa administrasi. Maka buku keanggotan subak, dan buku anggaran kerja wajib dimiliki setiap subak.
Kedua, pembinaan di Wibaga Parhyangan. Pembinaan ini terkait dengan menjaga pura-pura yang berkaitan dengan subak. Bagaimana hubungan krama subak dengan tuhan yang kaitanya dengan upacara yang dilakukan untuk pertanian tersebut. Ketiga, pembinaan di Wibaga Pawongan. Pembinaan ini terkait dengan hubungan kepada krama subak dengan prajuru. Ketika hubungan prajuru dengan krama subak akur maka skala kegiatan yang berkaitan dengan subak akan terlaksana.
Dan keempat, pembinaan di Wibaga Palemahan. Pembinaan ini menyangkut pada areal subak itu sendiri. Seperti menjaga, merawat benih yang ditanam meski itu hasilnya buruk ataupun baik. "Jadi dalam mempertahankan subak kami selalu perpedoman pada Tri Hita Karana tersebut tidak bisa hilang," beber Supanji.
Selain pembinaan, sebagai tugas pertama dalam mempertahankan subak lewat Pasedahan Agung yang diketuai oleh Kepala Dinas Kebudayaan, turut dilakukan mendorong untuk melaksanakan pengaci di setiap pura-pura subak. Pengaci ini tetap Pasedahan Agung sebagai penanggungjawab, dan tetap dibantu oleh pekaseh sebagai pelaksana.
Seperti dilakukan pada Purnama Kapat (keempat) beberapa waktu lalu, sudah melakukan upacara Mulang Pakelem di Danau Tamblingan yang disiapkan oleh para pekaseh. Tugas lainnya, Pasedahan Agung membantu menyuratkan awig-awig subak dengan disiapkan petugas khusus. Terlebih juga telah dibantu oleh Penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Tabanan.
Diakui Supanji, secara umum awig-awig subak wajib dimiliki oleh masing-masing subak dan subak abian. Di Tabanan ada beberapa yang sudah punya. Akan tetapi sesuai dengan arahan Provinsi Bali, penulisan awig-awig subak harus dengan dwi aksara. "Oleh karena itu, subak yang masih menggunakan tulisan latin Bali dan belum ke akasara Bali ini, yang dibantu dalam penyuratan. Disamping yang belum punya awig-awig sudah mengajukan," tutur Supanji.
Jelas dia, langkah mempertahankan subak agar lembaga subak di Tabanan langgeng atau kekal, sudah disiapkan pembentukan majelis alit subak di tingkat kecamatan. Di Tabanan sudah semua ada majelis alit karena mempunyai peran penting dalam memfasilitasi apabila terjadi permasalahan di subak dan membantu dalam penyusunan awig-awig. "Dengan demikian subak itu sudah kuat, begitu perhatian pemerintah agar subak itu eksis di zaman modern ini," terang Supanji.
Supanji tidak memungkiri ada alih fungsi lahan, terutama beberapa masyarakat terkena tekanan ekonomi. Namun pihaknya tetap berupaya mempertahankan lewat Wibaga Palemahan sebisa mungkin menekan alih fungsi. Sebab subak tanpa palemahan tidak bisa dikatakan sempurna.
Sesuai data di Dinas Kebudayaan Tabanan, subak sawah dan subak abian di Tabanan tercatat 418 subak. Bahkan Supanji mengklaim dari jumlah tersebut tidak ada subak yang hilang. Justru ada penambahan karena ada subak yang mekar. Seperti subak di wilayah Warisan Budaya Dunia (WBD) areal Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, sebelumnya 14 subak, kini bertambah jadi 20 subak.
Pada tahun 2016, Tabanan punya 234 dawah dan subak abian 180. Kemudian bertambah di tahun 2017 menjadi 235 sawah subak dan 183 subak abian. Bertambah lagi di tahun 2018 dengan total, subaksawah dan subak abian jadi 418.
Jelas Supanji, maka secara otomatis pura subak atau Pura Ulunsuwi di Tabanan tidak ada yang hilang. Karena sudah ada aturan dasar dari Provinsi Bali, Pura Subak tidak boleh dipralina. Apabila ada alih fungsi lahan pura tersebut masuk awig-awig dan dikoordinasikan dengan desa pakraman setempat.
Apabila tidak ada yang nyungsung, maka Pura Subak tersebut dimasukkan ke Pura Swagina dengan masyarakat sekitar yang menyungsung. "Kalau di Tabanan tidak ada Pura Ulunsuwi yang dipralina, meskipun ada alih fungsilahan. Namun tidak total dengan demikian pura subak tidak ada hilang," tegas Supanji, didampingi Kasi Ritual Subak Dinas Kebudayaan Ni Nyoman Rusmini.
Ditambahkan Supanji, berbicara tentang penduduk Bali yang memang harus punya tempat tinggal, pihaknya berharap tanah yang produktif tetap dipertahankan. Karena Bali tanpa adanya Tri Hita Karana tidaklah sempurna. Apabila adanya alih fungsi salah satu dokumen yang harus dilengkapi oleh krama harus ada tanda tangan prajuru subak. Prajuru subak ini selalu dititipkan pesan oleh pihaknya lewat pembinaan agar krama tetap mempertahankan tanah produktif.
Hanya saja jika itu terpaksa tanahnya dijual, Supanji berharap ketika tanah produktif dijual minimal yang membeli tetap dijadikan sawah. Bahkan Supanji sendiri mengajak untuk mempertahankan tanah produktif agar tidak dialih fungsikan, selain ada awig-awig sepakat dibuatkan pararem. Pararem yang dimaksud adalah membuat pararem pengele. Dimana masyarakat Bali boleh menjual tanah, tetapi pembelinya harus punya komitmen menetapkan tanah itu sebagai fungsi lahan pertanian. "Jadi boleh tidak membuat pararem tersebut di Bali, kalau itu sepakat dibuat di Bali luar biasa. Ada persentase untuk bisa dibeli tanah-tanah tersebut," tegas Supanji.
Mengenai bantuan subak sendiri, subak di Tabanan dapat bantuan dana dari BKK Provinsi Bali dan kabupaten. Disamping itu, di Dinas Kebudayaan sendiri ada anggaran khusus dalam membantu subak. Bantuan BKK Provinsi dan BKK kabupaten bisa didapatkan lewat proposal yang diajukan. Kisaran dana yang didapatkan dari Provinsi sebesar Rp 50 juta, sedangkan dari kabupaten Rp 3 juta per subak.
Selain itu, juga ada kegiatan pengaci lingkup kabupaten Pakelem dan Nangklung Merana. Kegiatan ini disesuikan dengan putaran ada 1 - 3 tahun, namun yang rutin adalah kegiatan Nangklung Merana setiap Tilem Kenem di Pura Luhur Pekendungan diikuti oleh seluruh subak dan subak abian yang ada di Tabanan.
Sedangkan terkait peningkatan bantuan setiap tahun, mengingat dirinya baru di tahun 2017 di Dinas Kebudayaan belum ada peningkatan bantuan setiap tahunnya. Karena proposal yang diajukan lewat desa, otomatis dana BKK turun lewat APBDes.*de
Hamparan sawah yang membentang itu, sistem pengairannya masih kental diatur oleh subak. Selain petani, pemerintah sangat berperan penting dalam mencegah alih fungsi lahan pertanian, terutama sawah. Di Tabanan sendiri secara kelembagaan dalam mempertahankan subak sudah ada Pasedahan Agung. Pasedahan Agung memiliki peran penting melakukan pembinaan terhadap subak sendiri. Disamping itu telah ada Perda No 9 Tahun 2010 tentang Subak. "Yang jelas di Tabanan sendiri sangat komit dalam menjaga subak," ujar Kepala Dinas Kebudayaan Tabanan I Gusti Ngurah Alit Supanji, Sabtu (3/11).
Menurut Supanji, berbicara tentang subak tentu pembahasannya sangat kompleks. Karena subak ada kelembagaan, struktur, prajuru, keanggotaan, dan wilayah fungsi. Subak juga terkait dengan tata kelola air irigasi dan pola tanam. "Jadi sangat kompleks sekali, tidak bisa dilihat dari satu kacamata saja," lanjutnya.
Sehingga dengan adanya kelembagaan Pasedahan Agung ini secara rutin sudah melaksanakan pembinaan terhadap subak dan subak abian. Dalam pembinaan yang dilaksanakan setahun sekali diadakan evaluasi. Dalam evaluasi ini menemukan permasalahan yang dipecahkan lewat pembinaan.
Ada empat pembinaan yang dilakukan Dinas Kebudayaan dalam mempertahankan subak di Tabanan. Pertama, pembinaan secara administrasi. Di tengah modernitas zaman, sebuah organisasi tidak bisa tanpa administrasi. Maka buku keanggotan subak, dan buku anggaran kerja wajib dimiliki setiap subak.
Kedua, pembinaan di Wibaga Parhyangan. Pembinaan ini terkait dengan menjaga pura-pura yang berkaitan dengan subak. Bagaimana hubungan krama subak dengan tuhan yang kaitanya dengan upacara yang dilakukan untuk pertanian tersebut. Ketiga, pembinaan di Wibaga Pawongan. Pembinaan ini terkait dengan hubungan kepada krama subak dengan prajuru. Ketika hubungan prajuru dengan krama subak akur maka skala kegiatan yang berkaitan dengan subak akan terlaksana.
Dan keempat, pembinaan di Wibaga Palemahan. Pembinaan ini menyangkut pada areal subak itu sendiri. Seperti menjaga, merawat benih yang ditanam meski itu hasilnya buruk ataupun baik. "Jadi dalam mempertahankan subak kami selalu perpedoman pada Tri Hita Karana tersebut tidak bisa hilang," beber Supanji.
Selain pembinaan, sebagai tugas pertama dalam mempertahankan subak lewat Pasedahan Agung yang diketuai oleh Kepala Dinas Kebudayaan, turut dilakukan mendorong untuk melaksanakan pengaci di setiap pura-pura subak. Pengaci ini tetap Pasedahan Agung sebagai penanggungjawab, dan tetap dibantu oleh pekaseh sebagai pelaksana.
Seperti dilakukan pada Purnama Kapat (keempat) beberapa waktu lalu, sudah melakukan upacara Mulang Pakelem di Danau Tamblingan yang disiapkan oleh para pekaseh. Tugas lainnya, Pasedahan Agung membantu menyuratkan awig-awig subak dengan disiapkan petugas khusus. Terlebih juga telah dibantu oleh Penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Tabanan.
Diakui Supanji, secara umum awig-awig subak wajib dimiliki oleh masing-masing subak dan subak abian. Di Tabanan ada beberapa yang sudah punya. Akan tetapi sesuai dengan arahan Provinsi Bali, penulisan awig-awig subak harus dengan dwi aksara. "Oleh karena itu, subak yang masih menggunakan tulisan latin Bali dan belum ke akasara Bali ini, yang dibantu dalam penyuratan. Disamping yang belum punya awig-awig sudah mengajukan," tutur Supanji.
Jelas dia, langkah mempertahankan subak agar lembaga subak di Tabanan langgeng atau kekal, sudah disiapkan pembentukan majelis alit subak di tingkat kecamatan. Di Tabanan sudah semua ada majelis alit karena mempunyai peran penting dalam memfasilitasi apabila terjadi permasalahan di subak dan membantu dalam penyusunan awig-awig. "Dengan demikian subak itu sudah kuat, begitu perhatian pemerintah agar subak itu eksis di zaman modern ini," terang Supanji.
Supanji tidak memungkiri ada alih fungsi lahan, terutama beberapa masyarakat terkena tekanan ekonomi. Namun pihaknya tetap berupaya mempertahankan lewat Wibaga Palemahan sebisa mungkin menekan alih fungsi. Sebab subak tanpa palemahan tidak bisa dikatakan sempurna.
Sesuai data di Dinas Kebudayaan Tabanan, subak sawah dan subak abian di Tabanan tercatat 418 subak. Bahkan Supanji mengklaim dari jumlah tersebut tidak ada subak yang hilang. Justru ada penambahan karena ada subak yang mekar. Seperti subak di wilayah Warisan Budaya Dunia (WBD) areal Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, sebelumnya 14 subak, kini bertambah jadi 20 subak.
Pada tahun 2016, Tabanan punya 234 dawah dan subak abian 180. Kemudian bertambah di tahun 2017 menjadi 235 sawah subak dan 183 subak abian. Bertambah lagi di tahun 2018 dengan total, subaksawah dan subak abian jadi 418.
Jelas Supanji, maka secara otomatis pura subak atau Pura Ulunsuwi di Tabanan tidak ada yang hilang. Karena sudah ada aturan dasar dari Provinsi Bali, Pura Subak tidak boleh dipralina. Apabila ada alih fungsi lahan pura tersebut masuk awig-awig dan dikoordinasikan dengan desa pakraman setempat.
Apabila tidak ada yang nyungsung, maka Pura Subak tersebut dimasukkan ke Pura Swagina dengan masyarakat sekitar yang menyungsung. "Kalau di Tabanan tidak ada Pura Ulunsuwi yang dipralina, meskipun ada alih fungsilahan. Namun tidak total dengan demikian pura subak tidak ada hilang," tegas Supanji, didampingi Kasi Ritual Subak Dinas Kebudayaan Ni Nyoman Rusmini.
Ditambahkan Supanji, berbicara tentang penduduk Bali yang memang harus punya tempat tinggal, pihaknya berharap tanah yang produktif tetap dipertahankan. Karena Bali tanpa adanya Tri Hita Karana tidaklah sempurna. Apabila adanya alih fungsi salah satu dokumen yang harus dilengkapi oleh krama harus ada tanda tangan prajuru subak. Prajuru subak ini selalu dititipkan pesan oleh pihaknya lewat pembinaan agar krama tetap mempertahankan tanah produktif.
Hanya saja jika itu terpaksa tanahnya dijual, Supanji berharap ketika tanah produktif dijual minimal yang membeli tetap dijadikan sawah. Bahkan Supanji sendiri mengajak untuk mempertahankan tanah produktif agar tidak dialih fungsikan, selain ada awig-awig sepakat dibuatkan pararem. Pararem yang dimaksud adalah membuat pararem pengele. Dimana masyarakat Bali boleh menjual tanah, tetapi pembelinya harus punya komitmen menetapkan tanah itu sebagai fungsi lahan pertanian. "Jadi boleh tidak membuat pararem tersebut di Bali, kalau itu sepakat dibuat di Bali luar biasa. Ada persentase untuk bisa dibeli tanah-tanah tersebut," tegas Supanji.
Mengenai bantuan subak sendiri, subak di Tabanan dapat bantuan dana dari BKK Provinsi Bali dan kabupaten. Disamping itu, di Dinas Kebudayaan sendiri ada anggaran khusus dalam membantu subak. Bantuan BKK Provinsi dan BKK kabupaten bisa didapatkan lewat proposal yang diajukan. Kisaran dana yang didapatkan dari Provinsi sebesar Rp 50 juta, sedangkan dari kabupaten Rp 3 juta per subak.
Selain itu, juga ada kegiatan pengaci lingkup kabupaten Pakelem dan Nangklung Merana. Kegiatan ini disesuikan dengan putaran ada 1 - 3 tahun, namun yang rutin adalah kegiatan Nangklung Merana setiap Tilem Kenem di Pura Luhur Pekendungan diikuti oleh seluruh subak dan subak abian yang ada di Tabanan.
Sedangkan terkait peningkatan bantuan setiap tahun, mengingat dirinya baru di tahun 2017 di Dinas Kebudayaan belum ada peningkatan bantuan setiap tahunnya. Karena proposal yang diajukan lewat desa, otomatis dana BKK turun lewat APBDes.*de
1
Komentar