Aktivis Bentuk 'Solidaritas Lawan KDRT'
Kasus Ni Putu Septyan yang membunuh tiga buah hatinya, salah satu yang yang mendorong terbentuknya gerakan Solidaritas Lawan KDRT.
DENPASAR, NusaBali
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kerap menyebabkan anak dan perempuan menjadi korban, membuat sejumlah aktivis dan berbagai elemen masyarakat mengkampanyekan gerakan Solidaritas Lawan KDRT. Gerakan tersebut secara resmi dideklarasikan pada Minggu (3/11) siang.
I Made Somya Putra selaku koordinator menerangkan, Solidaritas Lawan KDRT terbentuk karena keprihatinan atas maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi. Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang sejatinya dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap korban KDRT terutama kaum yang rentan (perempuan dan anak-anak) nyatanya belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal di lapangan. "Sehingga, perempuan yang menjadi retan atas kekerasan psikis dan fisik yang dialami, dapat menjadikan perempuan yang awalnya adalah korban dapat berubah menjadi pelaku," ungkapnya saat mengelar konfrensi pers di Denpasar, Minggu (3/11) sore.
Dilanjutkan Somya Putra, perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), selain mengalami luka fisik cenderung juga mengalami trauma yang akan mengakibatkan korban mengalami depresi hingga gangguan psikologis. Rentannya perempuan menjadi korban KDRT menimbulkan dampak negatif pada perempuan tersebut, dalam hal ini perempuan yang menjadi korban KDRT juga menjadi pelaku dari suatu tindak pidana. Tindak pidana tersebut dapat terjadi karena korban KDRT yang berupaya melindungi dirinya atas KDRT yang ia alami maupun terjadi karena luka psikis yang dialami oleh korban KDRT. "Atas tindakan itu, yang dulunya korban KDRT akan cenderung dihukum secara pidana. Padahal seyogyanya korban KDRT harus diberikan rehabilitasi untuk menyembuhkan trauma yang dialami korban. Salah satu contohnya kasus Ni Putu Septyan Parmadani di Sukawati Gianyar, yang sebenarnya adalah korban dalam KDRT," terang Somya.
Atas berbagai kejadian di lapangan itulah, Solidaritas Lawan KDRT yang terdiri dari elemen-elemen gerakan dan aktivis yang peduli dengan perlindungan terhadap korban KDRT dan hak-haknya, yakni Bali Woman Crisis Center (Bali WCC), Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali, Tim Advokasi Perlindungan Anak (TAPA), Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Bali, Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Bali, LBH Apik Bali, Ladies Lawyer Bali, Luh Bali Jani, Lentera Anak Bali, Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) Bali, Bali Sruti dan LBH Panarajon mendeklarasikan diri dalam sebuah gerakan Solidaritas Lawan KDRT. Tujuannya, untuk sama-sama mengawal dan berharap adanya penyempurnaan UU Nomor 23 Tahun 2004 dan indikator lainnya. "Tentunya kita memiliki harapan kedepannya yakni ada empat. Pertama, penyempurnaan UU Nomor 23 itu, kedua memberikan advokasi terhadap perempuan yang semulanya korban dan menjadi pelaku. Ketiga mengharapkan masyarakat agar peka di lingkungan sekitar dan melindungi serta lapor adanya tindak KDRT, dan keempat mengupayakan rebalitas. Jadi empat point ini yang akan kita dorong kedepannya," harap Somya yang juga perawakilan LBH Panarajon. *dar
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kerap menyebabkan anak dan perempuan menjadi korban, membuat sejumlah aktivis dan berbagai elemen masyarakat mengkampanyekan gerakan Solidaritas Lawan KDRT. Gerakan tersebut secara resmi dideklarasikan pada Minggu (3/11) siang.
I Made Somya Putra selaku koordinator menerangkan, Solidaritas Lawan KDRT terbentuk karena keprihatinan atas maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi. Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang sejatinya dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap korban KDRT terutama kaum yang rentan (perempuan dan anak-anak) nyatanya belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal di lapangan. "Sehingga, perempuan yang menjadi retan atas kekerasan psikis dan fisik yang dialami, dapat menjadikan perempuan yang awalnya adalah korban dapat berubah menjadi pelaku," ungkapnya saat mengelar konfrensi pers di Denpasar, Minggu (3/11) sore.
Dilanjutkan Somya Putra, perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), selain mengalami luka fisik cenderung juga mengalami trauma yang akan mengakibatkan korban mengalami depresi hingga gangguan psikologis. Rentannya perempuan menjadi korban KDRT menimbulkan dampak negatif pada perempuan tersebut, dalam hal ini perempuan yang menjadi korban KDRT juga menjadi pelaku dari suatu tindak pidana. Tindak pidana tersebut dapat terjadi karena korban KDRT yang berupaya melindungi dirinya atas KDRT yang ia alami maupun terjadi karena luka psikis yang dialami oleh korban KDRT. "Atas tindakan itu, yang dulunya korban KDRT akan cenderung dihukum secara pidana. Padahal seyogyanya korban KDRT harus diberikan rehabilitasi untuk menyembuhkan trauma yang dialami korban. Salah satu contohnya kasus Ni Putu Septyan Parmadani di Sukawati Gianyar, yang sebenarnya adalah korban dalam KDRT," terang Somya.
Atas berbagai kejadian di lapangan itulah, Solidaritas Lawan KDRT yang terdiri dari elemen-elemen gerakan dan aktivis yang peduli dengan perlindungan terhadap korban KDRT dan hak-haknya, yakni Bali Woman Crisis Center (Bali WCC), Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali, Tim Advokasi Perlindungan Anak (TAPA), Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Bali, Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Bali, LBH Apik Bali, Ladies Lawyer Bali, Luh Bali Jani, Lentera Anak Bali, Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) Bali, Bali Sruti dan LBH Panarajon mendeklarasikan diri dalam sebuah gerakan Solidaritas Lawan KDRT. Tujuannya, untuk sama-sama mengawal dan berharap adanya penyempurnaan UU Nomor 23 Tahun 2004 dan indikator lainnya. "Tentunya kita memiliki harapan kedepannya yakni ada empat. Pertama, penyempurnaan UU Nomor 23 itu, kedua memberikan advokasi terhadap perempuan yang semulanya korban dan menjadi pelaku. Ketiga mengharapkan masyarakat agar peka di lingkungan sekitar dan melindungi serta lapor adanya tindak KDRT, dan keempat mengupayakan rebalitas. Jadi empat point ini yang akan kita dorong kedepannya," harap Somya yang juga perawakilan LBH Panarajon. *dar
1
Komentar