SMAN 7 Denpasar dan SMAN 3 Denpasar Awali GSAP
Memasuki awal November 2018, SMAN 7 Denpasar dan SMAN 3 Denpasar memeriahkan Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP) Bali Mandara Nawanatya III di Kalangan Madya Mandala Taman Budaya Denpasar, Jumat (2/11) malam.
DENPASAR, NusaBali
Mereka masing-masing membawakan fragmentasi puisi dan pertunjukkan rakyat Genjek serta Joged.
Penampil pertama adalah SMAN 7 Denpasar. Empat gadis dengan balutan kain putih, dengan satu laki-laki di atas tangga yang menjulang tinggi memberikan suguhan fragmentasi puisi yang bertajuk ‘Badai Darah’. Walaupun hanya digarap dua hari, namun pertunjukkan sukses membius mata penonton. “Kalau dari SMAN 7 Denpasar dibawakan oleh perwakilan teater Antariksa. Fragmentari puisi ini kita garap hanya dua hari, karena adanya miss komunikasi dengan pihak sekolah” ungkap Kevinlio Belindo Budiono selaku asisten sutradara ‘Badai Darah’.
Sarat akan makna, fragmentasi puisi yang dibawakan mengajak masyarakat untuk bisa menghargai jasa perjuangan, yang mulai tergerus arus globalisasi dan gilanya akan tahta. “Dengan ini, kita berharap agar masyrakat bisa mengingat perjuangan yang terdahulu dan bukannya semakin gila dengan tahta,” ungkapnya.
Sementara SMAN 3 Denpasar unjuk diri dengan menampilkan suatu pertunjukan rakyat genjek dan joged yang dikemas menarik. Bertajuk ‘Jagra’ yang artinya waspada atau mawas diri ini. “Ingin lebih memberikan pesan di dalam joged itu sendiri, karena saat ini banyak yang salah kaprah akan adanya joged. Kalau di era sekarang pasti menilai joged itu pornografi, dan genjek itu mabuk, mabukan. Namun pada dasarnya, dengan tradisi yang asli itu tidak seperti itu,” papar I Gede Yogi Pramana, selaku konseptor dari garapan SMAN 3 Denpasar.
Yogi yang juga pemilik dari Kesiman Art Company ini menambahkan, pakem dari joged yang sebenarnya terletak pada saat dimana pengibing ini, tidak akan bisa sampai menyentuh si penari joged. “Justru di sinilah letak tradisi yang sebanarnya kalo diamati dengan baik, dan genjek ini sebenarnya tak hanya kumpul dan menjalin kebersamaan antar truna-truna (sebutan pemuda di Bali, red) dengan tuak-nya saja, tapi tidak dilihat. Bahwa saat minum tuak itu, alat yang dipake untuk minum yang terbuat dari bambu itu bisa dijadikan kreasi musik yang harmoninya sangat mengayuhkan,” ungkapnya.
Penuturan yang sama juga disampaikan I Made Mahottama Warmasuta, remaja yang juga ikut ambil alih dalam pementasan tersebut. Menurutnya, generasi muda sebagai penerus harusnya bisa memilah hal yang baik dan buruk. “Kalau pemikiran orang terus-terusan begitu, siapa yang akan jaga tradisi dari para leluhur kita?” katanya.
Mahottama pun menambahkan harapannya, agar ke depan generasi bisa menimbang serta menjaga tradisi dan Nawanatya bisa terus berjalan sebagai wadah aspirasi kreatifitas anak muda. “Semoga apa yang ditampilkan malam ini, bisa menjadi tonggak tradisi bali yang mulai bergeser dari tradisi yang ada dan dengan adanya Nawanatya bisa mengapresiasi serta mewadahi seni kreatifitas muda. Untuk Nawanatya sukses dan lanjutkan!” tutupnya. *ind
Mereka masing-masing membawakan fragmentasi puisi dan pertunjukkan rakyat Genjek serta Joged.
Penampil pertama adalah SMAN 7 Denpasar. Empat gadis dengan balutan kain putih, dengan satu laki-laki di atas tangga yang menjulang tinggi memberikan suguhan fragmentasi puisi yang bertajuk ‘Badai Darah’. Walaupun hanya digarap dua hari, namun pertunjukkan sukses membius mata penonton. “Kalau dari SMAN 7 Denpasar dibawakan oleh perwakilan teater Antariksa. Fragmentari puisi ini kita garap hanya dua hari, karena adanya miss komunikasi dengan pihak sekolah” ungkap Kevinlio Belindo Budiono selaku asisten sutradara ‘Badai Darah’.
Sarat akan makna, fragmentasi puisi yang dibawakan mengajak masyarakat untuk bisa menghargai jasa perjuangan, yang mulai tergerus arus globalisasi dan gilanya akan tahta. “Dengan ini, kita berharap agar masyrakat bisa mengingat perjuangan yang terdahulu dan bukannya semakin gila dengan tahta,” ungkapnya.
Sementara SMAN 3 Denpasar unjuk diri dengan menampilkan suatu pertunjukan rakyat genjek dan joged yang dikemas menarik. Bertajuk ‘Jagra’ yang artinya waspada atau mawas diri ini. “Ingin lebih memberikan pesan di dalam joged itu sendiri, karena saat ini banyak yang salah kaprah akan adanya joged. Kalau di era sekarang pasti menilai joged itu pornografi, dan genjek itu mabuk, mabukan. Namun pada dasarnya, dengan tradisi yang asli itu tidak seperti itu,” papar I Gede Yogi Pramana, selaku konseptor dari garapan SMAN 3 Denpasar.
Yogi yang juga pemilik dari Kesiman Art Company ini menambahkan, pakem dari joged yang sebenarnya terletak pada saat dimana pengibing ini, tidak akan bisa sampai menyentuh si penari joged. “Justru di sinilah letak tradisi yang sebanarnya kalo diamati dengan baik, dan genjek ini sebenarnya tak hanya kumpul dan menjalin kebersamaan antar truna-truna (sebutan pemuda di Bali, red) dengan tuak-nya saja, tapi tidak dilihat. Bahwa saat minum tuak itu, alat yang dipake untuk minum yang terbuat dari bambu itu bisa dijadikan kreasi musik yang harmoninya sangat mengayuhkan,” ungkapnya.
Penuturan yang sama juga disampaikan I Made Mahottama Warmasuta, remaja yang juga ikut ambil alih dalam pementasan tersebut. Menurutnya, generasi muda sebagai penerus harusnya bisa memilah hal yang baik dan buruk. “Kalau pemikiran orang terus-terusan begitu, siapa yang akan jaga tradisi dari para leluhur kita?” katanya.
Mahottama pun menambahkan harapannya, agar ke depan generasi bisa menimbang serta menjaga tradisi dan Nawanatya bisa terus berjalan sebagai wadah aspirasi kreatifitas anak muda. “Semoga apa yang ditampilkan malam ini, bisa menjadi tonggak tradisi bali yang mulai bergeser dari tradisi yang ada dan dengan adanya Nawanatya bisa mengapresiasi serta mewadahi seni kreatifitas muda. Untuk Nawanatya sukses dan lanjutkan!” tutupnya. *ind
1
Komentar