Pelestari Lingkungan Perkenalkan Ecobrick
Pelestari lingkungan yang juga trainer ecobrick (sejenis batako berbahan plasik padat, Red) asal Buleleng, Gede Praja Mahardika, memperkenalkan ecobrick melalui ceramah di Wantilan Pura Desa Pakraman Sukawati, Desa/Kecamatan Sukawati, Gianyar, Sabtu (3/11).
GIANYAR, NusaBali
Teknik ecobrick merupakan salah satu solusi mengatasi sampah botol plastik. Alumni Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Respati Jogjakarta ini menggugah para generasi muda khususnya warga Desa Sukawati agar bertanggungjawab atas sampah botol plastik yang dihasilkan. “Teknik sederhana ini cukup menjadi tren pengelolaan sampah botol plastik saat ini. Di Bali, Kabupaten Klungkung sudah menerapkan untuk menata taman kotanya,” jelas lajang kelahiran 21 Juli 1990 ini.
Papar Praja, ecobrick merupakan teknik sederhana dengan memadatkan sampah plastik ke dalam sampah botol plastik. Setelah padat, botol-botol tersebut bisa dirangkai menjadi meja, kursi, bahkan bisa sebagai pengganti batu bata maupun batako untuk membangun rumah. “Jika membuat ecobricks sudah mengakar, kesadaran lingkungan akan meningkat, perilaku konsumsi akan menurun, dan orang akan bergerak bersama untuk membuat proyek komunitas,” ujarnya.
Untuk satu kemasan botol plastik isian 600 ml, jelas dia, agar dimasuki sampah plastik hingga mencapai berat 200 sampai 300 gram. Kunci dari keberhasilan pembuatan ecobrick ini adalah ketelitian di awal dan menjaga kebersihan. Terutama jika ingin botol-botol plastik tersebut memiliki pola. “Jadi, saat mengawali sebaiknya pakai warna plastik yang senada. Sehingga saat ditata jadi bagus. Tapi itu namanya seni, kembali pada inspirasi masing-masing,” jelasnya.
Namun bukan sembarang plastik yang bisa dimasukkan dalam botol. “Plastiknya harus bersih dan kering,” ujarnya. Praja mengaku, setamat kuliah dari Jogjakarta telah membuat kebun ecobrick di rumahnya di Sambangan, Buleleng. Sekitar 3.000 botol ecobrick dihabiskan. “Itu saya bawa dari Jogja, bikin sejak tahun 2017 saat KKN. Dan setibanya di Bali, setiap sore saya rutin bikin ini. Saya kerjasama dengan laundry dekat rumah, botol bekas yang mereka biasanya buang saya manfaatkan,” jelas mantan nya Ketua Komisariat KHMDI Jogjakarta ini.
Dikatakan, teknik ini cukup baik untuk mengurangi peredaran sampah plastik di muka bumi ini. Sebab, tak banyak orang yang bisa memilah dan mendaur ulang. Justru sebagian besar sangat cuek, sehingga sampah plastik dibuang begitu saja. Ketika musim hujan datang, sampah-sampah plastik ini pun sering muncul bersama banjir.
Dikatakan, pencetus teknologi ini adalah orang asing, Russell Maier dan Ani Himawati. “Mereka adalah pemimpin di gerakan ecobricks global. Mereka memiliki pengalaman yang cukup luas dalam memobilisasi dan menggerakkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di desa, kecamatan, kota, provisi, dan tingkat nasional,” jelasnya. Jelas Praja, Russell dan Ani membantu menanamkan teknik, pendidikan, dan koordinasi di tingkat komunitas dan kota secara langsung, cepat, juga membantu mempertahankan penyebaran ecobrick. Dengan cara ini, membuat ecobrick akan menjadi kebiasaan rumah tangga dan komunitas dalam jangka panjang. *nvi
Teknik ecobrick merupakan salah satu solusi mengatasi sampah botol plastik. Alumni Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Respati Jogjakarta ini menggugah para generasi muda khususnya warga Desa Sukawati agar bertanggungjawab atas sampah botol plastik yang dihasilkan. “Teknik sederhana ini cukup menjadi tren pengelolaan sampah botol plastik saat ini. Di Bali, Kabupaten Klungkung sudah menerapkan untuk menata taman kotanya,” jelas lajang kelahiran 21 Juli 1990 ini.
Papar Praja, ecobrick merupakan teknik sederhana dengan memadatkan sampah plastik ke dalam sampah botol plastik. Setelah padat, botol-botol tersebut bisa dirangkai menjadi meja, kursi, bahkan bisa sebagai pengganti batu bata maupun batako untuk membangun rumah. “Jika membuat ecobricks sudah mengakar, kesadaran lingkungan akan meningkat, perilaku konsumsi akan menurun, dan orang akan bergerak bersama untuk membuat proyek komunitas,” ujarnya.
Untuk satu kemasan botol plastik isian 600 ml, jelas dia, agar dimasuki sampah plastik hingga mencapai berat 200 sampai 300 gram. Kunci dari keberhasilan pembuatan ecobrick ini adalah ketelitian di awal dan menjaga kebersihan. Terutama jika ingin botol-botol plastik tersebut memiliki pola. “Jadi, saat mengawali sebaiknya pakai warna plastik yang senada. Sehingga saat ditata jadi bagus. Tapi itu namanya seni, kembali pada inspirasi masing-masing,” jelasnya.
Namun bukan sembarang plastik yang bisa dimasukkan dalam botol. “Plastiknya harus bersih dan kering,” ujarnya. Praja mengaku, setamat kuliah dari Jogjakarta telah membuat kebun ecobrick di rumahnya di Sambangan, Buleleng. Sekitar 3.000 botol ecobrick dihabiskan. “Itu saya bawa dari Jogja, bikin sejak tahun 2017 saat KKN. Dan setibanya di Bali, setiap sore saya rutin bikin ini. Saya kerjasama dengan laundry dekat rumah, botol bekas yang mereka biasanya buang saya manfaatkan,” jelas mantan nya Ketua Komisariat KHMDI Jogjakarta ini.
Dikatakan, teknik ini cukup baik untuk mengurangi peredaran sampah plastik di muka bumi ini. Sebab, tak banyak orang yang bisa memilah dan mendaur ulang. Justru sebagian besar sangat cuek, sehingga sampah plastik dibuang begitu saja. Ketika musim hujan datang, sampah-sampah plastik ini pun sering muncul bersama banjir.
Dikatakan, pencetus teknologi ini adalah orang asing, Russell Maier dan Ani Himawati. “Mereka adalah pemimpin di gerakan ecobricks global. Mereka memiliki pengalaman yang cukup luas dalam memobilisasi dan menggerakkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di desa, kecamatan, kota, provisi, dan tingkat nasional,” jelasnya. Jelas Praja, Russell dan Ani membantu menanamkan teknik, pendidikan, dan koordinasi di tingkat komunitas dan kota secara langsung, cepat, juga membantu mempertahankan penyebaran ecobrick. Dengan cara ini, membuat ecobrick akan menjadi kebiasaan rumah tangga dan komunitas dalam jangka panjang. *nvi
Komentar