DenPasar Talk: Mengupas Artivisme dari Sudut Pandang 3 Seniman
Dari memotret sampah untuk cerminan, melukis mural di tembok untuk kepuasan sekaligus sindiran, hingga menggalang berbagai pelatihan bagi perempuan dan anak-anak yang mengalami krisis yang kompleks.
DENPASAR, NusaBali
Menutup rangkaian DenPasar2018 Movement yang telah dilaksanakan selama sebulan penuh, CushCush Gallery menggelar sebuah acara yang bertajuk ‘DenPasar Talk: ARTIVISM’ dan disajikan dengan diskusi santai mengenai seni dan pergerakan yang dilakukan oleh tiga seniman yang masing-masing berfokus pada bidang yang berbeda. Mereka adalah, Syafiudin Vifick (Fotografer), Dewa Ketha (Pelukis Mural), dan Citra Sasmita (Aktivis Perempuan/Pelukis). Acara yang digelar pada Minggu (04/11) di CushCush Gallery, Gang Rajawali, Teuku Umar, tersebut, dimoderatori oleh I Komang Adiartha.
Berbicara mengenai Artivisme, sebetulnya masing-masing seniman memiliki pandangan yang berbeda-beda yang tentunya relevan dengan gerakan apa yang mereka kerjakan. Misalnya, Citra Sasmita yang memandang Artivisme sebagai seni yang berpengaruh pada kehidupan sosial. Dirinya pun mengangkat isu-isu yang dekat dalam kehidupan sosialnya, yaitu isu perempuan.
“Karena apa ya, saya menyatakan keberpihakan saya secara tegas dalam isu-isu ini. Namun, jujur saya merupakan seniman yang cenderung aktif di ruang lingkup studio. Isu-isu perempuan itu saya gali dari televisi dan media massa, yang kemudian saya kaitkan pada seni. Tapi, saya rasa ada formula yang kurang sempurna, yang mana saya harus mencari relevansi dari karya-karya yang saya ciptakan,” papar Citra.
Barulah, sejak 2015, Citra aktif membuat gerakan yang berlokasi di tiga titik, yaitu di Desa Kedisan (Kintamani, Bangli), Desa Songan B (Kintamani, Bangli), dan Desa Pasir Putih, Lombok Utara. Mula-mula, berangkat dari isu kekerasan domestik yang menimpa para ibu di Desa Kedisan, Kintamani, Citra mengadakan pelatihan yang bekerja sama dengan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Bali Woman Crisis Centre (WCC), untuk melukis di atas tas kanvas, demi meningkatkan taraf ekonomi para ibu tersebut.
Lalu, di Desa Songan B, Citra yang dibantu oleh LBH Apik Bali, mengadakan pelatihan menulis puisi dan cerpen bagi anak muda yang menikah di usia dini, demi menjadi agen perubahan bagi generasi selanjutnya untuk menekan pernikahan di usia dini. Buku tersebut kemudian diluncurkan di Museum Geopark, Kintamani, Bangli, dan didistribusikan ke sekolah-sekolah yang ada di Kintamani, Bangli.
Proyek selanjutnya di tahun 2016, Citra menyasar Lombok Utara dan berkolaborasi dengan Komunitas Pasir Putih, yang didukung oleh Koalisi Seni Indonesia (KSI), untuk mengadakan pelatihan membuat wayang dari kardus dalam rangka membangun kedekatan antar ibu dan anak di kawasan tersebut. Juga, sekaligus meningkatkan solidaritas antar umat beragama yang cukup kompleks di sana, di antaranya umat Muslim, Hindu, dan Budha. Citra dan kawan-kawan juga memanfaatkan lahan yang kosong sebagai ajang silaturahmi dan bermain bagi anak-anak dan orang tua bertemakan instalasi wayang kardus yang mereka buat.
Di sisi lain, Syafiudin Vifick, seorang Fotografer, mengenal dunia fotografi dari sebuah media yang bernama Kamera Lubang Jarum dan menyadari bahwa fotografi bukan sekedar memotret, melainkan ada sebuah proses panjang yang akan dilalui seorang fotografer dalam menciptakan sebuah gambar.
Mengenai Artivisme, Vifick menjabarkannya menjadi tiga elemen sesuai dengan profesinya, yakni, Movement (pergerakan), Sharing (berbagi), dan Artwork (karya).
Movement yang Vifick kerjakan adalah, ketika ia pada 2003 mengadakan sebuah pameran foto tentang sampah yang ada di Sungai Berantas, Malang, Jawa Timur. Pameran foto tersebut digelar selama tiga minggu setiap hari Minggu. Namun, ternyata efek yang dihasilkan mampu membuat masyarakat di sana sadar akan kebersihan lingkungan dan mau berbenah diri.
“Minggu pertama, masyarakat bertanya-tanya, mengapa ada foto dirinya dan rumahnya yang kotor di sana. Minggu kedua, yang menarik, sungai itu mulai bersih, gang-gang mulai disapu. Yang menarik lagi di hari ketiga, sungai itu bersih total, gang-gang juga bersih, dan setiap rumah memiliki tong sampah. Lalu, dipasanglah kertas putih ‘Dilarang membuang sampah ke sungai,’ padahal sebelumnya tidak ada,” ungkap Vifick.
Movement selanjutnya, Vifick memotret sejumlah keluarga yang ada di Nganjuk, Jawa Timur. Foto tersebut dicetak dan dibagikan secara gratis pada keluarga yang bersangkutan. Menurutnya, yang menarik adalah, kita tidak sadar bahwa sebetulnya foto keluarga itu sangat penting. Hal itu sangat terasa ketika ada salah satu keluarga yang meninggal. Foto tersebut dapat dijadikan media untuk mengenangnya kembali.
Dalam sesi Sharing, Vifick bertolak ke Lombok Utara untuk mengajarkan anak-anak memotret Alquran kuno menggunakan kamera lubang jarum dan menekan stigma tentang hal-hal tabu yang sebenarnya bisa dibuat sederhana, hingga mengajarkan memotret untuk ibu-ibu di Poso, Sulawesi Tengah, dan menjadi lebih peka terhadap isu-isu di lingkungan sekitarnya. Memotret dijadikan senjata untuk keadilan dan kesadaran lingkungan.
Yang terakhir adalah Artwork. Vifick aktif membuat pameran-pameran foto yang tentu mengandung sentilan kritis di dalamnya. Karyanya yang bertajuk ‘Bali Not for Sale’ sempat dipamerkan di Artjog, Yogyakarta. Ketika itu, Vifick mengangkat isu pergeseran fungsi lahan yang tengah marak sebelum isu reklamasi. Selanjutnya, fotonya yang bertajuk ‘Animal Accident’ juga merupakan sebuah ironi yang patut direnungi perihal tabrak lari di jalan raya, baik yang korbannya binatang mau pun manusia. ‘Trash Attifact’ adalah artwork yang hingga saat ini masih dijalani Vifick, menceritakan tentang membaca perilaku masyarakat dari sampah yang dihasilkan.
Seniman lainnya, yaitu Dewa Ketha, salah satu pentolan di The Pojoks – sebuah komunitas mural yang aktif membahas isu-isu politik dan lingkungan melalui seni melukis mural – memaparkan tujuannya dalam diskusi tersebut. Menurutnya, ia tidak merasa melakukan sebuah kegiatan Artivisme, namun lebih kepada kepuasan dan rasa senang yang didapat saat hasratnya untuk berkesenian dapat tersalur. Uniknya, lukisan-lukisan muralnya tersebut banyak mengangkat tema-tema menyindir tentang isu politik dan lingkungan yang bisa membuat petinggi gerah jika melihatnya.
“Kami selama ini belum pernah menganggap diri sebagai aktivis, jadi kami masih bingung untuk menghubungkan karya kami tentang Artivisme. Memang kami sempat membuat sebuah mural yang menyatakan keprihatinan kami terhadap Celukan Bawang, mungkin itu bisa dikaitkan dengan Artivisme,” pungkas Dewa Ketha. *ph
Komentar