Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda: Jangan Beragama dalam Kecemasan
Bila umat dalam melaksanakan agama tanpa didasari pola pikir (mindset) maka akan terasa ruwet melaksanakan dharma agama dalam kehidupannya.
TABANAN, NusaBali
“Umat akan sibuk dan suntuk memainkan simbol-simbol agama, terutama dalam melaksanakan ajaran agama, misalnya dalam membuat sarana upakara (banten) dengan beragam versi. Padahal simbol-simbol tersebut hanyalah kulit luar dari agama itu, jika diteropong dari perspektif dan dimensi spiritual,” ujar cendekiawan, spiritualis Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda dalam dharmawacana dan dharmatula Pasraman Pemangku dan Srati Desa Pakraman Dadia, Penebel, Tabanan, pada Redite Kliwon Tolu, Minggu (11/11).
Beragama menurut cendekiawan Hindu ini adalah bagaimana membuat mindset berubah tanpa menafikan substansi keberagaman, guna menghindarkan diri dari kecemasan. “Jika mindset umat tidak diarahkan, maka akan membuat kecemasan, merasa serba kurang, tidak yakin, dan tidak sempurna khususnya dalam melaksanakan upacara dan membuat upakara (banten) sehingga cenderung melakukannya di luar tatwa dan susila agama Hindu.”
“Fenomena inilah yang acapkali menjadi lahan subur bagi para pihak dan kelompok tertentu untuk membuat umat wisesa dan mudah untuk menjual sesuatu serta memanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Tidak berlebihan kelompok tersebut juga merasa takut bilamana pola pikir umat berubah maju sehingga berani mengambil sikap yang menjadikan beragama itu mudah,” tutur Ida Pandita.
Sejauh ini umat dikatakan hanya sebagian kecil saja yang berani untuk membangun intelektualitasnya dengan menggunakan rasio, tanpa meninggalkan ideologi ritualistik dan habit atau kebiasaan, sehingga melahirkaan budi yang akan mampu membuat kehidupan keberagamaan menjadi modern sesuai dengan keadaaan zaman now (milenial).
“Agama harus berubah dengan berlandaskan intelektual di era milenial ini, tidak lagi terkungkung dalam dimensi spiritualistik dan gugon tuwon tanpa mengurangi unsur keyakinan, misalnya upacara yang seharusnya kecil jangan dibesarkan begitu juga sebaliknya,” katanya.
Pemetaan ideologi spiritual, menurut Ida Pandita Mpu Acharyananda penting, akan tetapi beragama dari dimensi filosofi juga lebih penting dan baik, karena akan melahirkan umat yang bijaksana dalam beragama.
“Jadi beragama sesuai dengan iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), dan kala (waktu) pasti akan enak tapi janganlah seenaknya,” ujar dosen ilmu agama itu.
Sementara itu, Bendesa Pakraman Dadia I Wayan Sukarata menjelaskan, pasraman pemangku dan srati ini dimaksudkan untuk memperkaya khasanah pengetahuan umat dan sekaligus mohon petunjuk dalam melaksanakan upacara sesuai dengan tatwa dan susila agama Hindu. Dengan demikian, umat akan mampu meningkatkan srada bhakti dalam menjalankan dharma agama. *isu
“Umat akan sibuk dan suntuk memainkan simbol-simbol agama, terutama dalam melaksanakan ajaran agama, misalnya dalam membuat sarana upakara (banten) dengan beragam versi. Padahal simbol-simbol tersebut hanyalah kulit luar dari agama itu, jika diteropong dari perspektif dan dimensi spiritual,” ujar cendekiawan, spiritualis Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda dalam dharmawacana dan dharmatula Pasraman Pemangku dan Srati Desa Pakraman Dadia, Penebel, Tabanan, pada Redite Kliwon Tolu, Minggu (11/11).
Beragama menurut cendekiawan Hindu ini adalah bagaimana membuat mindset berubah tanpa menafikan substansi keberagaman, guna menghindarkan diri dari kecemasan. “Jika mindset umat tidak diarahkan, maka akan membuat kecemasan, merasa serba kurang, tidak yakin, dan tidak sempurna khususnya dalam melaksanakan upacara dan membuat upakara (banten) sehingga cenderung melakukannya di luar tatwa dan susila agama Hindu.”
“Fenomena inilah yang acapkali menjadi lahan subur bagi para pihak dan kelompok tertentu untuk membuat umat wisesa dan mudah untuk menjual sesuatu serta memanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Tidak berlebihan kelompok tersebut juga merasa takut bilamana pola pikir umat berubah maju sehingga berani mengambil sikap yang menjadikan beragama itu mudah,” tutur Ida Pandita.
Sejauh ini umat dikatakan hanya sebagian kecil saja yang berani untuk membangun intelektualitasnya dengan menggunakan rasio, tanpa meninggalkan ideologi ritualistik dan habit atau kebiasaan, sehingga melahirkaan budi yang akan mampu membuat kehidupan keberagamaan menjadi modern sesuai dengan keadaaan zaman now (milenial).
“Agama harus berubah dengan berlandaskan intelektual di era milenial ini, tidak lagi terkungkung dalam dimensi spiritualistik dan gugon tuwon tanpa mengurangi unsur keyakinan, misalnya upacara yang seharusnya kecil jangan dibesarkan begitu juga sebaliknya,” katanya.
Pemetaan ideologi spiritual, menurut Ida Pandita Mpu Acharyananda penting, akan tetapi beragama dari dimensi filosofi juga lebih penting dan baik, karena akan melahirkan umat yang bijaksana dalam beragama.
“Jadi beragama sesuai dengan iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), dan kala (waktu) pasti akan enak tapi janganlah seenaknya,” ujar dosen ilmu agama itu.
Sementara itu, Bendesa Pakraman Dadia I Wayan Sukarata menjelaskan, pasraman pemangku dan srati ini dimaksudkan untuk memperkaya khasanah pengetahuan umat dan sekaligus mohon petunjuk dalam melaksanakan upacara sesuai dengan tatwa dan susila agama Hindu. Dengan demikian, umat akan mampu meningkatkan srada bhakti dalam menjalankan dharma agama. *isu
Komentar