Buku Antologi Puisi Nuryana Asmaudi Dibedah
Sastrawan Nuryana Asmaudi kembali menelorkan buku antologi puisi kedua berjudul ‘Taman Perangkap Bulan’.
SINGARAJA, NusaBali
Buku yang merangkum puluhan puisi karyanya itu dikupas di rumah belajar Komunitas Mahima Buleleng, Senin (19/11) malam. Buku puisi keduanya itu pun mencatat banyak persoalan, mulai dari percitaan dan romantisme, sejarah, hingga mitolologi pewayangan yang dikemas dalam gaya satir dan kelakar.
Puisi bertema mitologi pewayangan itu terlahir dalam penafsiran baru, dengan memasukkan pemahaman terhadap teks asal. Caranya menjadikan teks baru dengan gaya satire serta kelakar. “Tidak ada niat muluk-muluk saat menerbitkan buku ini. Saya hanya ingin merumahkan puisi-puisi saya agar tidak hilang. Selama ini tercecer di mana-mana. Kliping koran, majalah, di laci, map, dan file komputer,” kata dia.
Nuryana menceritakan dalam buku puisi keduanya itu, ia mengumpulan 97 puisi yang tercecer dari tahun 1989 - 2017. Ia mengaku dalam penulisan puisinya sering kali terinspirasi dari kehidupan sehari-hari, pengalaman pribadi, perenungan dan pergulatan eksistensi dan spiritual. Dari hal tersebut tema yang disajikan dalam puisinya pun sangat beragam.
Ia pun mengakui banyak mendapatkan inspirasi dan buah pikiran untuk melahirkan puisi brkaca pada tradisi dan keyakinan yang ada di Bali. Keunikan dan keindahan hidupnya di Bali sejak tahun 1996, mengantarkannya melahirkan karya-karya indah tercatat sebagai puisi.
Nuryana mengaku masih ada ratusan puisi lagi yang belum terangkum dalam buku. Puisi-puisi itu ia serahkan pada Raudal Tanjung Banua sebagai penyunting, untuk diseleksi. Puisi-puisi itu kemudian bermetamorfosa menjadi dua buah buku yang telah ia buat hingga kini. Sebelum buku antologi keduanya diterbitkan, tahun 2016 lalu ia juga sempat meerbitkan buku antologi puisi pertamanya yang berjudul ‘Doa Bulan Untuk Pungguk’ diterbitkan oleh Akar Indonesia.
Sementara itu, penulis muda Agus Wiratama yang membedah buku puisi itu menyebut Nuryana mengeksplorasi berbagai sudut dari satu hal yang diminati. Salah satunya romantisme Kintamani yang terangkum dalam puisi berjudul Sajak Cinta Bidadari. Namun di buku kumpulan puisi Taman Perangkap Bulan, Kintamani muncul lagi dengan sudut yang berbeda. Puisi itu berjudul “Di Mulut Goa Jepang Kintamani”. Pada puisi ini Nuryana bercerita tentang Goa Jepang yang memanggil ingatan tentang masa penjajahan jepang. “Pada puisi ini Nuryana seolah mengajak pembaca untuk merenung tanpa menggurui. Saat membaca puisi itu, suasana jelas tergambar. Seolah Nuryana mengajak pembaca masuk ke masa itu dan merenungi masa yang berbeda dengan gerutuan di dalam hati dan disampaikan dengan gaya puitik khasnya,” kata Agus. *k23
Buku yang merangkum puluhan puisi karyanya itu dikupas di rumah belajar Komunitas Mahima Buleleng, Senin (19/11) malam. Buku puisi keduanya itu pun mencatat banyak persoalan, mulai dari percitaan dan romantisme, sejarah, hingga mitolologi pewayangan yang dikemas dalam gaya satir dan kelakar.
Puisi bertema mitologi pewayangan itu terlahir dalam penafsiran baru, dengan memasukkan pemahaman terhadap teks asal. Caranya menjadikan teks baru dengan gaya satire serta kelakar. “Tidak ada niat muluk-muluk saat menerbitkan buku ini. Saya hanya ingin merumahkan puisi-puisi saya agar tidak hilang. Selama ini tercecer di mana-mana. Kliping koran, majalah, di laci, map, dan file komputer,” kata dia.
Nuryana menceritakan dalam buku puisi keduanya itu, ia mengumpulan 97 puisi yang tercecer dari tahun 1989 - 2017. Ia mengaku dalam penulisan puisinya sering kali terinspirasi dari kehidupan sehari-hari, pengalaman pribadi, perenungan dan pergulatan eksistensi dan spiritual. Dari hal tersebut tema yang disajikan dalam puisinya pun sangat beragam.
Ia pun mengakui banyak mendapatkan inspirasi dan buah pikiran untuk melahirkan puisi brkaca pada tradisi dan keyakinan yang ada di Bali. Keunikan dan keindahan hidupnya di Bali sejak tahun 1996, mengantarkannya melahirkan karya-karya indah tercatat sebagai puisi.
Nuryana mengaku masih ada ratusan puisi lagi yang belum terangkum dalam buku. Puisi-puisi itu ia serahkan pada Raudal Tanjung Banua sebagai penyunting, untuk diseleksi. Puisi-puisi itu kemudian bermetamorfosa menjadi dua buah buku yang telah ia buat hingga kini. Sebelum buku antologi keduanya diterbitkan, tahun 2016 lalu ia juga sempat meerbitkan buku antologi puisi pertamanya yang berjudul ‘Doa Bulan Untuk Pungguk’ diterbitkan oleh Akar Indonesia.
Sementara itu, penulis muda Agus Wiratama yang membedah buku puisi itu menyebut Nuryana mengeksplorasi berbagai sudut dari satu hal yang diminati. Salah satunya romantisme Kintamani yang terangkum dalam puisi berjudul Sajak Cinta Bidadari. Namun di buku kumpulan puisi Taman Perangkap Bulan, Kintamani muncul lagi dengan sudut yang berbeda. Puisi itu berjudul “Di Mulut Goa Jepang Kintamani”. Pada puisi ini Nuryana bercerita tentang Goa Jepang yang memanggil ingatan tentang masa penjajahan jepang. “Pada puisi ini Nuryana seolah mengajak pembaca untuk merenung tanpa menggurui. Saat membaca puisi itu, suasana jelas tergambar. Seolah Nuryana mengajak pembaca masuk ke masa itu dan merenungi masa yang berbeda dengan gerutuan di dalam hati dan disampaikan dengan gaya puitik khasnya,” kata Agus. *k23
1
Komentar