Krama Nunas Sesikepan Benang Tri Datu Berisi Suna-Jangu
Prosesi ritual nunas sesikepan rutin digelar di Pura Er Jeruk setahun sekali menjelang Sasih Kanem. Berdasarkan kepercayaan, Sasih Kanem adalah sasih kegeringan di mana berbagai wabah penyakit dan bencana melanda
GIANYAR, NusaBali
Karya Agung dan Segara Kertih di Pura Er Jeruk, Desa Pakraman Sukawati, Kecamatan Sukawati, Gianyar akan digelar pada Budha Kliwon Pahang, Rabu, 30 Januari 2019 mendatang. Tiga bulan menjelang upacara tersebut, ada ritual nunas sesikepan (sarana untuk perlindungan secara niskala) di pura yang berlokadi di Banjar Gelumpang, Desa Sukawati ini.
Prosesi ritual nunas sesikepan ini berlangsung saat Tilem Kalima (bulan mati kelima sistem penanggalan Bali), Rabu (7/11) lalu, atau sehari sebelum masuk Sasih Kanem (bulan keenam sistem penanggalan Bali). Sesikepan dimaksud berupa benang tri datu berisi suna (bawang putih), suna, jangu, dan pis bolong (uang kepeng). Ritual nunas sesikepan ini sebetulnya tidak ada kaitannya dengan Karya Agung dan Segara Kertih di Pura Er Jeruk. Hanya saja, pelaksanaanya relatif berdekatan.
Ritual nunas sesikepan rutin digelar setahun sekali menjelang Sasih Kanem. Sebab, berdasarkan kepercayaan, Sasih Kanem diyakini sebagai sasih kegeringan, di mana berbagai wabah penyakit melanda, terjadi bencana banjir, bencana pohon tumbang, dan bencana lainnya yang silih berganti. Umat Hindu di Bali pun punya tradisi berbeda untuk meminimalkan pengaruh negatif Sasih Kanem, sesuai desa kala patra.
Nah, bagi penyungsung Pura Er Jeruk, mereka meminimalkan pengaruh negatif Sasih Kanem dengan nunas sikepan benang tri datu berisi suna, jangu, dan pis bolong (uang kepeng) paica dari pura. Sesuai namanya, benang tri datu terdiri dari 3 warna: merah, putih, dan hitam.
Menurut Pamangku Pura Er Jeruk, Jro Mangku Ida Bagus Made Putra Adnyana, tradisi nunas sesikepan benang tri datu berisi suna, jangu, dan pis bolong tersebut sudah diwarisi secara turun temurun. "Memang tidak ada catatan tertulis terkait tradisi ritual nunas sesikepan ini, baik dalam purana maupun lontar lain. Tapi, kami menjalankan tradisi ini dengan penuh keyakinan," jelas Jro Mangku Putra Yadnya saat ditemui NusaBali di Pura Er Jerok, Kamis (22/11).
Jro Mangku Putra Yadnya mengatakan, tradisi ritual nunas sesikepan ini biasa dilaksanakan pada Tilem Kalima atau sehari jelang masuk Sasih Kanem. Krama yang hendak nunas sesikepan, biasanya tangkil ke Pura Er Jeruk dengan menyiapkan beberapa helai benang tri datu serta suna, jangu, dan pis bolong. Jumlahnya menyesuaikan dengan jumlah anggota keluarga.
Sesikepan yang disiapkan dari rumah ini diwadahi takir daun pisang, lalu diletakkan dalam banten pejati yang dihaturkan di Pura Er Jeruk. Selesai melakukan persembahyangan, sesikepan yang sudah diupacarai ini dibagikan satu per satu kepada anggota keluarga. "Sesikepan ini bisa dijadikan kalung atau gelang," jelas Jro Mangku Putra Yadnya.
Sesuai namanya, sesikepan ini bermakna sebagai bekal atau semacam perlindungan niskala dari pengaruh negatif. "Sesikepan ini sebagai simbolis perlindungan kepada krama saat sasih kegeringan. Harapannya, tentu agar dijauhkan dari penyakit dan marabahaya," katanya.
Disebutkan, Pura Er Jeruk bukan hanya jadi tempat suci untuk nunas sesikepan jelang sasih kegeringan. Di areal Pura Er Jeruk juga terdapat pohon Kampuak berusia ratusan tahun. Pohon ini berlubang vertikal pada bagian batangnya. "Lubang pohon Kampuak ini diyakini tembus hingga Segara Purnama," papar Jro Mangku Putra Yadnya.
Pada zaman dulu, lubang pohon Kampuak ini sering digunakan sebagai tempat luwu (sampah) canang, bunga, dan sarana upakara lainnya. Tanpa dibakar maupun dibersihkan, luwu yang awalnya tertumpuk di lubang akan hilang begitu saja bak ditelan bumi. "Mungkin ada jalur pembuangan dalam pohon ini tembus di segara. Tapi kami tidak pernah berusaha membuktikannya."
Pura Er Jeruk sendiri merupakan pura tua yang diempon sejumlah subak di Desa Sukawati. Menurut Manggala Karya Agung dan Segara Kertih Pura Er Jeruk, I Made Suka Idep, saat ini ada sekitar 250 kepala keluarga (KK) krama subak yang aktif ngayah sebagai pangempon Pura Er Jeruk.
Menjelang Karya Agung dan Segara Kertih, krama pangempon aktif ngayah tiap hari di Pura Er Jeruk mulai pagi pukul 08.00 Wita hingga sore pukul 16.00 Wita. "Karena pengayah tidak ada jeda pulang ke rumah, jadi disiapkan paica (makan dan minum) setiap hari," jelas Made Suka Idep kepada NusaBali di Pura Er Jeruk, Kamis lalu.
Suka Idep menerangkan, Karya Agung dan Segara Kertih Pura Er Jeruk ini untuk kali pertama digelar kembali sejak pelaksanaan terakhir pada 1 Oktober 1989 silam. Kendati puncak karya baru akan digelar 30 Januati 2019 mendatang, namun persiapan sudah dilaksanakan sejak Oktober 2018 lalu.
Rencananya, Karya Agung dan Segara Kertih Pura Er Jeruk mengambil tingkatan Madyaning Utama dengan menggunakan sarana 5 ekor kebo (kerbau). “Karya ini bertujuan untuk mohon kerahayuan jagadhita, khususnya di Desa Pakaraman Sukawati,” jelas Suka Idep, yang juga Pekaseh Gede Subak Cengcengan---yang menaungi 13 Subak Pengemong Pura Er Jeruk.
Menurut Suka Idep, Karya Agung dan Segara Kertih Pura Er Jeruk digelar kembali karena pernah ada sipta (pertanda niskala) berupa serangan angin puting beliung hingga merobohkan Bale Gong. “Saat itu juga, krama subak sudah menggelar upacara Pecaruan Panca Kelud,” kenang Suka Idep, yang kesehariannya merupakan Guru Olahraga SDN 2 Sukawati.
Selain pertanda niskala, kata Suka Idep, banyak krama subak yang gagal panen. Setelah minta petunjuk kepada sulinggih, disarankan untuk menggelar upacara Karya Agung dan Segara Kertih. Ajaibnya, baru saja disepakati menggelar Karya Agung dan Segara Kertih di Pura Er Jeruk, para petani setempat mulai bisa menikmati hasil panen berlimpah.
Suka Idep mengisahkan, Pura Er Jeruk sudah ada sejak abad ke-10. “Sebelum Dang Hyang Nirartha tiba di sini sekitar abad ke-14, sudah ada palinggih Meru Tumpeng Lima (tingkat 5). Yang berstana di sni Ida Bhatara Putran Jaya, putra dari Ida Batara Gunung Agung Besakih,” jelas tokoh asal Banjar Palak, Desa Sukawati ini.
Sekilas diceritakan, kedatangan Dang Hyang Nirartha ke Pura Er Jeruk pada abad ke 10 disambut antusias oleh desa-desa yang ada di sekitarnya. “Beliau (Dang Hyang Nirartha) banyak memberikan wejangan tentang teknik pertanian, budaya, ekonomi, dan politik. Di depan pura ini beliau menancapkan tongkat saktinya. Sejak itulah tanah di Sukawati dipercaya jadi lebih subur,” papar Suka Idep.
Tancapan tongkat Dang Hyang Nirartha pun bisa dilihat pada palinggih yang berada di jaba sisi sebelah kiri gapura Pura Er Jeruk. Ajaibnya, di lokasi tersebut tumbuh pohon Irun yang tak pernah mati. “Sekarang ada 2 pohon kembar. Setahu kami, pohon ini jika mati, pasti tumbuh yang baru tanpa ada yang menanam,” jelasnya.
Mengenai nama Er Jeruk untuk pura ini, menurut Suka Idep, ada banyak versi. Salah satunya, karena ketika Dang Hyang Nirartha tiba, disambut dan dijamu dengan air jeruk, sehingga dinamakan Pura Er Jeruk. “Ada pula yang menyebut bahwa dari tangan beliau muncul air yang membawa berkah. Versi lainnya lagi, karena dekat pantai, disebutkan air ceruk,” jelas Suka Idep. *nvi
Karya Agung dan Segara Kertih di Pura Er Jeruk, Desa Pakraman Sukawati, Kecamatan Sukawati, Gianyar akan digelar pada Budha Kliwon Pahang, Rabu, 30 Januari 2019 mendatang. Tiga bulan menjelang upacara tersebut, ada ritual nunas sesikepan (sarana untuk perlindungan secara niskala) di pura yang berlokadi di Banjar Gelumpang, Desa Sukawati ini.
Prosesi ritual nunas sesikepan ini berlangsung saat Tilem Kalima (bulan mati kelima sistem penanggalan Bali), Rabu (7/11) lalu, atau sehari sebelum masuk Sasih Kanem (bulan keenam sistem penanggalan Bali). Sesikepan dimaksud berupa benang tri datu berisi suna (bawang putih), suna, jangu, dan pis bolong (uang kepeng). Ritual nunas sesikepan ini sebetulnya tidak ada kaitannya dengan Karya Agung dan Segara Kertih di Pura Er Jeruk. Hanya saja, pelaksanaanya relatif berdekatan.
Ritual nunas sesikepan rutin digelar setahun sekali menjelang Sasih Kanem. Sebab, berdasarkan kepercayaan, Sasih Kanem diyakini sebagai sasih kegeringan, di mana berbagai wabah penyakit melanda, terjadi bencana banjir, bencana pohon tumbang, dan bencana lainnya yang silih berganti. Umat Hindu di Bali pun punya tradisi berbeda untuk meminimalkan pengaruh negatif Sasih Kanem, sesuai desa kala patra.
Nah, bagi penyungsung Pura Er Jeruk, mereka meminimalkan pengaruh negatif Sasih Kanem dengan nunas sikepan benang tri datu berisi suna, jangu, dan pis bolong (uang kepeng) paica dari pura. Sesuai namanya, benang tri datu terdiri dari 3 warna: merah, putih, dan hitam.
Menurut Pamangku Pura Er Jeruk, Jro Mangku Ida Bagus Made Putra Adnyana, tradisi nunas sesikepan benang tri datu berisi suna, jangu, dan pis bolong tersebut sudah diwarisi secara turun temurun. "Memang tidak ada catatan tertulis terkait tradisi ritual nunas sesikepan ini, baik dalam purana maupun lontar lain. Tapi, kami menjalankan tradisi ini dengan penuh keyakinan," jelas Jro Mangku Putra Yadnya saat ditemui NusaBali di Pura Er Jerok, Kamis (22/11).
Jro Mangku Putra Yadnya mengatakan, tradisi ritual nunas sesikepan ini biasa dilaksanakan pada Tilem Kalima atau sehari jelang masuk Sasih Kanem. Krama yang hendak nunas sesikepan, biasanya tangkil ke Pura Er Jeruk dengan menyiapkan beberapa helai benang tri datu serta suna, jangu, dan pis bolong. Jumlahnya menyesuaikan dengan jumlah anggota keluarga.
Sesikepan yang disiapkan dari rumah ini diwadahi takir daun pisang, lalu diletakkan dalam banten pejati yang dihaturkan di Pura Er Jeruk. Selesai melakukan persembahyangan, sesikepan yang sudah diupacarai ini dibagikan satu per satu kepada anggota keluarga. "Sesikepan ini bisa dijadikan kalung atau gelang," jelas Jro Mangku Putra Yadnya.
Sesuai namanya, sesikepan ini bermakna sebagai bekal atau semacam perlindungan niskala dari pengaruh negatif. "Sesikepan ini sebagai simbolis perlindungan kepada krama saat sasih kegeringan. Harapannya, tentu agar dijauhkan dari penyakit dan marabahaya," katanya.
Disebutkan, Pura Er Jeruk bukan hanya jadi tempat suci untuk nunas sesikepan jelang sasih kegeringan. Di areal Pura Er Jeruk juga terdapat pohon Kampuak berusia ratusan tahun. Pohon ini berlubang vertikal pada bagian batangnya. "Lubang pohon Kampuak ini diyakini tembus hingga Segara Purnama," papar Jro Mangku Putra Yadnya.
Pada zaman dulu, lubang pohon Kampuak ini sering digunakan sebagai tempat luwu (sampah) canang, bunga, dan sarana upakara lainnya. Tanpa dibakar maupun dibersihkan, luwu yang awalnya tertumpuk di lubang akan hilang begitu saja bak ditelan bumi. "Mungkin ada jalur pembuangan dalam pohon ini tembus di segara. Tapi kami tidak pernah berusaha membuktikannya."
Pura Er Jeruk sendiri merupakan pura tua yang diempon sejumlah subak di Desa Sukawati. Menurut Manggala Karya Agung dan Segara Kertih Pura Er Jeruk, I Made Suka Idep, saat ini ada sekitar 250 kepala keluarga (KK) krama subak yang aktif ngayah sebagai pangempon Pura Er Jeruk.
Menjelang Karya Agung dan Segara Kertih, krama pangempon aktif ngayah tiap hari di Pura Er Jeruk mulai pagi pukul 08.00 Wita hingga sore pukul 16.00 Wita. "Karena pengayah tidak ada jeda pulang ke rumah, jadi disiapkan paica (makan dan minum) setiap hari," jelas Made Suka Idep kepada NusaBali di Pura Er Jeruk, Kamis lalu.
Suka Idep menerangkan, Karya Agung dan Segara Kertih Pura Er Jeruk ini untuk kali pertama digelar kembali sejak pelaksanaan terakhir pada 1 Oktober 1989 silam. Kendati puncak karya baru akan digelar 30 Januati 2019 mendatang, namun persiapan sudah dilaksanakan sejak Oktober 2018 lalu.
Rencananya, Karya Agung dan Segara Kertih Pura Er Jeruk mengambil tingkatan Madyaning Utama dengan menggunakan sarana 5 ekor kebo (kerbau). “Karya ini bertujuan untuk mohon kerahayuan jagadhita, khususnya di Desa Pakaraman Sukawati,” jelas Suka Idep, yang juga Pekaseh Gede Subak Cengcengan---yang menaungi 13 Subak Pengemong Pura Er Jeruk.
Menurut Suka Idep, Karya Agung dan Segara Kertih Pura Er Jeruk digelar kembali karena pernah ada sipta (pertanda niskala) berupa serangan angin puting beliung hingga merobohkan Bale Gong. “Saat itu juga, krama subak sudah menggelar upacara Pecaruan Panca Kelud,” kenang Suka Idep, yang kesehariannya merupakan Guru Olahraga SDN 2 Sukawati.
Selain pertanda niskala, kata Suka Idep, banyak krama subak yang gagal panen. Setelah minta petunjuk kepada sulinggih, disarankan untuk menggelar upacara Karya Agung dan Segara Kertih. Ajaibnya, baru saja disepakati menggelar Karya Agung dan Segara Kertih di Pura Er Jeruk, para petani setempat mulai bisa menikmati hasil panen berlimpah.
Suka Idep mengisahkan, Pura Er Jeruk sudah ada sejak abad ke-10. “Sebelum Dang Hyang Nirartha tiba di sini sekitar abad ke-14, sudah ada palinggih Meru Tumpeng Lima (tingkat 5). Yang berstana di sni Ida Bhatara Putran Jaya, putra dari Ida Batara Gunung Agung Besakih,” jelas tokoh asal Banjar Palak, Desa Sukawati ini.
Sekilas diceritakan, kedatangan Dang Hyang Nirartha ke Pura Er Jeruk pada abad ke 10 disambut antusias oleh desa-desa yang ada di sekitarnya. “Beliau (Dang Hyang Nirartha) banyak memberikan wejangan tentang teknik pertanian, budaya, ekonomi, dan politik. Di depan pura ini beliau menancapkan tongkat saktinya. Sejak itulah tanah di Sukawati dipercaya jadi lebih subur,” papar Suka Idep.
Tancapan tongkat Dang Hyang Nirartha pun bisa dilihat pada palinggih yang berada di jaba sisi sebelah kiri gapura Pura Er Jeruk. Ajaibnya, di lokasi tersebut tumbuh pohon Irun yang tak pernah mati. “Sekarang ada 2 pohon kembar. Setahu kami, pohon ini jika mati, pasti tumbuh yang baru tanpa ada yang menanam,” jelasnya.
Mengenai nama Er Jeruk untuk pura ini, menurut Suka Idep, ada banyak versi. Salah satunya, karena ketika Dang Hyang Nirartha tiba, disambut dan dijamu dengan air jeruk, sehingga dinamakan Pura Er Jeruk. “Ada pula yang menyebut bahwa dari tangan beliau muncul air yang membawa berkah. Versi lainnya lagi, karena dekat pantai, disebutkan air ceruk,” jelas Suka Idep. *nvi
1
Komentar