Kenangan Tionghoa yang Terancam Punah
Desa Melinggih, Kecamatan Payangan, Gianyar pada puluhan tahun silam amat terkenal sebagai kampung Leci.
Nasib Pohon Leci di Desa Melinggih, Payangan
GIANYAR, NusaBali
Karena pohon Leci berjejer rapi, berbuah lebat dengan ciri khas warna merah di sepanjang jalan raya Payangan. Kala itu, ada setidaknya 1.000 pohon Leci. Bahkan di setiap pintu pekarangan rumah warga, terdapat dua pohon Leci. Namun kini, keberadaan pohon Leci kian punah. Jumlahnya tak lebih dari 50 pohon.
Kondisi itu diungkapkan salah seorang tokoh masyarakat Payangan, Dewa Ngakan Made Rai Budiasa. Dikatakan, Leci sebagai ikon Payangan memiliki sejarah yang tak akan pernah dilupakan oleh masyarakat sekitar.
Dikisahkan, Leci pertama dibawa dan ditanam oleh Keluarga Lie, warga Tionghoa sekitar tahun 1901 yang ditanam di depan Puri Payangan. Beruntung hingga kini, pohon Leci berusia ratusan tahun itu masih berdiri kokoh dan berbuah lebat. Sejak saat itulah, dengan cara dicangkok, pohon leci menghiasi sepanjang jalan raya Payangan. Jumlahnya sekitar 1.000 pohon. Terdiri dari 500 pohon di sisi timur dan 500 pohon di sisi barat. Setiap penduduk memiliki tak kurang dari 5 pohon di depan ataupun di belakang rumah mereka. ‘’Tapi semuanya kini tinggal kenangan karena Leci Payangan makin punah karena sudah sangat langka,” ungkap Dewa Rai Budiasa, saat ditemui dikediamannya beberapa waktu lalu.
Kepunahan ikon Payangan ini terjadi sekitar tahun 1976/1977, ketika Ratu Elizabeth berkunjung ke Gianyar dengan tujuan menyumbang aliran listrik. “Saat itu dimasa Bupati Tjokorda Gde Raka Derana dan dilanjutkan oleh Tjokorda Gde Budi Suryawan di era orde baru,” jelasnya. Karena listrik masuk desa tersebut, lanjut Dewa Rai, seolah menjadi alasan penebangan pohon Leci di sepanjang jalan raya Payangan. “Awalnya hanya dibabat pada sisi barat. Setelah listrik masuk, warga di sisi timur juga menghendaki listrik. Jadi ikut dibabat juga, untung beberapa masih ada. Seperti di Polsek dan Puri Payangan,” jelas pembina Yayasan Kesenian dan Kebudayaan Bali Yasa Putra Sedana ini.
Saking nyaris punahnya pohon Leci ini, berbagai upaya pun dilakukan. Salah satunya melalui penelitian Leci Payangan yang dilakukan oleh mahasiswa Institut Pertanian Bogor. “Sejak tahun 80 an sudah pernah diupayakan dikembangkan di dekat Bogor dengan cara mecangkok pohon yang masih ada. Namun hasilnya tidak bisa menyerupai kualitas leci Payangan,” ungkap alumni SMAN 1 Denpasar ini. Karena itu, saran dia, saatnya Leci Payangan dilestarikan kembali untuk pengetahuan generasi di masa mendatang.
Ditambahkan Dewa Rai, Leci berbuah sekali setahun tepatnya November-Desember. “Biasanya Leci mulai berbunga bulan September, lalu berbuah dan siap panen,” jelasnya. Dijelaskan, menurut kepercayaan fenomena pohon leci memang harus ditanam dipinggir jalan dan akan tumbuh lebih baik bila dilalui banyak orang yang lalu lalang di sekitar lokasi. Sebaliknya jika ditanam di tempat sepi, akan sulit berbuah. Inipun dibuktikan sampai saat ini, pohon leci yang mau berbuah baik dan subur semuanya berada di pinggir jalan raya.
Hanya saja, lebatnya buah leci turut menjadi daya tarik bagi para kelelawar. Sehingga Dewa Rai Budiasa akhir-akhir ini selalu bergadang mengusir kelelawar di malam hari. “Kelelawar itu muncul jam 7 malam, jam 2 dan jam 4 pagi. Jadi kita harus bergadang mengusir, kalau tidak sehari bisa habis ini,” jelasnya. Cara mengusir kelelawarpun masih tradisional, menggunakan dua bilah bambu yang diletakkan di atas pohon. Untuk membunyikan bambu tersebut, tinggal tarik tali yang dikaitkan hingga ke bawah. “Selain itu kami juga pakai bendera plastik, jadi jika kena angin bisa bersuara untuk mengusir kelelawar,” jelas mantan staff KBRI di Bonn, Jerman ini. Terkait pemasaran, harga jual Leci cukup menjanjikan yakni Rp 125.000 - Rp 150.000/kg. Leci Payangan mirip buah stroberi dengan rasa mirip kelengkeng.
“Perlu jangka waktu lama untuk hasilkan, maka saatnya sekarang mumpung masih ada tetua yang tahu sejarah leci. Nampaknya juga tidak aneh jika pemerintah mulai jemput bola untuk melestarikan. Melalui suatu program kegiatan pertanian barangkali bisa digalang sehingga dalam 10 tahun itu sudah bisa berbuah,” ujarnya. Jika itu terwujud, maka Leci bisa jadi industri. “Dikemas lebih bagus, bisa dibuat sejenis buah kaleng,” jelasnya. *nvi
GIANYAR, NusaBali
Karena pohon Leci berjejer rapi, berbuah lebat dengan ciri khas warna merah di sepanjang jalan raya Payangan. Kala itu, ada setidaknya 1.000 pohon Leci. Bahkan di setiap pintu pekarangan rumah warga, terdapat dua pohon Leci. Namun kini, keberadaan pohon Leci kian punah. Jumlahnya tak lebih dari 50 pohon.
Kondisi itu diungkapkan salah seorang tokoh masyarakat Payangan, Dewa Ngakan Made Rai Budiasa. Dikatakan, Leci sebagai ikon Payangan memiliki sejarah yang tak akan pernah dilupakan oleh masyarakat sekitar.
Dikisahkan, Leci pertama dibawa dan ditanam oleh Keluarga Lie, warga Tionghoa sekitar tahun 1901 yang ditanam di depan Puri Payangan. Beruntung hingga kini, pohon Leci berusia ratusan tahun itu masih berdiri kokoh dan berbuah lebat. Sejak saat itulah, dengan cara dicangkok, pohon leci menghiasi sepanjang jalan raya Payangan. Jumlahnya sekitar 1.000 pohon. Terdiri dari 500 pohon di sisi timur dan 500 pohon di sisi barat. Setiap penduduk memiliki tak kurang dari 5 pohon di depan ataupun di belakang rumah mereka. ‘’Tapi semuanya kini tinggal kenangan karena Leci Payangan makin punah karena sudah sangat langka,” ungkap Dewa Rai Budiasa, saat ditemui dikediamannya beberapa waktu lalu.
Kepunahan ikon Payangan ini terjadi sekitar tahun 1976/1977, ketika Ratu Elizabeth berkunjung ke Gianyar dengan tujuan menyumbang aliran listrik. “Saat itu dimasa Bupati Tjokorda Gde Raka Derana dan dilanjutkan oleh Tjokorda Gde Budi Suryawan di era orde baru,” jelasnya. Karena listrik masuk desa tersebut, lanjut Dewa Rai, seolah menjadi alasan penebangan pohon Leci di sepanjang jalan raya Payangan. “Awalnya hanya dibabat pada sisi barat. Setelah listrik masuk, warga di sisi timur juga menghendaki listrik. Jadi ikut dibabat juga, untung beberapa masih ada. Seperti di Polsek dan Puri Payangan,” jelas pembina Yayasan Kesenian dan Kebudayaan Bali Yasa Putra Sedana ini.
Saking nyaris punahnya pohon Leci ini, berbagai upaya pun dilakukan. Salah satunya melalui penelitian Leci Payangan yang dilakukan oleh mahasiswa Institut Pertanian Bogor. “Sejak tahun 80 an sudah pernah diupayakan dikembangkan di dekat Bogor dengan cara mecangkok pohon yang masih ada. Namun hasilnya tidak bisa menyerupai kualitas leci Payangan,” ungkap alumni SMAN 1 Denpasar ini. Karena itu, saran dia, saatnya Leci Payangan dilestarikan kembali untuk pengetahuan generasi di masa mendatang.
Ditambahkan Dewa Rai, Leci berbuah sekali setahun tepatnya November-Desember. “Biasanya Leci mulai berbunga bulan September, lalu berbuah dan siap panen,” jelasnya. Dijelaskan, menurut kepercayaan fenomena pohon leci memang harus ditanam dipinggir jalan dan akan tumbuh lebih baik bila dilalui banyak orang yang lalu lalang di sekitar lokasi. Sebaliknya jika ditanam di tempat sepi, akan sulit berbuah. Inipun dibuktikan sampai saat ini, pohon leci yang mau berbuah baik dan subur semuanya berada di pinggir jalan raya.
Hanya saja, lebatnya buah leci turut menjadi daya tarik bagi para kelelawar. Sehingga Dewa Rai Budiasa akhir-akhir ini selalu bergadang mengusir kelelawar di malam hari. “Kelelawar itu muncul jam 7 malam, jam 2 dan jam 4 pagi. Jadi kita harus bergadang mengusir, kalau tidak sehari bisa habis ini,” jelasnya. Cara mengusir kelelawarpun masih tradisional, menggunakan dua bilah bambu yang diletakkan di atas pohon. Untuk membunyikan bambu tersebut, tinggal tarik tali yang dikaitkan hingga ke bawah. “Selain itu kami juga pakai bendera plastik, jadi jika kena angin bisa bersuara untuk mengusir kelelawar,” jelas mantan staff KBRI di Bonn, Jerman ini. Terkait pemasaran, harga jual Leci cukup menjanjikan yakni Rp 125.000 - Rp 150.000/kg. Leci Payangan mirip buah stroberi dengan rasa mirip kelengkeng.
“Perlu jangka waktu lama untuk hasilkan, maka saatnya sekarang mumpung masih ada tetua yang tahu sejarah leci. Nampaknya juga tidak aneh jika pemerintah mulai jemput bola untuk melestarikan. Melalui suatu program kegiatan pertanian barangkali bisa digalang sehingga dalam 10 tahun itu sudah bisa berbuah,” ujarnya. Jika itu terwujud, maka Leci bisa jadi industri. “Dikemas lebih bagus, bisa dibuat sejenis buah kaleng,” jelasnya. *nvi
Komentar