Dilema Arsitektur Bali, Nilai Filosofi Tetap Harus Dijaga
Perubahan zaman turut mempengaruhi perkembangan seni, budaya, desain dan arsitektur sebagai hasil kebudayaan daerah.
DENPASAR, NusaBali
Masalah ini menjadi topik menarik dalam Seminar Seni, Budaya, Desain dan Arsitektur (Senasdar) 2018 yang bertema ‘Memaknai Kembali Seni, Budaya, Desain dan Arsitektur yang Berbasis Lokal Bali Demi Pembangunan Berkelanjutan’ yang digelar Lembaga Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Provinsi Bali, di Swissbell Hotel Sanur, Senin (26/11).
Ketua Panitia, Dr Ngakan Acwin Dwijendera menjelaskan, arsitektur Bali kini dihadapkan dengan dilema antara arsitektur modern dan tradisi. Menjadi suatu tantangan bagi masyarakat Bali dalam menjaga nilai-nilai lokal baik arsitektur maupun kebudayaan lainnya. “Disinilah tantangan kita dalam menjaga nilai-nilai lokal yang mulai bergeser dalam segala bidang baik seni, budaya termasuk arsitektur,” ujarnya.
Apalagi menurutnya, arsitektur di Bali berkembang pesat. Banyak pengembang bekerja di Bali baik arsitektur lokal maupun asing. Tetapi permasalahan dasarnya, ada yang belum memahami konten atau nilai arsitektur Bali. Misalnya mengenyampingkan tatanan ruang nista, madya, dan utama. Ada arsitektur asing yang memahami konsep nilai kearifan lokal Bali, namun tidak sedikit pula yang gagal memahaminya. “Kita sangat menghindari bangunan asing. Banyak arsitektur luar yang paham lokal Bali. Namun sebaliknya, ada juga arsitek lokal yang kurang paham dengan identitas Bali,” bebernya.
Terkait dilema arsitektur di era perubahan yang semakin cepat, ia menginginkan bagaiman metode antara dua langgam, baik arsitektur modern maupun tradis Bali saling mengisi. Ia meminta jangan hanya tampilan saja Bali, akan tetapi konsep filosofinya juga jangan diabaikan. “Kalau menurut saya, paling tidak konten nilai lokal Bali dan modern minimal 50:50 persen. Atau di atas 60 persen memasukkan bangunan Bali, dan saya melihat banyak yang berhasil,” katanya. “Jangan hanya tampilannya saja yang Bali namun mengabaikan konsep filosofi. Intinya landscap Bali dengan konsep lokal diutamakan, agar menjaga kesinambungan. Kita maknai kembali apa saja kearifan lokal yang mesti dipertahankan,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Listibya Provinsi Bali, Dr I Nyoman Astita MA mengungkapkan, peran Listibya yang bertugas mengawasi dan memberikan masukan kepada pemerintah tentang perkembangan arsitektur di Bali. Saat ini, perkembangan arsitektur Bali mengalami perubahan dan sulit untuk dihindari. Meski memasuki perkembangan modern, arsitektur harus diperkuat dengan nilai-nilai filosofi, berikut pola dan pakem yang sudah ada sehingga saling mendukung. “Perkembangan ini tidak bisa dihindari. Namun, setidaknya perkembangan itu dikontrol. Kami mempunyai tugas mengamati dan mengawasi agar tidak mengalami pergeseran nilai. Bagaimana pergeseran itu kita amati, apa dampak pengaruhnya baik positif maupun negatif perlu kita bicarakan dalam seminar. Hasil seminar ini kemudian akan kami serahkan kepada pemerintah sebagai masukan,” katanya.
Seminar tersebut menghadirkan sejumlah pembicara, diantaranya Prof Dr I Wayan Ardika MA dengan materi berjudul ‘Kearifan Lokal sebagai Representasi Budaya Post Modern’, Drs I Wayan Griya membawakan ‘Obyek Khas dan Genius dalam Pemajuan Kebudayaan, Roadmap Menuju Warisan Budaya Dunia UNCESCO’, Dr Ngakan Ketut Acwin Dwijendra ST MA dengan materi ‘Peranan Arsitek dalam Menjaga Kearifan Lokal di Era Disrupsi Menuju Pembangunan Berkelanjutan’ dan Made Arini Hanindharputri SSn MSn dengan materi ‘Peranan Sosial Media dalam Promosi Desa Wisata Budaya Berkelanjutan’. *ind
Masalah ini menjadi topik menarik dalam Seminar Seni, Budaya, Desain dan Arsitektur (Senasdar) 2018 yang bertema ‘Memaknai Kembali Seni, Budaya, Desain dan Arsitektur yang Berbasis Lokal Bali Demi Pembangunan Berkelanjutan’ yang digelar Lembaga Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Provinsi Bali, di Swissbell Hotel Sanur, Senin (26/11).
Ketua Panitia, Dr Ngakan Acwin Dwijendera menjelaskan, arsitektur Bali kini dihadapkan dengan dilema antara arsitektur modern dan tradisi. Menjadi suatu tantangan bagi masyarakat Bali dalam menjaga nilai-nilai lokal baik arsitektur maupun kebudayaan lainnya. “Disinilah tantangan kita dalam menjaga nilai-nilai lokal yang mulai bergeser dalam segala bidang baik seni, budaya termasuk arsitektur,” ujarnya.
Apalagi menurutnya, arsitektur di Bali berkembang pesat. Banyak pengembang bekerja di Bali baik arsitektur lokal maupun asing. Tetapi permasalahan dasarnya, ada yang belum memahami konten atau nilai arsitektur Bali. Misalnya mengenyampingkan tatanan ruang nista, madya, dan utama. Ada arsitektur asing yang memahami konsep nilai kearifan lokal Bali, namun tidak sedikit pula yang gagal memahaminya. “Kita sangat menghindari bangunan asing. Banyak arsitektur luar yang paham lokal Bali. Namun sebaliknya, ada juga arsitek lokal yang kurang paham dengan identitas Bali,” bebernya.
Terkait dilema arsitektur di era perubahan yang semakin cepat, ia menginginkan bagaiman metode antara dua langgam, baik arsitektur modern maupun tradis Bali saling mengisi. Ia meminta jangan hanya tampilan saja Bali, akan tetapi konsep filosofinya juga jangan diabaikan. “Kalau menurut saya, paling tidak konten nilai lokal Bali dan modern minimal 50:50 persen. Atau di atas 60 persen memasukkan bangunan Bali, dan saya melihat banyak yang berhasil,” katanya. “Jangan hanya tampilannya saja yang Bali namun mengabaikan konsep filosofi. Intinya landscap Bali dengan konsep lokal diutamakan, agar menjaga kesinambungan. Kita maknai kembali apa saja kearifan lokal yang mesti dipertahankan,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Listibya Provinsi Bali, Dr I Nyoman Astita MA mengungkapkan, peran Listibya yang bertugas mengawasi dan memberikan masukan kepada pemerintah tentang perkembangan arsitektur di Bali. Saat ini, perkembangan arsitektur Bali mengalami perubahan dan sulit untuk dihindari. Meski memasuki perkembangan modern, arsitektur harus diperkuat dengan nilai-nilai filosofi, berikut pola dan pakem yang sudah ada sehingga saling mendukung. “Perkembangan ini tidak bisa dihindari. Namun, setidaknya perkembangan itu dikontrol. Kami mempunyai tugas mengamati dan mengawasi agar tidak mengalami pergeseran nilai. Bagaimana pergeseran itu kita amati, apa dampak pengaruhnya baik positif maupun negatif perlu kita bicarakan dalam seminar. Hasil seminar ini kemudian akan kami serahkan kepada pemerintah sebagai masukan,” katanya.
Seminar tersebut menghadirkan sejumlah pembicara, diantaranya Prof Dr I Wayan Ardika MA dengan materi berjudul ‘Kearifan Lokal sebagai Representasi Budaya Post Modern’, Drs I Wayan Griya membawakan ‘Obyek Khas dan Genius dalam Pemajuan Kebudayaan, Roadmap Menuju Warisan Budaya Dunia UNCESCO’, Dr Ngakan Ketut Acwin Dwijendra ST MA dengan materi ‘Peranan Arsitek dalam Menjaga Kearifan Lokal di Era Disrupsi Menuju Pembangunan Berkelanjutan’ dan Made Arini Hanindharputri SSn MSn dengan materi ‘Peranan Sosial Media dalam Promosi Desa Wisata Budaya Berkelanjutan’. *ind
1
Komentar