Pertamax Bakal Turun Harga
Setelah dinaikkan pada Oktober lalu, harga Pertamax cs bakal diturunkan paling lambat Januari depan menyusul penurunan harga minyak dunia.
JAKARTA, NusaBali
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memanggil sejumlah badan usaha untuk menurunkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) non subsidi. Penurunan harga ini dilatarbelakangi penurunan harga minyak mentah dunia. Sebagaimana diketahui, harga minyak mentah di kisaran 60 dollar per barel.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Djoko Siswanto mengatakan, dari pemanggilan itu, badan usaha komitmen menurunkan harga. "Harga minyak dunia turun, saya sudah panggil Pertamina, AKR, Shell, Total, Vivo, Garuda Mas, mereka semua commit untuk menurunkan harga," kata Djoko di sela-sela acara Pertamina Energy Forum 2018, di Raffles Hotel, Jakarta Selatan, Rabu (28/11).
Dikutip detikfinance, Djoko mengatakan, badan usaha itu ada yang berniat menurunkan harga pada minggu depan. Tapi, dia mengatakan, penurunan harga paling lambat Januari tahun depan. "Ada yang minggu depan, paling telat bulan Januari 2019," ujarnya.
Soal besaran harga, Djoko enggan merinci. Dia meminta agar ditanyakan langsung ke badan usaha. "Tanya mereka saja, tapi saya tinggal menunggu surat mereka," ujarnya. Pertamina menyesuaikan harga jual BBM non subsidi terakhir pada 10 Oktober 2018 dan berlaku hingga saat ini. Untuk di harga Jakarta dan Bali per liternya, Pertalite dijual dengan harga Rp 7.800, Pertamax Rp 10.400, Pertamax Turbo Rp 12.250, Pertamax Racing Rp 42.000. Sementara Dexlite Rp 10.500, dan Pertamina Dex Rp 11.850.
Sementara, kompetitornya Shell menjual produk Shell Super dengan harga Rp 10.750-Rp 10.850 di Jabodetabek, Shell Super Rp 12.300-12.450 per liter. Shell Diesel dibandrol dengan harga Rp 12.100-Rp 12.250 dan Shell Reguler Rp 10.550.
Sebelum minyak mentah di kisaran 60 dollar per barel, pada Oktober lalu sempat melejit hingga 85 dollar per bare. Minyak mentah jenis Brent saat ini berada di level 59,20 dollar per barel naik 40 sen atau 0,7%. Sementara, West Texas Intermediate (WTI) naik 16 sen atau 0,3% menjadi 50,58 dollar per barel.
Analis Keuangan Independen dari Australia, Greg McKenna mengatakan, ada tekanan pada harga minyak mentah. Tekanan muncul karena adanya lonjakan pasokan serta melambatnya permintaan minyak mentah.
Selain itu, kinerja pasar keuangan juga memberikan pengaruh pada harga minyak. "Tahun 2018 menandai akhir dari membaiknya pasar keuangan Asia dalam 10 tahun karena pengetatan kondisi keuangan di Asia (terutama China)," kata Morgan Stanley dalam sebuah catatan yang dikutip dari CNBC, Senin (26/11).
Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap sebagian besar mata uang dunia juga memberikan tekanan pada harga minyak. Penguatan yang dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga acuan ini membuat investor keluar dari mata uang lain dan juga aset seperti minyak. Sebab, investor memandang adanya risiko yang lebih besar dari Greenback. "Apa pun yang berdenominasi terhadap dolar AS berada di bawah tekanan sekarang," kata McKenna.
Sementara, JP Morgan menyatakan, perang dagang antara AS dan China memberikan pengaruh tersendiri. Sebab, perang dagang memberikan pengaruh pada ekonomi secara global. "Perang dagang AS-China menimbulkan risiko penurunan karena kami memperkirakan AS akan memberlakukan tarif 25% pada semua impor China pada kuartal I-2019," kata JP Morgan.*
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memanggil sejumlah badan usaha untuk menurunkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) non subsidi. Penurunan harga ini dilatarbelakangi penurunan harga minyak mentah dunia. Sebagaimana diketahui, harga minyak mentah di kisaran 60 dollar per barel.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Djoko Siswanto mengatakan, dari pemanggilan itu, badan usaha komitmen menurunkan harga. "Harga minyak dunia turun, saya sudah panggil Pertamina, AKR, Shell, Total, Vivo, Garuda Mas, mereka semua commit untuk menurunkan harga," kata Djoko di sela-sela acara Pertamina Energy Forum 2018, di Raffles Hotel, Jakarta Selatan, Rabu (28/11).
Dikutip detikfinance, Djoko mengatakan, badan usaha itu ada yang berniat menurunkan harga pada minggu depan. Tapi, dia mengatakan, penurunan harga paling lambat Januari tahun depan. "Ada yang minggu depan, paling telat bulan Januari 2019," ujarnya.
Soal besaran harga, Djoko enggan merinci. Dia meminta agar ditanyakan langsung ke badan usaha. "Tanya mereka saja, tapi saya tinggal menunggu surat mereka," ujarnya. Pertamina menyesuaikan harga jual BBM non subsidi terakhir pada 10 Oktober 2018 dan berlaku hingga saat ini. Untuk di harga Jakarta dan Bali per liternya, Pertalite dijual dengan harga Rp 7.800, Pertamax Rp 10.400, Pertamax Turbo Rp 12.250, Pertamax Racing Rp 42.000. Sementara Dexlite Rp 10.500, dan Pertamina Dex Rp 11.850.
Sementara, kompetitornya Shell menjual produk Shell Super dengan harga Rp 10.750-Rp 10.850 di Jabodetabek, Shell Super Rp 12.300-12.450 per liter. Shell Diesel dibandrol dengan harga Rp 12.100-Rp 12.250 dan Shell Reguler Rp 10.550.
Sebelum minyak mentah di kisaran 60 dollar per barel, pada Oktober lalu sempat melejit hingga 85 dollar per bare. Minyak mentah jenis Brent saat ini berada di level 59,20 dollar per barel naik 40 sen atau 0,7%. Sementara, West Texas Intermediate (WTI) naik 16 sen atau 0,3% menjadi 50,58 dollar per barel.
Analis Keuangan Independen dari Australia, Greg McKenna mengatakan, ada tekanan pada harga minyak mentah. Tekanan muncul karena adanya lonjakan pasokan serta melambatnya permintaan minyak mentah.
Selain itu, kinerja pasar keuangan juga memberikan pengaruh pada harga minyak. "Tahun 2018 menandai akhir dari membaiknya pasar keuangan Asia dalam 10 tahun karena pengetatan kondisi keuangan di Asia (terutama China)," kata Morgan Stanley dalam sebuah catatan yang dikutip dari CNBC, Senin (26/11).
Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap sebagian besar mata uang dunia juga memberikan tekanan pada harga minyak. Penguatan yang dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga acuan ini membuat investor keluar dari mata uang lain dan juga aset seperti minyak. Sebab, investor memandang adanya risiko yang lebih besar dari Greenback. "Apa pun yang berdenominasi terhadap dolar AS berada di bawah tekanan sekarang," kata McKenna.
Sementara, JP Morgan menyatakan, perang dagang antara AS dan China memberikan pengaruh tersendiri. Sebab, perang dagang memberikan pengaruh pada ekonomi secara global. "Perang dagang AS-China menimbulkan risiko penurunan karena kami memperkirakan AS akan memberlakukan tarif 25% pada semua impor China pada kuartal I-2019," kata JP Morgan.*
Komentar