Jelang Usia Emas, Perdiknas Siapkan Diri Hadapi Revolusi Industri 4.0
Tahun 2019 merupakan tahun penting bagi Yayasan Perkumpulan Pendidikan Nasional (Perdiknas) Denpasar, karena memasuki usia emas ke-50 tahun.
DENPASAR, NusaBali
Sejalan dengan hal tersebut, Perdiknas terus men-charge diri menuju Perdiknas yang siap menghadapi era revolusi industri 4.0. Karena itu, Perdiknas kali ini mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Yayasan Tarumanegara Jakarta dan Yayasan Bina Nusantara yang digelar di Aula Perdiknas Denpasar, Jumat (30/11).
“Dalam usia kami ke-50, Perdiknas mencoba men-charge diri lagi untuk menguatkan komitmen para pendiri utama dalam membangun Perdiknas ini ke depan. Tujuan MoU ini untuk bisa meningkatkan lagi kualitas kami, bersinergi dengan yayasan-yayasan besar ini,” ujar Ketua Perdiknas, Dr AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda SH MM MH.
Dalam sambutannya, Tini Gorda menyebut, Perdiknas dalam menyiapkan diri menghadapi tantangan era revolusi industri 4.0, perlu berbagi pengalaman, pengetahuan dan hasil pemikiran. Karena itu, MoU yang dilakukan bersama kedua yayasan tersebut diharapkan turut memberi andil dalam pengembangan yayasan untuk menjawab tantangan revolusi industri 4.0.
Menurutnya, era revolusi industri 4.0 yang menitikberatkan pergeseran ke arah digital, akan mendisrupsi berbagai aktivitas manusia, termasuk teknologi dan dunia pendidikan. Maka, kuantitas bukan lagi menjadi indokator utama bagi sebuah lembaga pendidikan, melainkan kualitas lulusannya. Dalam menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif, diperlukan penyesuaian sarana prasarana pembelajaran dalam hal teknologi informasi, internet, analisis big data dan komputerisasi.
“Lembaga pendidikan yang menyediakan infrastrutur pembelajaran harus mampu melahirkan lulusan yang terampil dalam bidang literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Tantangan berikutnya, yakni rekonstruksi kurikulum pendidikan yang responsive terhadap revolusi industri kerja,” katanya.
Selain MoU, pada Jumat kemarin juga sekaligus diselenggarakan diskusi terbatas tentang ‘Tantangan Pengelolaan Lembaga Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0’. Adapun Prof Dr Thomas Suyatno, Ketua Umum ABPPTSI Pusat yang didaulat menjadi keynote speaker kemarin menjelaskan, ada beberapa perbaikan atau pembaharuan yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk menghadapi tantangan zaman. Sejumlah pembaharuan tersebut meliputi SDM seperti jumlah doktor dan dosen, manajemen lembaga pendidikan meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. “Selama ini kelemahan kita justru pada aspek perencanaan,” bebernya.
Selanjutnya, pembaharuan yang juga harus dilakukan adalah kualitas perguruan tinggi yakni kualitas penelitian yang bereputasi. Terakhir, yang perlu diperhatikan juga adalah aktivitas kemahasiswaaan. “Indikatornya tidak hanya olahraga dan seni. Namun juga mengikuti debat-debat nasional dan internasional. Kalau tidak yang menyelenggarakan debat, ya mahasiswa yang mengikuti debat,” katanya.
Sementara itu, diskusi terbatas yang dipandu oleh Sekretaris Yayasan Perdiknas Denpasar, Dr AAA Ngurah Sri Rahayu Gorda SH MM MH, menghadirkan tiga narasumber yakni Managing Director Bina Nusantara Michael Wijaya, Ketua Yayasan Tarumanegara Jakarta Dr Gunardi SH MH, dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof I Ketut Aria Pria Utama PhD FRINA. Diskusi berlangsung interaktif mengenai tantangan revolusi industri 4.0 ke depan.
Menurut Ketua Yayasan Tarumanegara Jakarta, Dr Gunardi SH MH, berbicara masalah revolusi industri 4.0 sesungguhnya berbicara soal ruang dan waktu yang telah dibahas ribuan tahun lalu. Manusia tidak bisa lepas dari ruang dan waktu. Namun yang berbeda adalah dari waktu ke waktu pemahaman mengenai ruang dan waktu ternyata berubah seiring dengan perkembangan teknologi. “Pemahaman tentang ruang dan waktu berubah seiring perkembangan teknologi. Mulai dari revolusi industri pertama ditandai dengan adanya mesin uap, kemudian pabrik-pabrik, lalu era komputer, dan kini digital. Kecenderungan yayasan yang akan datang harus membentuk yang namanya grup perusahaan. Karena yayasan itu, untuk bisa mengembangkan diri perlu adanya semacam badan-badan usaha yang membantu untuk mencari sumber dana,” katanya.
Hal lainnya, menurut Managing Director Bina Nusantara, Michael Wijaya, dalam menyongsong era revolusi industri 4.0, inovasi harus terjadi dimana-mana. Tidak lagi hanya di level atas, justru harus sampai di level staf sekalipun. “Pola pikir yang tadinya sangat eksklusif, kita tidak bisa lagi eksklusif, kita harus mulai inklusif. Karena nantinya, manual akan berkurang, dan perlahan semua akan menggunakan by sistem,” ungkapnya.
Sementara Anggota AIPI Prof I Ketut Aria Pria Utama PhD FRINA, menambahkan, sinergi lebih penting untuk dibangun, meski sebenarnya masing-masing universitas saling berkompetisi. Selain itu, menurutnya penting penguasaan teknologi. Sebab, bila teknologi maju namun penggunanya tidak mampu menggunakan dan mengendalikan, bukannya kesejahteraan yang didapat, melainkan malapetaka. “Kita mungkin berkompetisi, tapi bisa jadi kita juga berkolaborasi untuk kemajuan menghadapi era revolusi industri 4.0,” ujarnya. *ind
Sejalan dengan hal tersebut, Perdiknas terus men-charge diri menuju Perdiknas yang siap menghadapi era revolusi industri 4.0. Karena itu, Perdiknas kali ini mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Yayasan Tarumanegara Jakarta dan Yayasan Bina Nusantara yang digelar di Aula Perdiknas Denpasar, Jumat (30/11).
“Dalam usia kami ke-50, Perdiknas mencoba men-charge diri lagi untuk menguatkan komitmen para pendiri utama dalam membangun Perdiknas ini ke depan. Tujuan MoU ini untuk bisa meningkatkan lagi kualitas kami, bersinergi dengan yayasan-yayasan besar ini,” ujar Ketua Perdiknas, Dr AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda SH MM MH.
Dalam sambutannya, Tini Gorda menyebut, Perdiknas dalam menyiapkan diri menghadapi tantangan era revolusi industri 4.0, perlu berbagi pengalaman, pengetahuan dan hasil pemikiran. Karena itu, MoU yang dilakukan bersama kedua yayasan tersebut diharapkan turut memberi andil dalam pengembangan yayasan untuk menjawab tantangan revolusi industri 4.0.
Menurutnya, era revolusi industri 4.0 yang menitikberatkan pergeseran ke arah digital, akan mendisrupsi berbagai aktivitas manusia, termasuk teknologi dan dunia pendidikan. Maka, kuantitas bukan lagi menjadi indokator utama bagi sebuah lembaga pendidikan, melainkan kualitas lulusannya. Dalam menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif, diperlukan penyesuaian sarana prasarana pembelajaran dalam hal teknologi informasi, internet, analisis big data dan komputerisasi.
“Lembaga pendidikan yang menyediakan infrastrutur pembelajaran harus mampu melahirkan lulusan yang terampil dalam bidang literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Tantangan berikutnya, yakni rekonstruksi kurikulum pendidikan yang responsive terhadap revolusi industri kerja,” katanya.
Selain MoU, pada Jumat kemarin juga sekaligus diselenggarakan diskusi terbatas tentang ‘Tantangan Pengelolaan Lembaga Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0’. Adapun Prof Dr Thomas Suyatno, Ketua Umum ABPPTSI Pusat yang didaulat menjadi keynote speaker kemarin menjelaskan, ada beberapa perbaikan atau pembaharuan yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk menghadapi tantangan zaman. Sejumlah pembaharuan tersebut meliputi SDM seperti jumlah doktor dan dosen, manajemen lembaga pendidikan meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. “Selama ini kelemahan kita justru pada aspek perencanaan,” bebernya.
Selanjutnya, pembaharuan yang juga harus dilakukan adalah kualitas perguruan tinggi yakni kualitas penelitian yang bereputasi. Terakhir, yang perlu diperhatikan juga adalah aktivitas kemahasiswaaan. “Indikatornya tidak hanya olahraga dan seni. Namun juga mengikuti debat-debat nasional dan internasional. Kalau tidak yang menyelenggarakan debat, ya mahasiswa yang mengikuti debat,” katanya.
Sementara itu, diskusi terbatas yang dipandu oleh Sekretaris Yayasan Perdiknas Denpasar, Dr AAA Ngurah Sri Rahayu Gorda SH MM MH, menghadirkan tiga narasumber yakni Managing Director Bina Nusantara Michael Wijaya, Ketua Yayasan Tarumanegara Jakarta Dr Gunardi SH MH, dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof I Ketut Aria Pria Utama PhD FRINA. Diskusi berlangsung interaktif mengenai tantangan revolusi industri 4.0 ke depan.
Menurut Ketua Yayasan Tarumanegara Jakarta, Dr Gunardi SH MH, berbicara masalah revolusi industri 4.0 sesungguhnya berbicara soal ruang dan waktu yang telah dibahas ribuan tahun lalu. Manusia tidak bisa lepas dari ruang dan waktu. Namun yang berbeda adalah dari waktu ke waktu pemahaman mengenai ruang dan waktu ternyata berubah seiring dengan perkembangan teknologi. “Pemahaman tentang ruang dan waktu berubah seiring perkembangan teknologi. Mulai dari revolusi industri pertama ditandai dengan adanya mesin uap, kemudian pabrik-pabrik, lalu era komputer, dan kini digital. Kecenderungan yayasan yang akan datang harus membentuk yang namanya grup perusahaan. Karena yayasan itu, untuk bisa mengembangkan diri perlu adanya semacam badan-badan usaha yang membantu untuk mencari sumber dana,” katanya.
Hal lainnya, menurut Managing Director Bina Nusantara, Michael Wijaya, dalam menyongsong era revolusi industri 4.0, inovasi harus terjadi dimana-mana. Tidak lagi hanya di level atas, justru harus sampai di level staf sekalipun. “Pola pikir yang tadinya sangat eksklusif, kita tidak bisa lagi eksklusif, kita harus mulai inklusif. Karena nantinya, manual akan berkurang, dan perlahan semua akan menggunakan by sistem,” ungkapnya.
Sementara Anggota AIPI Prof I Ketut Aria Pria Utama PhD FRINA, menambahkan, sinergi lebih penting untuk dibangun, meski sebenarnya masing-masing universitas saling berkompetisi. Selain itu, menurutnya penting penguasaan teknologi. Sebab, bila teknologi maju namun penggunanya tidak mampu menggunakan dan mengendalikan, bukannya kesejahteraan yang didapat, melainkan malapetaka. “Kita mungkin berkompetisi, tapi bisa jadi kita juga berkolaborasi untuk kemajuan menghadapi era revolusi industri 4.0,” ujarnya. *ind
1
Komentar