Songket Jinengdalem, Kaya Inovasi dan Mutu
Produk kain tenun songket khas Buleleng dari Desa Jinengdalem, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, hingga kini masih bertahan.
SINGARAJA, NusaBali
Sentra pengerajin tenun songket Poni’s di Jinengdalem terus mengembangkan inovasi di bagian motif dan peningkatan kualitas. Owner sentra tenun songket, Ketut Seriponi,44, ditemui di galerinya di Banjar Dinas Sanih, Desa Pengelatan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, mengaku menekuni bisnis di pertenunan songket Jinengdalem sejak tahun 2012 lalu. Awalnya ia yang juga seornag pengerajin tenun songket sedikit demi sedikit merangkul ibu-ibu rumah tangga untuk belajar menenun songket, memenuhi permintaan pasar. Hingga saat ini masih ada seratusan pengerajin songket di Desa Jinengdalem dan 25 ornag pengerajin itu bekerja dengannya. “Kerajinan tenun songket ini memang sudah dari turun temurun disini, tak hanya yang asli disini saja yang bisa, tetapi ibu-ibu yang menikah kesini juga banyak yang sudah belajar dan bisa,” katanya.
Meski tergolong kerajinan yang tradisional, nyatanya tenun songket Jinengdalem masih banyak diminati pembeli. Tak hanya oleh warga lokal Bali, tetapi juga banyak diorder oleh ornag luar Bali termasuk sejumlah desainer dan salon ternama. Poni mengakui telah banyak melakukan perubahan dan inovasi dalam kerajinan tenun endek.
Dengan peningkatan kualitas dan inovasi motif tenun, produk kain tenunnya laku paling mahal dibandingkan dnegan produk tenun songket yang ada di Buleleng. Satu kain songket di centra pertenunna Poni’s laku dengan kisaran harga Rp 3 juta – 6 juta. Tingkatan harga kain songket dengan panjang 2 meter dan lebar 1,1 meter itu disebutnya menurut motif dan bahan yang digunakan.
Bahkan Poni saat ini juga mengaplikasikan pewarna alami dalam proses pewarnaan kain songketnya. Seperti menggunakan daun jati, kulit pohon mangga, kunyit untuk mendapatkan warna alami di kain songket produksinya. Teknik pewarnaan ini diyakininya baru dilakukan olehnya di pertenunan songket yang ada ada di Buleleng. Poni yang sudah mendalami usaha ini pun mendapatkan kesempatan untuk berpromosi melalui pameran-pameran pemerintah. Sehingga produknya kini banyak diketahui oleh dan diminati istri pejabat dan juga desainer asal Jakarta.
Dengan inovasi dan kualitas yang ada pada produk songket milik Poni, membuatnya bertahan hingga saat ini. Ia setiap bulannya rutin mendapatkan pembeli 20-25 lembar kain songket. Baik dari lokal dan juga luar Bali. Namun sejauh ini Poni mengaku masih menghadapi kendala soal bahan baku benang sutra yang menjadi bahan utama pembuatan songket endeknya. Harga benang sutra yang terus meningkat membuatnya sedikit kalang kabut untuk mencari jalan keluar. “Kalau menaikkan harga produk sudha tidka mungkin, tetapi harga bahannya terus naik, ini yang menjadi kendala sedikit,” ungkap dia. *k23
Sentra pengerajin tenun songket Poni’s di Jinengdalem terus mengembangkan inovasi di bagian motif dan peningkatan kualitas. Owner sentra tenun songket, Ketut Seriponi,44, ditemui di galerinya di Banjar Dinas Sanih, Desa Pengelatan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, mengaku menekuni bisnis di pertenunan songket Jinengdalem sejak tahun 2012 lalu. Awalnya ia yang juga seornag pengerajin tenun songket sedikit demi sedikit merangkul ibu-ibu rumah tangga untuk belajar menenun songket, memenuhi permintaan pasar. Hingga saat ini masih ada seratusan pengerajin songket di Desa Jinengdalem dan 25 ornag pengerajin itu bekerja dengannya. “Kerajinan tenun songket ini memang sudah dari turun temurun disini, tak hanya yang asli disini saja yang bisa, tetapi ibu-ibu yang menikah kesini juga banyak yang sudah belajar dan bisa,” katanya.
Meski tergolong kerajinan yang tradisional, nyatanya tenun songket Jinengdalem masih banyak diminati pembeli. Tak hanya oleh warga lokal Bali, tetapi juga banyak diorder oleh ornag luar Bali termasuk sejumlah desainer dan salon ternama. Poni mengakui telah banyak melakukan perubahan dan inovasi dalam kerajinan tenun endek.
Dengan peningkatan kualitas dan inovasi motif tenun, produk kain tenunnya laku paling mahal dibandingkan dnegan produk tenun songket yang ada di Buleleng. Satu kain songket di centra pertenunna Poni’s laku dengan kisaran harga Rp 3 juta – 6 juta. Tingkatan harga kain songket dengan panjang 2 meter dan lebar 1,1 meter itu disebutnya menurut motif dan bahan yang digunakan.
Bahkan Poni saat ini juga mengaplikasikan pewarna alami dalam proses pewarnaan kain songketnya. Seperti menggunakan daun jati, kulit pohon mangga, kunyit untuk mendapatkan warna alami di kain songket produksinya. Teknik pewarnaan ini diyakininya baru dilakukan olehnya di pertenunan songket yang ada ada di Buleleng. Poni yang sudah mendalami usaha ini pun mendapatkan kesempatan untuk berpromosi melalui pameran-pameran pemerintah. Sehingga produknya kini banyak diketahui oleh dan diminati istri pejabat dan juga desainer asal Jakarta.
Dengan inovasi dan kualitas yang ada pada produk songket milik Poni, membuatnya bertahan hingga saat ini. Ia setiap bulannya rutin mendapatkan pembeli 20-25 lembar kain songket. Baik dari lokal dan juga luar Bali. Namun sejauh ini Poni mengaku masih menghadapi kendala soal bahan baku benang sutra yang menjadi bahan utama pembuatan songket endeknya. Harga benang sutra yang terus meningkat membuatnya sedikit kalang kabut untuk mencari jalan keluar. “Kalau menaikkan harga produk sudha tidka mungkin, tetapi harga bahannya terus naik, ini yang menjadi kendala sedikit,” ungkap dia. *k23
1
Komentar