Subak Enggan Hadir, Mediasi Betonisasi Gagal
Mediasi konflik akses jalan subak yang berujung sanksi penghentian jatah air di Subak Runuh Kubu, Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, tidak bisa dilanjutkan lagi. Pasalnya pihak subak menolak hadir.
Jalan Setapak Dianggap sebagai Eks Padat Karya
SINGARAJA, NusaBali
Pihak Subak berdalih, jika hadir pun hasilnya akan tetap seperti mediasi sebelumnya. Camat Sukasada, Made Dwi Adnyana yang dikonfirmasi Senin (3/12) menyatakan, pihak kecamatan sudah memediasi persoalan akses jalan di Subak Runuh Kubu tersebut beberapa kali. Hanya saja, dalam mediasi yang menghadirkan prajuru Subak dan Nengah Darsana selaku warga yang mengklaim pemilik lahan, tidak pernah ada titik temu.
Pihak Subak tetap ngotot menggunakan akses jalan subak yang sudah ada untuk dibetonisasi, sedangkan Nengah Darsana tetap keberatan karena akses lahan subak tersebut menjadi bagian dari luas lahan yang sudah bersertifikat hak milik. “Kalau tidak salah 3 sampai 4 kali kami mediasi. Maunya kami mediasi lagi, tetapi dari pihak Subak, tidak mau hadir lagi. Nanti kami coba lagi memediasi kedua belah pihak,” terang Camat Dwi.
Sementara Kelian Subak Runuh Kubu, Gede Ardana mengakui menolak hadir dalam mediasi selanjutnya karena tidak akan ada titik temu. Ardana menegaskan, pihaknya tetap bersikukuh menggunakan akses jalan yang lama untuk dibetonisasi, karena jalan tersebut merupakan jalan padat karya yang dibuat sekitar tahun 1980-an, dengan lebar jalan hanya 1 meter. “Kalau sudah padat karya berarti lahan itu sudah ada pelepasan hak. Semua krama subak tahu itu, sekarang untuk apa dipindahkan. Sedangkan pemilik lahan lainnya, semua rela akses jalan subak itu dibetonisasi,” katanya.
Menurutnya, jika jalur jalan subak itu dipindahkan seperti solusi yang pernah ditawarkan dalam mediasi, biaya betonisasi akan lebih besar, karena jalur jalan subak yang baru itu memiliki medan yang cukup sulit. “Kami tolak pemindahan itu karena jalur itu memiliki medan yang sulit. Kenapa harus dipindahkan, sedangkan jalur jalan sudah ada sejak lama,” tandas Ardana.
Kelian Subak Ardana juga mengatakan, sanksi penghentian jatah air kepada Nengah Darsana, berlaku selama yang bersangkutan tetap keberatan dengan pembetonan akses jalan subak tersebut. “Ini sudah keputusan krama subak dalam paruman. Kami selaku prajuru hanya melaksanakan keputusan tersebut,” tegasnya.
Sebelumnya, Nengah Darsana, 47, warga Desa Padangbulia, hampir setahun tidak bisa bercocok tanam akibat jatah air ditutup oleh subak. Konon, Darsana dianggap menentang rencana pembetonan jalan subak, hingga dikenai sanksi penghentian jatah air persawahan.
Konflik itu bermula ketika ada rencana pembetonan jalan Subak Runuh Kubu dengan biaya dari Dana Desa, pada tahun 2017 lalu. Jalan Subak Runuh Kubu, diperkirakan memiliki lebar 1,5 meter dengan panjang belasan kilometer. Dari belasan kilometer itu, beberapa kilometernya, akan dibeton dengan biaya dari Dana Desa sebesar Rp 150 juta. Jalan subak yang akan dibeton itu, sekitar 25 meter adalah milik dari Nengah Darsana.
Semula Darsana keberatan, jika jalan subak sepanjang 25 meter di atas lahannya dibeton. Alasannya jalan subak tersebut menjadi bagian dari luas lahan yang sudah bersertifikat hak milik. Darsana pun mengajukan syarat, agar pihak subak bisa mengurus pemecahan sertifikat. Namun pihak subak tetap bersikukuh membeton jalan tersebut. “Sebenarnya tiyang rela kalau tanah itu tetap dipakai jalan subak dan dibeton. Asal ada pemecahan sertifikat dulu. Karena jalan subak itu ada di tengah-tengah tanah tiang yang sudah bersertifikat. Tiyang khawatir dikemudian hari akan masalah. Karena jalan subak itu masih menjadi hak milik tiang berdasar sertifikat yang ada,” ungkap Darsana sebelumnya.
Menurut Darsana, ketika syarat pemecahan tidak bisa diwujudkan oleh Subak, dirinya sempat memberikan alaternatif dengan memindahkan jalan subak ke pinggir agar tidak berada di tengah-tengah lahan hak miliknya. Lagi-lagi pihak subak tidak mau dengan alternatif tersebut karena dianggap jalan subak di tengah-tengah lahan milik Darsana sudah ada dan diamanfaatkan oleh krama subak sejak lama sebagai akses jalan, “Kalau dipindah ke pinggir, itu lahan tiyang juga dipakai, tetapi kan tidak harus memecah sertifikat. Tiyang rela kok karena ini demi kepentingan banyak orang juga. Tetapi tetap saja pihak subak tidak mau,” keluhnya. *k19
SINGARAJA, NusaBali
Pihak Subak berdalih, jika hadir pun hasilnya akan tetap seperti mediasi sebelumnya. Camat Sukasada, Made Dwi Adnyana yang dikonfirmasi Senin (3/12) menyatakan, pihak kecamatan sudah memediasi persoalan akses jalan di Subak Runuh Kubu tersebut beberapa kali. Hanya saja, dalam mediasi yang menghadirkan prajuru Subak dan Nengah Darsana selaku warga yang mengklaim pemilik lahan, tidak pernah ada titik temu.
Pihak Subak tetap ngotot menggunakan akses jalan subak yang sudah ada untuk dibetonisasi, sedangkan Nengah Darsana tetap keberatan karena akses lahan subak tersebut menjadi bagian dari luas lahan yang sudah bersertifikat hak milik. “Kalau tidak salah 3 sampai 4 kali kami mediasi. Maunya kami mediasi lagi, tetapi dari pihak Subak, tidak mau hadir lagi. Nanti kami coba lagi memediasi kedua belah pihak,” terang Camat Dwi.
Sementara Kelian Subak Runuh Kubu, Gede Ardana mengakui menolak hadir dalam mediasi selanjutnya karena tidak akan ada titik temu. Ardana menegaskan, pihaknya tetap bersikukuh menggunakan akses jalan yang lama untuk dibetonisasi, karena jalan tersebut merupakan jalan padat karya yang dibuat sekitar tahun 1980-an, dengan lebar jalan hanya 1 meter. “Kalau sudah padat karya berarti lahan itu sudah ada pelepasan hak. Semua krama subak tahu itu, sekarang untuk apa dipindahkan. Sedangkan pemilik lahan lainnya, semua rela akses jalan subak itu dibetonisasi,” katanya.
Menurutnya, jika jalur jalan subak itu dipindahkan seperti solusi yang pernah ditawarkan dalam mediasi, biaya betonisasi akan lebih besar, karena jalur jalan subak yang baru itu memiliki medan yang cukup sulit. “Kami tolak pemindahan itu karena jalur itu memiliki medan yang sulit. Kenapa harus dipindahkan, sedangkan jalur jalan sudah ada sejak lama,” tandas Ardana.
Kelian Subak Ardana juga mengatakan, sanksi penghentian jatah air kepada Nengah Darsana, berlaku selama yang bersangkutan tetap keberatan dengan pembetonan akses jalan subak tersebut. “Ini sudah keputusan krama subak dalam paruman. Kami selaku prajuru hanya melaksanakan keputusan tersebut,” tegasnya.
Sebelumnya, Nengah Darsana, 47, warga Desa Padangbulia, hampir setahun tidak bisa bercocok tanam akibat jatah air ditutup oleh subak. Konon, Darsana dianggap menentang rencana pembetonan jalan subak, hingga dikenai sanksi penghentian jatah air persawahan.
Konflik itu bermula ketika ada rencana pembetonan jalan Subak Runuh Kubu dengan biaya dari Dana Desa, pada tahun 2017 lalu. Jalan Subak Runuh Kubu, diperkirakan memiliki lebar 1,5 meter dengan panjang belasan kilometer. Dari belasan kilometer itu, beberapa kilometernya, akan dibeton dengan biaya dari Dana Desa sebesar Rp 150 juta. Jalan subak yang akan dibeton itu, sekitar 25 meter adalah milik dari Nengah Darsana.
Semula Darsana keberatan, jika jalan subak sepanjang 25 meter di atas lahannya dibeton. Alasannya jalan subak tersebut menjadi bagian dari luas lahan yang sudah bersertifikat hak milik. Darsana pun mengajukan syarat, agar pihak subak bisa mengurus pemecahan sertifikat. Namun pihak subak tetap bersikukuh membeton jalan tersebut. “Sebenarnya tiyang rela kalau tanah itu tetap dipakai jalan subak dan dibeton. Asal ada pemecahan sertifikat dulu. Karena jalan subak itu ada di tengah-tengah tanah tiang yang sudah bersertifikat. Tiyang khawatir dikemudian hari akan masalah. Karena jalan subak itu masih menjadi hak milik tiang berdasar sertifikat yang ada,” ungkap Darsana sebelumnya.
Menurut Darsana, ketika syarat pemecahan tidak bisa diwujudkan oleh Subak, dirinya sempat memberikan alaternatif dengan memindahkan jalan subak ke pinggir agar tidak berada di tengah-tengah lahan hak miliknya. Lagi-lagi pihak subak tidak mau dengan alternatif tersebut karena dianggap jalan subak di tengah-tengah lahan milik Darsana sudah ada dan diamanfaatkan oleh krama subak sejak lama sebagai akses jalan, “Kalau dipindah ke pinggir, itu lahan tiyang juga dipakai, tetapi kan tidak harus memecah sertifikat. Tiyang rela kok karena ini demi kepentingan banyak orang juga. Tetapi tetap saja pihak subak tidak mau,” keluhnya. *k19
1
Komentar