Waktu Kultural 'Kala'
Topik kali ini bukan tentang bhuta kala melainkan tentang kala atau waktu. Sesungguhnya, gagasan tentang waktu sudah tertanam sejak usia dini.
Namun ketepatan waktu selalu terkait dengan konsep dasar. Misalnya, melaksanakan yadnya selalu dikaitkan dengan hari baik. Bepergian sering memperhitungkan waktu berdasarkan atas tujuan dan arah yang tepat. Demikian pula dengan pernikahan selalu memilih hari terbaik untuk meminang, menikah, dan melaksanakan upacara. Masih banyak kegiatan sosial, budaya, dan religius amat memperhatikan konsep waktu. Bagi krama Hindu Bali waktu memiliki hakikat filosofis amat penting. Penyimpangan terhadap waktu baik akan mengundang bencana, sebaliknya menepati waktu baik akan mendatangkan pahala.
Ironisnya, sejak usia dini anak terbiasa tidak menghargai waktu. Mereka terbenam dalam kesuntukan menggunakan gadget atau hape (lidah Bali: handphone). Mereka lebih asyik bermain dan mengunduh permainan atau lainnya ketimbang mandi atau makan, apalagi membiasakan diri dengan berdoa atau belajar dengan alat permainan edukatif. Remaja, orang dewasa termasuk orangtua juga tidak pernah terlepas dari lilitan handphone. Kapan pun dan di mana pun komunikasi elektronik berlangsung. Mereka berlomba menghabiskan waktu dan pulsa untuk berkomunikasi. Apa pun tujuan dan jaraknya, handphone panganannya. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan dengan handphone tersebut, kecuali habis pulsa atau harus ‘dicas’ (charge) mesinnya. Bila dihitung-hitung, biaya yang dihabiskan untuk berkomunikasi antar-personal amat besar jumlahnya. Sedangkan, biaya yang dihabiskan anak-anak mungkin tidak sebanyak anak remaja, orang dewasa, atau orangtua. Tetapi, anak kehilangan karakter yang baik sejak usia dini. Seharusnya, anak-anak dibelajarkan me
lalui pembiasaan dan bermain kreatif dan edukatif sejak usia dini.
Ketepatan waktu bersifat relatif dalam pelaksanaan upacara agama di Bali. Kalau acara ‘nyiramang’ atau memandikan jenazah ditentukan pukul 09.00, tetapi baru terlaksana dua jam kemudian dianggap biasa. Tidak ada yang marah bahkan hal tersebut dimaklumi. Tetapi, kalau menunggu untuk menabung atau menarik dana selama dua jam di sebuah bank, pasti kemarahan atau sejenisnya menyeruak. Berbeda dengan berkunjung ke rumah kerabat atau saudara. Mereka berkunjung tanpa memberitahu sebelumnya dan datang di saat kerabatnya sedang tidur. Mereka yang berkunjung berucap lirih ‘sedang tidur’? Kerabatnya tidak ingin mengecewakan tamunya dan berusaha sopan ‘santai sejenak, belum tidur imbuhnya’. Di negeri Barat, pertemuan tanpa janji merupakan keanehan dan pasti memeroleh penolakan. ‘Lain lubuk lain belalang, lain koki lain pula masakannya’. Inilah esensi hipotesis relativitas budayanya Whorf dan Sapir yang tersohor. Konsep waktu budaya Timur bersifat informal, sedangkan pada budaya Barat bersifat formal.
Kesadaran terhadap waktu krama Bali bersifat informal, berjalan pelan dan situasional. Waktu tidak harus dipastikan dan ditepati persis. Waktu bersifat lentur disesuaikan dengan kondisi, situasi, dan toleransi. Suasana ditafsirkan berdasarkan atas skala kesopanan dan kenyamanan. Kadang-kadang, waktu diisi dengan membicarakan berbagai hal, tidak terfokus pada satu masalah atau topik. Metaforanya, jam dinding boleh sama, tetapi ia memberikan makna waktu berbeda bagi krama satu dengan lainnya.
Kekeliruan budaya dapat berlipat dikarenakan salah memperhitungkan waktu. Misalnya, kehadiran yang amat telat bagi orang penting dianggap lumrah di Bali. Sebaliknya, jam karet dianggap pemalas atau tidak dapat diandalkan pada budaya Barat. Hadir terlalu dini, jauh sebelum waktunya dalam pesta dianggap ‘amat kepingin dan tidak sabaran’. Menyela pembicaraan dipandang amat kasar dan dapat menyebabkan ketersinggungan pada budaya Barat. Tetapi, berbicara saat krama sedang berbicara dianggap lumrah. Menyetel radio di saat orang berbicara merupakan sebuah kekeliruan budaya.
Berdiskusi merupakan waktu atau sarana untuk sebuah kesepakatan. Tetapi, diskusi sering ditafsirkan sebagai penolakan atau bahkan pembangkangan. Di Bali, diskusi sering dimaknai sebagai bumbu pelengkap, bukan bumbu ‘genep’ atau selengkapnya. Oleh elite, diskusi yang panjang dan memakan waktu lama dimanfaatkan untuk membuat krama lainnya menyetujui pikiran dan gagasannya. Sifat budaya elite demikian memanfaatkan waktu untuk memuluskan gagasannya. Semoga konsep dasar kala tidak ditafsir semena-semana untuk memuluskan suatu gagasan atau pemikiran yang kurang baik dan kurang berguna. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
1
Komentar