Tukad Tiyis Dihuni Gamang hingga Kuntilanak
Dibalik Rumah Ambrol di Batubulah Tewaskan 4 Orang
GIANYAR, NusaBali
Lokasi ambrolnya rumah I Made Oktara Dwipaguna,30, ke sungai Tiyis di Gang Taman Beji IV, Banjar Sasih, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Sabtu (8/12) sekitar pukul 06.30 Wita, sarat aura mistis. Sebagian besar warga di perumahan ini mengenal sungai ini tenget alias angker.
Warga setempat meyakini aliran sungai tersebut pelancaran (jalan, Red) Ratu Niang. Beberapa warga juga kerap melihat penampakan wong samar, gamang, hingga kuntilanak bergelantungan di ranting pohon bambu dekat aliran sungai. Suara-suara aneh juga kerap muncul pada hari-hari tertentu.
Seorang warga di dekat lokasi bencana, yang enggan namanya dikorankan, mengaku setiap Kajeng Kliwon, mengaku selalu cekcok tanpa sebab dengan istrinya. “Padahal tidak ada masalah, masuk sandikala pas rahinan kajeng kliwon pasti sempat saja berdebat. Sampai-sampai tyang tanya pada orang pintar, katanya aci-acinya kurang. Setelah tyang haturkan rarapan, wedang dan mohon agar tidak diganggu, sekarang sudah mending. Sebaliknya, ketika ngacinya benar, kita minta apapun pasti dikasi jalan,” ungkapnya yang baru balik dari Kapal Pesiar ini di lokasi, Minggu (9/12).
Kisah keangkeran Tukad Tiyis dibenarkan Kelian Banjar Sasih, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati I Ketut Wirama,42. Penghobi mancing ikan ini mengaku sering mengalami peristiwa mistis. “Pas mancing malam-malam, tiyang lihat ada penampakan bayangan hitam besar seperti genderuwo. Pernah juga terlihat sosok kuntilanak duduk di ujung ranting pohon bambu,” ungkapnya.
Jika sudah mengalami tanda-tanda aneh tersebut, Wirama yang biasa memancing bersama 3 atau 4 orang temannya ini pun pilih balik ke rumah.
Selain penampakan, lanjut dia, suara sorakan pun kerap terdengar di areal sungai. “Pernah tiyang alami, pancing ngamain (ikan makan pancing,Red). Tapi, begitu saya tarik yan muncul kain poleng. Lalu disambut suara suara gamelan. Terkadang kami suryakine (disoraki, Red),” ujarnya.
Dijelaskan Wirama, sepengetahuannya Tukad Tiyis, sejatinya bukan sungai, melainkan tirisan air irigasi dari sawah-sawah di sekitar. “Air sungai ini sangat deras hanya saat musim hujan,” ungkapnya.
Dikatakan Wirama, ambrolnya rumah di lokasi tersebut bukan yang pertama kali, melainkan 3 - 4 kali longsor. Tapi tahunnya saya lupa,” ungkap dia. Ia mengetahui, lokasi bencana itu merupakan lahan sawah dengan posisi miring. Namun pihak pengembang menguruk hingga rata, lanjut dibanguni rumah. “Rumah yang dibangun itu juga alami keretakan. Waktu itu masih kosong tanpa penghuni. Akhirnya yang bangun rumah, membongkar lalu dibangun ulang,” jelasnya.
Rumah itu dibeli korban Dwipaguna. Keluarga mereka menempatinya sejak Mei 2017. Sepengetahuan Wirama, korban Dwipaguna awalnya tinggal bersama kakak kandungnya di Perumahan Bumi Sasih Asri Blok 2A, cukup jauh dari lokasi kejadian. “Semasih bujang saya sudah kenal sama Made (korban, Red). Dia kesini sama kakaknya. Kemudian dia duluan menikah hingga punya dua anak masih tinggal di sana. Nah, saat istrinya hamil anak ketiga, Made pun kembali datang, bermaksud ngurus pisah KK sama kakaknya dan nanya-nanya rumah murah di sekitar sini,” ungkap Wirama.
Pantauan NusaBali, rumah warga yang berseberangan dengan rumah korban, tampak kosong. Menurut warga sekitar, pemilik rumah sudah pergi sejak Sabtu (8/12) pasca bencana itu. “Katanya takut, karena ada bagian rumah yang retak. Padahal baru tinggal tiga bulan,” jelas salah satu warga perumahan, Suniantara. Sementara penghuni dua rumah berjejer lainnya, juga tampak dikunci gembok. “Kayaknya yang dua ini pulang kampung, tapi persisnya saya kurang tahu. Sejak pag dikunci,” jelasnya.
Sedangkan rumah milik I Wayan Sadru, 56, asal Desa Timuhun, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, persis bersebelahan dengan rumah korban, menggelar upacara babayuhan. Guru SMAN 1 Tembuku, Bangli ini mengaku gelar bayuh ‘Karang Makesiab (pekaranagn terkejut, Red)’. “Karena bencana ini persis di timur rumah, bergandengan,” ungkapnya.
Dikatakan Wayan Sadru, rumahnya itu termasuk jarang ditinggali. Keseharian, ia sekeluarga tinggal di Klungkung. Sebelumnya diberitakan, satu keluarga, I Made Oktara Dwipaguna,30, istrinya Ni Made Lintang Ayu Widmerti,31, dan tiga anaknya Ni Putu Deta Vania Larasati,6, I Made Adin Radita Paguna, 3, dan I Nyoman Ali Anggara Paguna,2, tertimbun reruntuhan akibat seluruh bangunan rumahnya ambrol, Sabtu (8/12) sekitar pukul 06.30 Wita. Rumah di Gang Taman Beji IV Banjar Sasih, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, itu ambrol ke Sungai Tiyis sedalam sekitar 10 meter yang persis berada di sisi timur rumah yang ambrol.
Smentara itu, Oktara Dwipaguna masih dalam perawatan intensif setelah menjalani operasi, Sabtu (8/12) sore. Empat jenazah yang merupakan istri dan ketiga anaknya masih dititipkan di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah. Kasubbag Humas RSUP Sanglah Dewa Ketut Kresna, mengatakan kondisi pasien I Made Oktara sedang dalam perawatan intensif. “Saat ini pasien dalam kondisi stabil. Sudah sadar dan masih memakai ventilator,” ujarnya, Minggu (9/12) malam. *nvi.ind
Warga setempat meyakini aliran sungai tersebut pelancaran (jalan, Red) Ratu Niang. Beberapa warga juga kerap melihat penampakan wong samar, gamang, hingga kuntilanak bergelantungan di ranting pohon bambu dekat aliran sungai. Suara-suara aneh juga kerap muncul pada hari-hari tertentu.
Seorang warga di dekat lokasi bencana, yang enggan namanya dikorankan, mengaku setiap Kajeng Kliwon, mengaku selalu cekcok tanpa sebab dengan istrinya. “Padahal tidak ada masalah, masuk sandikala pas rahinan kajeng kliwon pasti sempat saja berdebat. Sampai-sampai tyang tanya pada orang pintar, katanya aci-acinya kurang. Setelah tyang haturkan rarapan, wedang dan mohon agar tidak diganggu, sekarang sudah mending. Sebaliknya, ketika ngacinya benar, kita minta apapun pasti dikasi jalan,” ungkapnya yang baru balik dari Kapal Pesiar ini di lokasi, Minggu (9/12).
Kisah keangkeran Tukad Tiyis dibenarkan Kelian Banjar Sasih, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati I Ketut Wirama,42. Penghobi mancing ikan ini mengaku sering mengalami peristiwa mistis. “Pas mancing malam-malam, tiyang lihat ada penampakan bayangan hitam besar seperti genderuwo. Pernah juga terlihat sosok kuntilanak duduk di ujung ranting pohon bambu,” ungkapnya.
Jika sudah mengalami tanda-tanda aneh tersebut, Wirama yang biasa memancing bersama 3 atau 4 orang temannya ini pun pilih balik ke rumah.
Selain penampakan, lanjut dia, suara sorakan pun kerap terdengar di areal sungai. “Pernah tiyang alami, pancing ngamain (ikan makan pancing,Red). Tapi, begitu saya tarik yan muncul kain poleng. Lalu disambut suara suara gamelan. Terkadang kami suryakine (disoraki, Red),” ujarnya.
Dijelaskan Wirama, sepengetahuannya Tukad Tiyis, sejatinya bukan sungai, melainkan tirisan air irigasi dari sawah-sawah di sekitar. “Air sungai ini sangat deras hanya saat musim hujan,” ungkapnya.
Dikatakan Wirama, ambrolnya rumah di lokasi tersebut bukan yang pertama kali, melainkan 3 - 4 kali longsor. Tapi tahunnya saya lupa,” ungkap dia. Ia mengetahui, lokasi bencana itu merupakan lahan sawah dengan posisi miring. Namun pihak pengembang menguruk hingga rata, lanjut dibanguni rumah. “Rumah yang dibangun itu juga alami keretakan. Waktu itu masih kosong tanpa penghuni. Akhirnya yang bangun rumah, membongkar lalu dibangun ulang,” jelasnya.
Rumah itu dibeli korban Dwipaguna. Keluarga mereka menempatinya sejak Mei 2017. Sepengetahuan Wirama, korban Dwipaguna awalnya tinggal bersama kakak kandungnya di Perumahan Bumi Sasih Asri Blok 2A, cukup jauh dari lokasi kejadian. “Semasih bujang saya sudah kenal sama Made (korban, Red). Dia kesini sama kakaknya. Kemudian dia duluan menikah hingga punya dua anak masih tinggal di sana. Nah, saat istrinya hamil anak ketiga, Made pun kembali datang, bermaksud ngurus pisah KK sama kakaknya dan nanya-nanya rumah murah di sekitar sini,” ungkap Wirama.
Pantauan NusaBali, rumah warga yang berseberangan dengan rumah korban, tampak kosong. Menurut warga sekitar, pemilik rumah sudah pergi sejak Sabtu (8/12) pasca bencana itu. “Katanya takut, karena ada bagian rumah yang retak. Padahal baru tinggal tiga bulan,” jelas salah satu warga perumahan, Suniantara. Sementara penghuni dua rumah berjejer lainnya, juga tampak dikunci gembok. “Kayaknya yang dua ini pulang kampung, tapi persisnya saya kurang tahu. Sejak pag dikunci,” jelasnya.
Sedangkan rumah milik I Wayan Sadru, 56, asal Desa Timuhun, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, persis bersebelahan dengan rumah korban, menggelar upacara babayuhan. Guru SMAN 1 Tembuku, Bangli ini mengaku gelar bayuh ‘Karang Makesiab (pekaranagn terkejut, Red)’. “Karena bencana ini persis di timur rumah, bergandengan,” ungkapnya.
Dikatakan Wayan Sadru, rumahnya itu termasuk jarang ditinggali. Keseharian, ia sekeluarga tinggal di Klungkung. Sebelumnya diberitakan, satu keluarga, I Made Oktara Dwipaguna,30, istrinya Ni Made Lintang Ayu Widmerti,31, dan tiga anaknya Ni Putu Deta Vania Larasati,6, I Made Adin Radita Paguna, 3, dan I Nyoman Ali Anggara Paguna,2, tertimbun reruntuhan akibat seluruh bangunan rumahnya ambrol, Sabtu (8/12) sekitar pukul 06.30 Wita. Rumah di Gang Taman Beji IV Banjar Sasih, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, itu ambrol ke Sungai Tiyis sedalam sekitar 10 meter yang persis berada di sisi timur rumah yang ambrol.
Smentara itu, Oktara Dwipaguna masih dalam perawatan intensif setelah menjalani operasi, Sabtu (8/12) sore. Empat jenazah yang merupakan istri dan ketiga anaknya masih dititipkan di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah. Kasubbag Humas RSUP Sanglah Dewa Ketut Kresna, mengatakan kondisi pasien I Made Oktara sedang dalam perawatan intensif. “Saat ini pasien dalam kondisi stabil. Sudah sadar dan masih memakai ventilator,” ujarnya, Minggu (9/12) malam. *nvi.ind
Komentar