'Langoning Idep' Menutup Manis Bali Mandara Nawanatya
“Ketika terjadinya zaman Kali kemana kita harus berlindung?,” tanya Kadek Wahyudita, konseptor garapan Langoning Idep, Sabtu (8/12) malam di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali.
DENPASAR, NusaBali
Malam itu garapan berjudul ‘Langoning Idep’ sebagai penutup Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP) Bali Mandara Nawanatya III yang digelar sepanjang tahun 2018.
Pertanyaan Kadek Wahyudita yang langsung dijawab sendiri olehnya pun sontak membuat diri ini tersadar. “Kalau gempa kita lari ke tanah lapang, kalau banjir kita berlindung ke gua. Ketika zaman Kali kita hanya bisa berlindung ke ajaran atau sastra itu sendiri,” tutur Kadek Wahyudita.
Ajaran itu sendiri akhirnya diterjemahkan oleh Wahyudita dalam sebuah garapan bertajuk Langoning Idep. Menurutnya, Langoning Idep yang berarti keindahan budi ingin mewujudkan sebuah karya yang mendalami estetika itu sendiri. “Kedalaman estetika itu tampil dengan rasa paling dalam dan itulah yang ingin kami wujudkan dalam garapan ini,” jelasnya.
Langoning Idep yang diproduksi oleh Yayasan Penggak Men Mersi bekerja sama dengan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni UNHI Denpasar hanya memiliki waktu latihan selama seminggu. Namun, waktu selama seminggu itu belumlah termasuk waktu untuk merenung dan mendalami inti sari garapan itu sendiri. “Kita berikan simbol-simbol menerjemahkan konsep zaman kekinian dimana manusia penuh kebohongan istilahnya dimakan oleh perilakunya sendirilah,” ungkap Wahyudita.
Gamelan yang mengalun lembut pada pertengahan garapan dan diselingi dengan nyanyian gerong serta narasi dari I Gede Anom Ranuara sebagai dalang, mewujudkan betapa indahnya apabila manusia menyelam ke dalam getaran suara (genta hrdaya) serta cahaya (aji saraswati) yang sejatinya berstana di lubuk hati yang paling terdalam. Pada akhirnya, suara dan cahaya itulah yang menuntun manusia menuju kesujatian jiwa (budhi satyam) yang diterjemahkan melalui adanya tari kreasi nan cantik sekaligus mistik. Sebab beberapa gerakan penari wanita mengadopsi dari gerakan Tari Sang Hyang.
Memegang prinsip ‘seni sebagai pembangkit kesadaran’, menurut Wahyudita, memaknai ajaran dengan kesenian bukanlah perkara mudah, sebab waktu untuk berpikir lebih selalu menjadi proses yang utama. “Bagaimana memaknai sastra sebagai gegamelan dan sastra dijadikan pedoman dalam perilaku,” ujarnya.
Wahyudita yang juga salah satu kurator dalam Bali Mandara Nawanatya III ini pun memberi catatan terhadap keberlangsungan Nawanatya yang dapat menginjak tahun ketiga. “Nawanatya berhasil menumbuhkan upaya-upaya seniman didalam mewujudkan karya-karya kreatif, meski harus berhenti disini tapi semoga ada ruang lainnya yang dapat merangsang seniman muda untuk selalu berkarya,” tandasnya. *ind
Malam itu garapan berjudul ‘Langoning Idep’ sebagai penutup Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP) Bali Mandara Nawanatya III yang digelar sepanjang tahun 2018.
Pertanyaan Kadek Wahyudita yang langsung dijawab sendiri olehnya pun sontak membuat diri ini tersadar. “Kalau gempa kita lari ke tanah lapang, kalau banjir kita berlindung ke gua. Ketika zaman Kali kita hanya bisa berlindung ke ajaran atau sastra itu sendiri,” tutur Kadek Wahyudita.
Ajaran itu sendiri akhirnya diterjemahkan oleh Wahyudita dalam sebuah garapan bertajuk Langoning Idep. Menurutnya, Langoning Idep yang berarti keindahan budi ingin mewujudkan sebuah karya yang mendalami estetika itu sendiri. “Kedalaman estetika itu tampil dengan rasa paling dalam dan itulah yang ingin kami wujudkan dalam garapan ini,” jelasnya.
Langoning Idep yang diproduksi oleh Yayasan Penggak Men Mersi bekerja sama dengan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni UNHI Denpasar hanya memiliki waktu latihan selama seminggu. Namun, waktu selama seminggu itu belumlah termasuk waktu untuk merenung dan mendalami inti sari garapan itu sendiri. “Kita berikan simbol-simbol menerjemahkan konsep zaman kekinian dimana manusia penuh kebohongan istilahnya dimakan oleh perilakunya sendirilah,” ungkap Wahyudita.
Gamelan yang mengalun lembut pada pertengahan garapan dan diselingi dengan nyanyian gerong serta narasi dari I Gede Anom Ranuara sebagai dalang, mewujudkan betapa indahnya apabila manusia menyelam ke dalam getaran suara (genta hrdaya) serta cahaya (aji saraswati) yang sejatinya berstana di lubuk hati yang paling terdalam. Pada akhirnya, suara dan cahaya itulah yang menuntun manusia menuju kesujatian jiwa (budhi satyam) yang diterjemahkan melalui adanya tari kreasi nan cantik sekaligus mistik. Sebab beberapa gerakan penari wanita mengadopsi dari gerakan Tari Sang Hyang.
Memegang prinsip ‘seni sebagai pembangkit kesadaran’, menurut Wahyudita, memaknai ajaran dengan kesenian bukanlah perkara mudah, sebab waktu untuk berpikir lebih selalu menjadi proses yang utama. “Bagaimana memaknai sastra sebagai gegamelan dan sastra dijadikan pedoman dalam perilaku,” ujarnya.
Wahyudita yang juga salah satu kurator dalam Bali Mandara Nawanatya III ini pun memberi catatan terhadap keberlangsungan Nawanatya yang dapat menginjak tahun ketiga. “Nawanatya berhasil menumbuhkan upaya-upaya seniman didalam mewujudkan karya-karya kreatif, meski harus berhenti disini tapi semoga ada ruang lainnya yang dapat merangsang seniman muda untuk selalu berkarya,” tandasnya. *ind
1
Komentar