Dihaturkan Tiap Sandikala untuk Mohon Perlindungan
Setiap harinya ada 3 KK krama Desa Pakraman Kerobokan, Kecamatan Sawan, Buleleng yang kebagian giliran haturkan pangkonan kuud mepayas saat sandikala. Mereka diurut gilirannya berdasarkan urutan rumah
Tradisi Memangkon Kuud Mepayas di Desa Pakraman Kerobokan, Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Desa Pakraman Kerobokan, Kecamatan Sawan, Buleleng, punya tradisi unik yang dilaksanakan setiap hari saat sandikala (sore menjelang malam). Tradisi ini berupa ritual Memangkon Kuud Mepayas, yang digelar krama Desa Pakraman Kerobokan secara bergiliran di persimpangan batas desa dan pusat desa, sebagai simbolik mohon perlindungan.
Sesuai namanya, Memangkon Kuud Mepayas berarti menghaturkan pangkonan berupa buah kelapa muda yang dirias sedemikian rupa, di mana kulit bagian atasnya ditiris, kemudian dihiasi bermacam bunga segar. Memangkon ini dilengkapi dengan bawang jaha sebagai ulam (daging, Red) dan segehan.
Pangkonan dihaturkan setiap sandikala di perbatasan wewidangan (wilayah) Desa Pakraman Kerobokan (Kecamatan Sawan), Desa Pakraman Keloncing (Kecamatan Sawan), dan Desa Pakraman Penarukan (Kecamatan Buleleng). Satu pangkonan lagi dihaturkan di palinggih yang berada di pusat Desa Pakraman Kerobokan---sebagai pertengahan desa.
Krama Desa Pakraman Kerobokan setiap hari menghaturkan pangkonan kuud mepayas secara bergiliran saat sandikala. Mereka diurut gilirannya berdasarkan urutan rumah. Tempat menghaturkan pangkonan kuud mepayas juga diatur sedemikian rupa berdasarkan Urak (surat dalam daun lontar, Red).
Ketika krama bersangkutan mendapat giliran memangkon berdasarkan giliran rumah, maka mereka akan mendapatkan Urak. “Jadi, Urak itu sekaligus mengingatkan krama kalau yang bersangkutan sudah tiba gilirannya memangkon. Urak itu diserahkan oleh krama yang sudah memangkon sebelumnya kepada krama di sebelahnya yang mendapat giliran berikutnya,” ungkap Kelian Desa Pakraman Kerobokan, Jro Mangku Gede Wayan Suma Wijaya kepada NusaBali, beberapa hari lalu.
“Dalam Urak tersebut juga sudah tertulis tempat di mana pangkonan harus dihaturkan. Lokasinya bisa di persimpangan desa atau di pusat desa. Setiap hari ada 3 kepala keluarga (KK) krama yang memangkon,” lanjut Jro Mangku Suma Wijaya.
Menurut Jro Mangku Suma Wijaya, tradisi Memangkon Kuud Mepayas di Desa Pakraman Kerobokan ini diperkirakan sudah ada sejak puluhantahun silam dan diwarisi krama setempat secara turun temurun. Meangkon ini adalah bentuk persembahan kepada Ida Batara Sesuhunan Ratu Ida Bagus Manik Mas Macaling, yang menjaga wewidangan dan krama Desa Pakraman Kerobokan.
Jadi, kata Jro Mangku Suma Wijaya, menghaturkan pangkonan merupakan simbolik permohonan keselamatan dan perlindungan Ida Batara Sesuhunan dan sekaligus untuk menyeimbangkan bhuwana alit dan bhuawana agung
Jro Mangku Suma Wijaya mengungkapkan, dari cerita yang didapatkannya, tradisi ritual menghaturkan pangkonan ini ada kaitannya dengan Sekaa Kesenian Drama Gong yang pernah ada di Desa Kerobokan. Kala itu, Sekaa Kesenian Drama Gong tersebut sering pentas keliling ke beberapa desa hingga luar Buleleng. Nah, agar pementasan berlangsung lancar, sekaa kesenian ini memohon keselamatan kepada Ida Batara Sesuhunan sebelum berangkat mentas.
Pernah suatu ketika terjadi peristiwa aneh. Meski sudah memohon keselamatan, namun pemetasan drama gong tidak berlangsung lancar, lantaran beberapa pemainnya mendadak sakit akibat perbuatan jahil seseorang yang memiliki ilmu hitam. Pementasan pun tepaksa dihentikan.
Belajar dari kejadian tersebut, sekaa kesenian ini kembali memohon keselamatan karena akan pentas beberapa hari lagi di tempat lain. Dari situlah muncul pawisik (petunjuk niskala) melalui Jero Sutri yang ngiring Ratu Ida Bagus Manik Mas Macaling, agar setiap hari dilakukan ritula Memangkon Kuud Mepayas saat sandikala di pusat desa dan dipersimpangan perbatasan desa.
“Setelah dilaksanakan ritual tersebut, pementasan Sekaa Drama Gong Desa Kerobokan selalu berlangsung lancar. Tradisi menghaturkan pangkonan ini kemudian dilaksanakan terus secara turun temurun sampai sekarang. Ini juga sebagai permohonan agar semua krama dapat terhindar dari malapetaka,” tutur Jro Mangku Suma Wijaya.
Jro Mangku Suma Wijaya memaparkan, ritual Memangkon Kuud Mepayas terus menjadi kewajiban krama Desa Pakraman Kerobokan. Krma asetempat tidak berani mengabaikan ritual harian setiap sandikala ini, karena akibatnya bisa fatal.
Pernah suatu ketika tidak dilaksamakan ritual Memangkon Kuud Mepayas. Apa yang terjadi? Jero Sutri tiba-tiba kerauhan (kesurupan) sambil bertingkah polah seperti seekor macan yang mengaum-ngaum. Dalam kondisi kerauhan, Jero Sutri menyampaikan bahwa pangkonan itu harus tetap ada setiap haru untuk keselamatan semua krama Desa Pakraman Kerobokan. Jika pangkonan ditiadakan, maka akan ada malapetaka.
“Makanya, sampai sekarang tradisi memangkon ini terus dilaksanakan. Jangankan ditiadakan, satu saja tempat tidak dihaturkan pangkonan, mungkin karena krama yang mendapat giliran lalai, Ida Betara Sasuhunan bisa tedun (turun),dan meminta dibuatkan pangkonan,” papar Jro Mangku Suma Wijaya. *k19
SINGARAJA, NusaBali
Desa Pakraman Kerobokan, Kecamatan Sawan, Buleleng, punya tradisi unik yang dilaksanakan setiap hari saat sandikala (sore menjelang malam). Tradisi ini berupa ritual Memangkon Kuud Mepayas, yang digelar krama Desa Pakraman Kerobokan secara bergiliran di persimpangan batas desa dan pusat desa, sebagai simbolik mohon perlindungan.
Sesuai namanya, Memangkon Kuud Mepayas berarti menghaturkan pangkonan berupa buah kelapa muda yang dirias sedemikian rupa, di mana kulit bagian atasnya ditiris, kemudian dihiasi bermacam bunga segar. Memangkon ini dilengkapi dengan bawang jaha sebagai ulam (daging, Red) dan segehan.
Pangkonan dihaturkan setiap sandikala di perbatasan wewidangan (wilayah) Desa Pakraman Kerobokan (Kecamatan Sawan), Desa Pakraman Keloncing (Kecamatan Sawan), dan Desa Pakraman Penarukan (Kecamatan Buleleng). Satu pangkonan lagi dihaturkan di palinggih yang berada di pusat Desa Pakraman Kerobokan---sebagai pertengahan desa.
Krama Desa Pakraman Kerobokan setiap hari menghaturkan pangkonan kuud mepayas secara bergiliran saat sandikala. Mereka diurut gilirannya berdasarkan urutan rumah. Tempat menghaturkan pangkonan kuud mepayas juga diatur sedemikian rupa berdasarkan Urak (surat dalam daun lontar, Red).
Ketika krama bersangkutan mendapat giliran memangkon berdasarkan giliran rumah, maka mereka akan mendapatkan Urak. “Jadi, Urak itu sekaligus mengingatkan krama kalau yang bersangkutan sudah tiba gilirannya memangkon. Urak itu diserahkan oleh krama yang sudah memangkon sebelumnya kepada krama di sebelahnya yang mendapat giliran berikutnya,” ungkap Kelian Desa Pakraman Kerobokan, Jro Mangku Gede Wayan Suma Wijaya kepada NusaBali, beberapa hari lalu.
“Dalam Urak tersebut juga sudah tertulis tempat di mana pangkonan harus dihaturkan. Lokasinya bisa di persimpangan desa atau di pusat desa. Setiap hari ada 3 kepala keluarga (KK) krama yang memangkon,” lanjut Jro Mangku Suma Wijaya.
Menurut Jro Mangku Suma Wijaya, tradisi Memangkon Kuud Mepayas di Desa Pakraman Kerobokan ini diperkirakan sudah ada sejak puluhantahun silam dan diwarisi krama setempat secara turun temurun. Meangkon ini adalah bentuk persembahan kepada Ida Batara Sesuhunan Ratu Ida Bagus Manik Mas Macaling, yang menjaga wewidangan dan krama Desa Pakraman Kerobokan.
Jadi, kata Jro Mangku Suma Wijaya, menghaturkan pangkonan merupakan simbolik permohonan keselamatan dan perlindungan Ida Batara Sesuhunan dan sekaligus untuk menyeimbangkan bhuwana alit dan bhuawana agung
Jro Mangku Suma Wijaya mengungkapkan, dari cerita yang didapatkannya, tradisi ritual menghaturkan pangkonan ini ada kaitannya dengan Sekaa Kesenian Drama Gong yang pernah ada di Desa Kerobokan. Kala itu, Sekaa Kesenian Drama Gong tersebut sering pentas keliling ke beberapa desa hingga luar Buleleng. Nah, agar pementasan berlangsung lancar, sekaa kesenian ini memohon keselamatan kepada Ida Batara Sesuhunan sebelum berangkat mentas.
Pernah suatu ketika terjadi peristiwa aneh. Meski sudah memohon keselamatan, namun pemetasan drama gong tidak berlangsung lancar, lantaran beberapa pemainnya mendadak sakit akibat perbuatan jahil seseorang yang memiliki ilmu hitam. Pementasan pun tepaksa dihentikan.
Belajar dari kejadian tersebut, sekaa kesenian ini kembali memohon keselamatan karena akan pentas beberapa hari lagi di tempat lain. Dari situlah muncul pawisik (petunjuk niskala) melalui Jero Sutri yang ngiring Ratu Ida Bagus Manik Mas Macaling, agar setiap hari dilakukan ritula Memangkon Kuud Mepayas saat sandikala di pusat desa dan dipersimpangan perbatasan desa.
“Setelah dilaksanakan ritual tersebut, pementasan Sekaa Drama Gong Desa Kerobokan selalu berlangsung lancar. Tradisi menghaturkan pangkonan ini kemudian dilaksanakan terus secara turun temurun sampai sekarang. Ini juga sebagai permohonan agar semua krama dapat terhindar dari malapetaka,” tutur Jro Mangku Suma Wijaya.
Jro Mangku Suma Wijaya memaparkan, ritual Memangkon Kuud Mepayas terus menjadi kewajiban krama Desa Pakraman Kerobokan. Krma asetempat tidak berani mengabaikan ritual harian setiap sandikala ini, karena akibatnya bisa fatal.
Pernah suatu ketika tidak dilaksamakan ritual Memangkon Kuud Mepayas. Apa yang terjadi? Jero Sutri tiba-tiba kerauhan (kesurupan) sambil bertingkah polah seperti seekor macan yang mengaum-ngaum. Dalam kondisi kerauhan, Jero Sutri menyampaikan bahwa pangkonan itu harus tetap ada setiap haru untuk keselamatan semua krama Desa Pakraman Kerobokan. Jika pangkonan ditiadakan, maka akan ada malapetaka.
“Makanya, sampai sekarang tradisi memangkon ini terus dilaksanakan. Jangankan ditiadakan, satu saja tempat tidak dihaturkan pangkonan, mungkin karena krama yang mendapat giliran lalai, Ida Betara Sasuhunan bisa tedun (turun),dan meminta dibuatkan pangkonan,” papar Jro Mangku Suma Wijaya. *k19
Komentar