Temuan Kosmetik Ilegal Capai Rp 7,2 M
Beberapa produk yang disita sebagian besar merupakan produk pemutih, masker, perawatan kulit, eyeshadow, hingga lipstik
DENPASAR, NusaBali
Sebanyak 68 sarana (tempat penjualan) di Bali, seperti pusat perbelanjaan modern dan tradisional, importir, distributor, toko kosmetik, hingga salon dan klinik kecantikan menjadi sasaran BBPOM di Denpasar dalam aksi penertiban pasar dari kosmetika illegal tahap II (Oktober-Desember 2018). Dari jumlah tersebut, 35 sarana yang tidak memenuhi ketentuan, dengan taksiran nilai ekonomi mencapai Rp 7,2 miliar.
“Jumlah temuan ini meningkat dari tahap I (Juli 2018) yang ditaksir Rp 2,1 miliar. 51 persen sarana tidak memenuhi ketentuan karena menjual, mendistribusikan, memajang produk kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan, tanpa izin edar, mengandung bahan berbahaya, dan penandaannya tidak memenuhi syarat,” ujar Kepala BBPOM di Denpasar, Dra IGA Adhi Aryapatni Apt, di kantor dinasnya, Selasa (11/12).
Beberapa produk yang disita sebagian besar merupakan produk pemutih, masker, perawatan kulit, eyeshadow, hingga lipstik. Temuan produk lokal mencapai 61 persen, dan produk impor 38 persen. Ia menyebut, daerah yang jumlah sarananya paling banyak ditemukan di Badung. Dari 28 sarana di Badung, 15 di antaranya tidak memenuhi syarat. “Ada beberapa kami temukan dari toko yang sama kita sasar pada tahap sebelumnya. Sebagian lagi dari toko yang berbeda,” katanya.
Terkait temuan di klinik kecantikan, menurut Adhi, biasanya akan bekerjasama dengan dokter. Apabila ada apoteknya langsung di klinik tersebut, maka penggunaan obat dengan kandungan bahan berbahaya akan dilarang digunakan. Obat yang akan diberikan sesuai dengan resep dokter. “Mercuri itu dilarang, walaupun itu dianggap sebagai obat. Tetapi kalau hydroquinone, itu masih boleh diresepkan oleh dokter spesialis kulit yang ahlinya, dan tentu pengawasannya juga lebih intensif, tidak dijual bebas. Tapi dalam kasus ini kan dijual bebas, itu yang tidak boleh,” jelasnya.
Sementara itu, sanksi yang diberikan apabila terbukti ada penggunaan merkuri pun baru sebatas sanksi administratif berupa pemusnahan terhadap produk. “Namun bila sebelumnya sudah pernah dibina, kemudian masih saja mengulangi pelanggaran yang sama, tentu sanksi yang lebih berat akan kita berikan. Termasuk penegakan hukum juga kita sudah kita lakukan, terutama distributor dan sales. Tahun ini ada sarana kosmetik yang kita ajukan ke pengadilan,” ucapnya.
Menurut Adhi, faktor demand (permintaan) masih tinggi, sehingga edukasi dan sosialisasi harus digencarkan. Pengawasan yang dilakukan selama ini bertujuan menurunkan supplai. Akan tetapi, jika permintaan masyarakat yang masih tinggi, maka supplai akan tetap ada. “Karena itu, kami selain melakukan pengawasan, kami juga melakukan pemberdayaan masyarakat. Kepada generasi milenial, kami juga sampaikan cara-cara memilih kosmetik yang cerdas. Semakin mereka tahu tentang kosmetik berbahaya, harapannya demand bisa turun” imbuhnya.
Masyarakat juga diminta untuk tidak tergiur iklan yang bisa memberikan hasil cepat. Termasuk belanja kosmetik online yang belum tentu aman kandungan bahannya serta merknya terdaftar BPOM atau tidak. “Bahan-bahan berbahaya seperti merkuri, hydroquinone, dan asam retinoat ini sifatnya karsinogen, memicu pertumbuhan sel kanker. Banyak yang sudah jadi korban, wajahnya jadi makin banyak flek. Awalnya saja terlihat berhasil, tapi sebenarnya memicu kanker,” tandasnya. *ind
“Jumlah temuan ini meningkat dari tahap I (Juli 2018) yang ditaksir Rp 2,1 miliar. 51 persen sarana tidak memenuhi ketentuan karena menjual, mendistribusikan, memajang produk kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan, tanpa izin edar, mengandung bahan berbahaya, dan penandaannya tidak memenuhi syarat,” ujar Kepala BBPOM di Denpasar, Dra IGA Adhi Aryapatni Apt, di kantor dinasnya, Selasa (11/12).
Beberapa produk yang disita sebagian besar merupakan produk pemutih, masker, perawatan kulit, eyeshadow, hingga lipstik. Temuan produk lokal mencapai 61 persen, dan produk impor 38 persen. Ia menyebut, daerah yang jumlah sarananya paling banyak ditemukan di Badung. Dari 28 sarana di Badung, 15 di antaranya tidak memenuhi syarat. “Ada beberapa kami temukan dari toko yang sama kita sasar pada tahap sebelumnya. Sebagian lagi dari toko yang berbeda,” katanya.
Terkait temuan di klinik kecantikan, menurut Adhi, biasanya akan bekerjasama dengan dokter. Apabila ada apoteknya langsung di klinik tersebut, maka penggunaan obat dengan kandungan bahan berbahaya akan dilarang digunakan. Obat yang akan diberikan sesuai dengan resep dokter. “Mercuri itu dilarang, walaupun itu dianggap sebagai obat. Tetapi kalau hydroquinone, itu masih boleh diresepkan oleh dokter spesialis kulit yang ahlinya, dan tentu pengawasannya juga lebih intensif, tidak dijual bebas. Tapi dalam kasus ini kan dijual bebas, itu yang tidak boleh,” jelasnya.
Sementara itu, sanksi yang diberikan apabila terbukti ada penggunaan merkuri pun baru sebatas sanksi administratif berupa pemusnahan terhadap produk. “Namun bila sebelumnya sudah pernah dibina, kemudian masih saja mengulangi pelanggaran yang sama, tentu sanksi yang lebih berat akan kita berikan. Termasuk penegakan hukum juga kita sudah kita lakukan, terutama distributor dan sales. Tahun ini ada sarana kosmetik yang kita ajukan ke pengadilan,” ucapnya.
Menurut Adhi, faktor demand (permintaan) masih tinggi, sehingga edukasi dan sosialisasi harus digencarkan. Pengawasan yang dilakukan selama ini bertujuan menurunkan supplai. Akan tetapi, jika permintaan masyarakat yang masih tinggi, maka supplai akan tetap ada. “Karena itu, kami selain melakukan pengawasan, kami juga melakukan pemberdayaan masyarakat. Kepada generasi milenial, kami juga sampaikan cara-cara memilih kosmetik yang cerdas. Semakin mereka tahu tentang kosmetik berbahaya, harapannya demand bisa turun” imbuhnya.
Masyarakat juga diminta untuk tidak tergiur iklan yang bisa memberikan hasil cepat. Termasuk belanja kosmetik online yang belum tentu aman kandungan bahannya serta merknya terdaftar BPOM atau tidak. “Bahan-bahan berbahaya seperti merkuri, hydroquinone, dan asam retinoat ini sifatnya karsinogen, memicu pertumbuhan sel kanker. Banyak yang sudah jadi korban, wajahnya jadi makin banyak flek. Awalnya saja terlihat berhasil, tapi sebenarnya memicu kanker,” tandasnya. *ind
Komentar