nusabali

Korban Ibu dan Tiga Anaknya Dikremasi, Tangis Duka Pun Pecah

  • www.nusabali.com-korban-ibu-dan-tiga-anaknya-dikremasi-tangis-duka-pun-pecah

Empat jenazah yang menjadi korban longsor di Banjar Sasih, Desa Batubulan, Sukawati Gianyar pada, Sabtu (8/12) lalu, akhirnya dikremasi di Krematorium Santha Yana Cekomaria, di Jalan Jaya Sakti, Peguyangan Kangin, Denpasar pada Buda Umanis Julungwangi, Rabu (12/12) sore.

Pasca Bencana Rumah Ambrol ke Sungai di Batubulan, Gianyar

DENPASAR, NusaBali
Isak tangis keluarga dan kerabat mewarnai prosesi kremasi tersebut. Saat tiga jenazah anak kecil, Ni Putu Deta Vania Larasati, 6, I Made Adin Radita Paguna, 3, dan I Nyoman Adli Anggara Paguna, 2, dan ibunya, Ni Made Lintang Ayu Widmerti, 31, diturunkan dari mobil jenazah, tangis keluarga pecah.

Ratusan pelayat mulai dari keluarga, kerabat, teman masa sekolah hingga rekan kerja juga terlihat bersimpati atas musibah ini. Sementara korban selamat, yakni I Made Oktara Dwipaguna harus menelan kenyataan pahit tidak bisa melihat jenazah istri dan anak-anak untuk terakhir kalinya. Kondisinya yang tidak memungkinkan karena masih harus mendapatkan perawatan lanjutan pasca musibah longsor itu di RS Sanglah Denpasar. Beberapa anak sekolah juga terlihat melayat sambil membawa boneka berwarna pink.

Beberapa juga membawakan bunga mawar. Menurut penuturan kakek buyut dari korban Putu Vania, Komang Sumiarna, sebelum meninggal Vania tercatat sebagai siswi SD Saraswati 5 Denpasar.

Komang Sumiarna merupakan kakek dari Made Oktara atau Ade. Dialah yang dipercaya oleh orang tua Ade, untuk mengurus prosesi kremasi cucu menantu dan tiga cicitnya itu. Sebelum dikremasi, dua anak yang paling kecil, Adin dan Adli dilakukan prosesi upacara ngelungah, karena keduanya belum tanggal gigi.

“Ada proses ngubur secara simbolik bagi dua anak yang paling kecil, kemudian ngulapin. Barulah dikremasi bersama-sama ibu dan kakaknya,” jelasnya.

Waktu menunjukkan pukul 18.10 WITA. Seluruh rangkaian persiapan kremasi telah rampung. Keempat jenazah pun secara beriringan dibawa ke tempat pembakaran mayat. Menurut Sumiarna, satu hari sebelum kremasi, pihaknya terlebih dulu meluasang atau bertanya ke orang pintar. “Saat meluasang arwah Lintang hanya diam saja. Dia bilang jalannya gelap, belum ketemu pangelingsir. Setelah dipacarai baru akan ketemu jalan. Juga minta ngulapin di tempat kejadian,” tuturnya.

Usai kremasi, kata Sumiarna, akan dilangsungkan nganyut di Pantai Matahari Terbit. Sampai seluruh prosesi upacara selesai dilaksanakan, barulah dilanjutkan dengan upacara ngelinggihang di merajan kampung halamannya di Banjar Jawa, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. “Pokoknya sampai puput (selesai, red), sampai bersih, baru kami akan ke Singaraja untuk ngelinggihang,” imbuhnya.

Sumiarna tidak henti-hentinya berterimakasih kepada pihak Yayasan Pasek (Maha Gotra Pasek Sana Sapta Rsi/MGPSSR) yang telah membantunya. Juga semua pihak yang membantu baik materi maupun dukungan moril. Ia mengungkapkan, biaya untuk kremasi untuk ibu Lintang sebesar Rp 31 juta, sementara anak pertama Rp 24 juta. Sedangkan dua anak paling kecil tidak dikenakan biaya.

“Kami diberi keringanan, bayar belakangan boleh, bayar seadanya boleh, tidak bayar juga boleh. Tadi begitu kita bayar, karena teman-temannya bertekad untuk membantu, akhirnya dibayar full, dikembalikan lagi sekitar Rp 20 juta,” katanya.

Sementara Made Oktara alias Ade yang merupakan suami dan ayah dari keempat korban, sudah mengetahui bahwa istri dan anaknya telah tiada. Hal ini diberitahu oleh dokter psikiater, saat ia sadar di ruang ICU RSUP Sanglah.

“Sebelum memberitahukan ini, kami konsultasi dulu dengan dokternya. Setelah itu, dokter masuk ke ruang ICU untuk memberitahukan kenyataan ini. Beberapa saat kemudian, saya dikasih kode untuk masuk ruangan. Baru saya dekati Ade, saya pegang tangannya, dan bilang; Ade ini kakek. Dia baru membuka mata dan langsung menangis. Tapi saya tidak dikasih lama-lama, karena ditakutkan memorinya akan diingat terus,” ceritanya.

Meski Sumiarna juga merasa sangat kehilangan dengan meninggalnya cucu menantu dan cicitnya, namun ia berusaha tabah dan memotivasi cucunya, Ade.

“Saya bilang ; Ade harus kuat dan tabah. Anak-anak dan istri Ade sudah kakek yang ngurus. Semuanya sampai upacaranya selesai. Teman-temannya juga memberikan motivasi agar Ade kuat,” katanya.

Di mata Sumiarna, Ade merupakan sosok yang mandiri, sama dengan dirinya dan cicit keduanya, Adin. Ade juga termasuk penurut dengan dirinya. “Dia juga penurut anaknya, terutama dengan saya. Kalau saya bilang apa, dia pasti nurut dan konsultasi ke saya,” ungkapnya.

Ia mengatakan, momen berkumpul bersama Ade dan keluarganya saat Tumpek Landep dan Buda Manis Perangkat ketika piodalan di Merajan kampung halaman. Namun karena rumah cukup dekat, Sumiarna cukup sering bertemu dengan Ade, istri, dan anak-anaknya. “Saya juga dekat dengan anaknya Ade yang nomor dua. Dia nakal tapi dekat dengan saya. Sering main ke rumah,” tuturnya.

Ke depan, untuk memulihkan kondisi psikologis Ade, Sumiarna menyarankan orang tua dan kakak Ade mengontrak rumah dan tinggal bersama agar bisa menemani Ade. Selama ini, ayah Ade tinggal di kampung halaman karena sakit, sedangkan ibunya masih bertugas di BBPOM NTB yang akan pensiun 6 bulan lagi. Selain itu, seluruh sumbangan yang diberikan oleh teman dan donator diserahkan kepada ibunya Ade, untuk biaya perawatan dan pemulihan untuk Ade.

“Saya sarankan semua uang sumbangan itu baik-baik dipergunakan. Ade masih butuh uang untuk perawatan. Saya menyarankan kontrak rumah satu, kumpul semua di situ. Biar Ade ada kekuatan, tidak sendiri. Setelah rembug, semua saudara setuju. Kalau Ade sendiri, lain-lain lagi pikirannya,” tandasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, satu keluarga, I Made Oktara Dwipaguna, 30, istrinya Ni Made Lintang Ayu Widmerti, 31, dan tiga anaknya Ni Putu Deta Vania Larasati, 6, I Made Adin Radita Paguna, 3, dan I Nyoman Ali Anggara Paguna, 2, tertimbun reruntuhan akibat seluruh bangunan rumahnya ambrol, Sabtu (8/12) sekitar pukul 06.30 WITA.

Rumah di Gang Taman Beji IV Banjar Sasih, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, itu ambrol ke Sungai Tiyis sedalam sekitar 10 meter yang persis berada di sisi timur rumah yang ambrol. Ibu dan tiga anaknya meninggal di lokasi kejadian. Sementara Made Oktara, pegawai Bank BRI Cabang Gajah Mada, Denpasar kondisinya kritis dan dirawat di RSUP Sanglah, Denpasar. Hanya mertua Made Oktara, Ni Nyoman Martani, 53, selamat dari maut. Saat kejadian, Martani sedang sembahyang di luar pekarangan rumah. *ind

Komentar