LBH APIK Desak Pembangunan ‘Rumah Aman’
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Bali, terus mendesak pemerintah untuk mewujudkan pembangunan rumah aman.
Kasus Kekerasan Anak Tinggi
SINGARAJA, NusaBali
Hal tesebut menyusul masih tingginya kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Bali. Sebagian besar penanganan kasus itu pun belum dapat dimaksimalkan karena belum adanya rumah aman.
Sekretaris LBK APIK Bali, Luh Putu Anggreni, saat ditemui Kamis (13/12) kemarin mengatakan, sepanjang tahun 2018 ini jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang ditangani LBH APIK sebanyak 108 kasus. Ratusan kasus yang ditangani oleh Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) ternyata belum maksimal. Pekerja Sosial (peksos) yang bertugas menangani masalah tersebut seringkali mentok saat menentukan tempat pembinaan korban kekerasan maupun pelaku kekerasan terutama pada anak.
“Provinsi sudah punya Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, tetapi ternyata sepertinya belum didukung oleh sarana prasana dan kurang memahami fungsi shelter dan rumah aman. Karena sampai saat ini Bali belum memiliki itu untuk penanganan kasus anak,” kata Anggreni.
Ia pun mengatakan rumah aman sangat penting dalam penanganan kasus anak, terutama pada anak sebagai pelaku kejahatan. Rumah aman sangat berperan penting saat masa pembinaan agar anak yang bersangkutan tak menjadi residivis. Anggreni menuturkan selama ini, anak yang terlibat sebagai pelaku kejahatan sering kali kembali melakukan aksi yang sama dan akhirnya menjadi residivis. Hal itu disebut olehnya karena tak ada pembinaan maksimal, untuk menyadarkan mereka untuk tak lagi melanggar hukum.
Pihaknya menjelaskan pelaku kejahatan anak berpotensi besar menjadi residivis, karena saat dikembalikan oleh kepolisian untuk dibina orangtuanya sesuai dengan sistem peradilan pidana anak, orang tua dan lingkungan tak mendukung. Hal ini yang membuat mereka cenderung kembali melakukan kasus yang sama.
“Okelah kalau korban selama ini masih bisa kami titip di panti, tetapi kalau pelaku siapa yang mau menerima. Sedangkan penanganan pelaku kejahatan anak itu perlu pembinaan yang benar sejak awal. Ini menjadi persoalan serius karena Bali sendiri belum punya shelter atau rumah aman,” imbuhnya.
Sementara itu rumah aman bukan satu-satunya kendala yang dihadapi selama ini dalam penanganan kasus anak. P2TP2A yang menjadi barisan pertama dalam penanganan kasus anak masih keterbatasan personel untuk menangani jumlah wilayah binaan. Seperti misalnya di Buleleng dengan 148 desa dan kelurahan hanya ada dua pekerja sosial yang menangani masalah anak. Kedepannya LBH APIk berharap pemerintah dapat mensuplai tim penanganan, sehingga tak bekerja pontang panting. “P2TP2A harus punya tim pendamping, psikolognya sapa, advokasi hukumnya siapa, petugas yang menjaga korban atau pelaku siapa, sehingga nnati penanganan dapat maksimal, tak hanya soal rumah aman saja,” tegas Anggreni. *k23
SINGARAJA, NusaBali
Hal tesebut menyusul masih tingginya kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Bali. Sebagian besar penanganan kasus itu pun belum dapat dimaksimalkan karena belum adanya rumah aman.
Sekretaris LBK APIK Bali, Luh Putu Anggreni, saat ditemui Kamis (13/12) kemarin mengatakan, sepanjang tahun 2018 ini jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang ditangani LBH APIK sebanyak 108 kasus. Ratusan kasus yang ditangani oleh Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) ternyata belum maksimal. Pekerja Sosial (peksos) yang bertugas menangani masalah tersebut seringkali mentok saat menentukan tempat pembinaan korban kekerasan maupun pelaku kekerasan terutama pada anak.
“Provinsi sudah punya Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, tetapi ternyata sepertinya belum didukung oleh sarana prasana dan kurang memahami fungsi shelter dan rumah aman. Karena sampai saat ini Bali belum memiliki itu untuk penanganan kasus anak,” kata Anggreni.
Ia pun mengatakan rumah aman sangat penting dalam penanganan kasus anak, terutama pada anak sebagai pelaku kejahatan. Rumah aman sangat berperan penting saat masa pembinaan agar anak yang bersangkutan tak menjadi residivis. Anggreni menuturkan selama ini, anak yang terlibat sebagai pelaku kejahatan sering kali kembali melakukan aksi yang sama dan akhirnya menjadi residivis. Hal itu disebut olehnya karena tak ada pembinaan maksimal, untuk menyadarkan mereka untuk tak lagi melanggar hukum.
Pihaknya menjelaskan pelaku kejahatan anak berpotensi besar menjadi residivis, karena saat dikembalikan oleh kepolisian untuk dibina orangtuanya sesuai dengan sistem peradilan pidana anak, orang tua dan lingkungan tak mendukung. Hal ini yang membuat mereka cenderung kembali melakukan kasus yang sama.
“Okelah kalau korban selama ini masih bisa kami titip di panti, tetapi kalau pelaku siapa yang mau menerima. Sedangkan penanganan pelaku kejahatan anak itu perlu pembinaan yang benar sejak awal. Ini menjadi persoalan serius karena Bali sendiri belum punya shelter atau rumah aman,” imbuhnya.
Sementara itu rumah aman bukan satu-satunya kendala yang dihadapi selama ini dalam penanganan kasus anak. P2TP2A yang menjadi barisan pertama dalam penanganan kasus anak masih keterbatasan personel untuk menangani jumlah wilayah binaan. Seperti misalnya di Buleleng dengan 148 desa dan kelurahan hanya ada dua pekerja sosial yang menangani masalah anak. Kedepannya LBH APIk berharap pemerintah dapat mensuplai tim penanganan, sehingga tak bekerja pontang panting. “P2TP2A harus punya tim pendamping, psikolognya sapa, advokasi hukumnya siapa, petugas yang menjaga korban atau pelaku siapa, sehingga nnati penanganan dapat maksimal, tak hanya soal rumah aman saja,” tegas Anggreni. *k23
Komentar