Kearifan Lokal, Kunci Kekuatan Bali
Ketut Suardana,60, salah seorang pengusaha bidang pariwisata asal Banjar Ubud Kaja, Kelurahan/Kecamatan Ubud, Gianyar.
Ketut Suardana, Pendiri UWRF Sejak Tahun 2004
Di balik kesibukannya dalam bisnis turistik di Ubud, laki-laki bertubuh tambun ini terbilang amat beruntung jika dikaitkan dengan upaya pemerintah menggerakkan kebudayan Nasional. Karena pria yang tinggal di Jalan Bisma, Ubud ini, satu-satnya orang Bali dari luar lembaga formal pemerintah dan kampus, yang hadir sebagai peserta Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018. Kongres digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini digelar di Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta , 7 - 9 Desember 2018.
Kemunculan namanya sebagai peserta kongres bergengsi tersebut tiada lain karena sepak terjangnya yang berkaitan erat dengan aktivitas kebudayaan khususnya dari desa budaya Ubud. Namanya sangat populer hingga ke kancah internasional karena ia dan istrinya, Janet De Neefe, asal Australia, merintis pelaksanaan Ubud Writer and Reader Festival (UWRF) sejak tahun 2004. UWRF, salah satu festival yang berorientasi pada literasi kebudayaan dunia, terutama bidang sastra
Melalui Yayasan Mudra Swari, Ubud, yang dikelolanya, Suardana intens menggerakkan festival ini. ’’UWRF ini, satu-satunya festival yang pelaksanaannya tak pernah putus. Tahun 2018, UWRF sudah yang ke-15,’’ ujarnya beberapa waktu lalu.
Sebagai orang yang cinta budaya Nusantara, ayah empat anak ini mengaku sangat tertegun dengan materi-materi KKI 2018. Di antaranya, banyak membahas tentang local wisdom (kearifan lokal) Nusantara. ‘’Saya amat tertarik dengan KKI ini, mungkin karena pesan-pesan kebudayaan dalam KKI ini banyak kesamaan dengan UWRF. Sama-sama menyuarakan dan menguatkan kearifan lokal Nusantara, termasuk Bali,’’ jelas pencinta masakan tradisional Bali ini.
Mengikuti KKI 20018, membuat Suardana mendapat pelajaran penting bidang kebudayaan Nasional, khususnya sub kearifan lokal. Beberapa hal yang menjadi ‘catatan rasa’ tentang kearifan lokal dimaksud, yakni sangat bersyukur hidup di Bali. Karena Bali punya nilai-nilai kearifan lokal yang amat pantas dan patut dirawat. Kearifan lokal dimaksud baik yang tersirat dalam ajaran agama Hindu, adat istiadat, kehidupan sosial, hingga tradisi bersastra Bali. ‘’Orang Bali misalnya memahami tan hana dharma mangrwa (kebenaran tetap satu). Dalam konteks Nasional, bahwa kebudayaan Nasional itu luas, plural, multi makna dan nilai. Namun keesaan semua itu adalah satu untuk kebangsaan Indonesia,’’ jelasnya.
Oleh karena itu, dirinya mengaku bangga dengan langkah Kemendikbud yang sangat intens menguatkan keragaman lokal wisdom Indonesia melalui KKI. Karena keragaman tersebut didengungkan terus sebagai kekuatan untuk menjaga bangsa ini agar tetap utuh.
‘’Keutuhan itu mutlak. Termasuk keutuhan Bali sesungguhnya sedang dalam ancaman ,’’ papar mahasiswa S3 bidang agama dan budaya ini.
Ancaman itu, jelas dia, di antaranya akibat dari kemajuan pembangunan. Dampaknya, sifat materialistis dan kepasifan sosial makin meningkat. Tatanan hidup saling asah, asih, asuh, sebagai praktik penerapan bidang Pawongan dalam Tri Hita Karena, terdegradasi oleh perilaku mati iba hidup kai (mati kamu, hidup saya). Ancaman tak kalah parah pada praktik spiritual yang penuh nilai kehidupan Hindu, terkikis jadi profan, atau jauh dari nilai-nilai kesucian. Ancaman di luar diri juga tak enteng. Antara lain, tata ruang makin kacau karena tingkat pertumbuhan penduduk, hingga hunian dan bangunan fisik makin tak karuan. Padahal orang Bali punya kearifan lokal dengan menjaga keseimbangan akasa-pratiwi (langit dan tanah).
Menurut Ketut Suardana, tetua Bali dulu sangat cerdas mewariskan konsep tentang menjaga keberlangsungan Bali ke depan. Antara lain, dengan kearifan lokal. ‘’Sekarang tinggal kita, mau nggak mulat sarisa (introspeksi diri), kembali ke jati diri masing-masing. Uang bukan segala-galanya. Makanya, saya wajib mengerti dan menteladani kearifan lokal Bali, salah satunya melalui UWRF,'' ujar penghobi sepakbola ini.*lsa
Di balik kesibukannya dalam bisnis turistik di Ubud, laki-laki bertubuh tambun ini terbilang amat beruntung jika dikaitkan dengan upaya pemerintah menggerakkan kebudayan Nasional. Karena pria yang tinggal di Jalan Bisma, Ubud ini, satu-satnya orang Bali dari luar lembaga formal pemerintah dan kampus, yang hadir sebagai peserta Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018. Kongres digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini digelar di Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta , 7 - 9 Desember 2018.
Kemunculan namanya sebagai peserta kongres bergengsi tersebut tiada lain karena sepak terjangnya yang berkaitan erat dengan aktivitas kebudayaan khususnya dari desa budaya Ubud. Namanya sangat populer hingga ke kancah internasional karena ia dan istrinya, Janet De Neefe, asal Australia, merintis pelaksanaan Ubud Writer and Reader Festival (UWRF) sejak tahun 2004. UWRF, salah satu festival yang berorientasi pada literasi kebudayaan dunia, terutama bidang sastra
Melalui Yayasan Mudra Swari, Ubud, yang dikelolanya, Suardana intens menggerakkan festival ini. ’’UWRF ini, satu-satunya festival yang pelaksanaannya tak pernah putus. Tahun 2018, UWRF sudah yang ke-15,’’ ujarnya beberapa waktu lalu.
Sebagai orang yang cinta budaya Nusantara, ayah empat anak ini mengaku sangat tertegun dengan materi-materi KKI 2018. Di antaranya, banyak membahas tentang local wisdom (kearifan lokal) Nusantara. ‘’Saya amat tertarik dengan KKI ini, mungkin karena pesan-pesan kebudayaan dalam KKI ini banyak kesamaan dengan UWRF. Sama-sama menyuarakan dan menguatkan kearifan lokal Nusantara, termasuk Bali,’’ jelas pencinta masakan tradisional Bali ini.
Mengikuti KKI 20018, membuat Suardana mendapat pelajaran penting bidang kebudayaan Nasional, khususnya sub kearifan lokal. Beberapa hal yang menjadi ‘catatan rasa’ tentang kearifan lokal dimaksud, yakni sangat bersyukur hidup di Bali. Karena Bali punya nilai-nilai kearifan lokal yang amat pantas dan patut dirawat. Kearifan lokal dimaksud baik yang tersirat dalam ajaran agama Hindu, adat istiadat, kehidupan sosial, hingga tradisi bersastra Bali. ‘’Orang Bali misalnya memahami tan hana dharma mangrwa (kebenaran tetap satu). Dalam konteks Nasional, bahwa kebudayaan Nasional itu luas, plural, multi makna dan nilai. Namun keesaan semua itu adalah satu untuk kebangsaan Indonesia,’’ jelasnya.
Oleh karena itu, dirinya mengaku bangga dengan langkah Kemendikbud yang sangat intens menguatkan keragaman lokal wisdom Indonesia melalui KKI. Karena keragaman tersebut didengungkan terus sebagai kekuatan untuk menjaga bangsa ini agar tetap utuh.
‘’Keutuhan itu mutlak. Termasuk keutuhan Bali sesungguhnya sedang dalam ancaman ,’’ papar mahasiswa S3 bidang agama dan budaya ini.
Ancaman itu, jelas dia, di antaranya akibat dari kemajuan pembangunan. Dampaknya, sifat materialistis dan kepasifan sosial makin meningkat. Tatanan hidup saling asah, asih, asuh, sebagai praktik penerapan bidang Pawongan dalam Tri Hita Karena, terdegradasi oleh perilaku mati iba hidup kai (mati kamu, hidup saya). Ancaman tak kalah parah pada praktik spiritual yang penuh nilai kehidupan Hindu, terkikis jadi profan, atau jauh dari nilai-nilai kesucian. Ancaman di luar diri juga tak enteng. Antara lain, tata ruang makin kacau karena tingkat pertumbuhan penduduk, hingga hunian dan bangunan fisik makin tak karuan. Padahal orang Bali punya kearifan lokal dengan menjaga keseimbangan akasa-pratiwi (langit dan tanah).
Menurut Ketut Suardana, tetua Bali dulu sangat cerdas mewariskan konsep tentang menjaga keberlangsungan Bali ke depan. Antara lain, dengan kearifan lokal. ‘’Sekarang tinggal kita, mau nggak mulat sarisa (introspeksi diri), kembali ke jati diri masing-masing. Uang bukan segala-galanya. Makanya, saya wajib mengerti dan menteladani kearifan lokal Bali, salah satunya melalui UWRF,'' ujar penghobi sepakbola ini.*lsa
1
Komentar