Tak Perlu Berebutan Peluang!
Supaya ada payung hukum dan desa adatnya tidak susah, maka dibuatkanlah Perdes untuk memungut.
Desa Adat - Dinas Bidik Potensi Ekonomi
DENPASAR, NusaBali
Ekonomi menjadi salah satu hal penting dalam kehidupan, tak terkecuali untuk kehidupan bersama. Termasuk, desa adat di Bali sangat memerlukan sumber daya ekonomi untuk membiayai kegiatan adatnya. Bagaimana sistem pengelolaan sumber daya ekonomi itu agar bisa menjadi sumber pendapatan desa adat di Bali?
Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Jro Gede Putus Suwena Upadesha, mengatakan, ada beberapa sumber pendapatan desa adat selama ini, yakni pasar desa adat, pasar tradisional, Lembaga Perkreditan Desa (LPD). “Ditambah lagi desa-desa adat yang ada di kota sekarang ada badan usaha milik desa adat (Bumda). Termasuk pacingkreman (kegiatan nabung) di desa adat dan sekaa-sekaa,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, sumber-sumber pendapatan untuk pembiayaan operasional di desa adat selama ini, antara lain berasal dari iuran krama adat, hasil-hasil duwe desa, tanah desa, laba laba pura, dan usaha desa. Selain itu, sumber pendapatan juga didapat dari keuntungan LPD, bantuan dari pemerintah baik berupa hibah atau bantuan keuangan khusus, pihak ketiga yang tidak mengikat (punia), serta dari pihak lain yang secara sah memiliki payung hukumnya. “Ada enam sumber. Kalau dibebankan kepada krama adat kan berat juga bagi mereka. Belum lagi untuk biaya rumah tangganya,” katanya.
Disinggung mengenai ‘rebutan’ ranah potensi ekonomi antara desa dinas dan desa adat, Jro Suwena mengungkapkan sesungguhnya tidak ada istilah rebutan. Desa adat jalan dengan pengelolaannya di bidang ekonomi, begitu juga desa dinas. Namun alangkah baik bila dikelola secara bersama-sama. “Bisa dikelola secara bersama-sama. Tapi kalau dibilang rebutan pasar, siapa yang merebut? Pada umumnya desa adat tidak ada merebut. Justru sebaliknya. Sebagai contoh, kalau kita berbicara soal ekonomi di desa adat, kan banyak duwe-duwe desa adat yang dikelola oleh desa dinas. Seperti contohnya tanah-tanah yang ditempati oleh pemerintah. Pada umumnya itu duwe desa,” ungkapnya.
Ia menambahkan, seharusnya antara desa dinas dan desa adat bisa berjalan harmonis. Selama ini, pihak lainnya dinilai kurang paham tentang keberadaan desa adat yang diakui oleh negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur desa adat dan potensi ekonomi. Namun kadang-kadang hal tersebut disalahkan, dianggap tidak ada payung hukum dan tanpa subyek hukum. Padahal hal ini merupakan pandangan keliru. “Kalau memang hubungan desa adat dan desa dinas harmonis, misalnya, supaya ada payung hukum dan desa adatnya tidak susah, maka dibuatkanlah perdes untuk memungut. Sesudah itu ditugaskan ke desa adat. Misalnya seperti itu. Kadang-kadang pemahaman ini tidak diketahui oleh para pihak,” ujarnya.
Terkait potensi ekonomi yang bisa dikembangkan krama desa adat ada dua, yakni potensi kebutuhan krama adat sendiri, dan kebutuhan untuk dijual keluar. Kebutuhan krama adat sendiri misalnya potensi kebutuhan-kebutuhan upacara dan upakara yang selama ini menjadikan ekonomi Bali berputar. “Misalnya orang jual canang, bunga, buah, janur, kemudian jajan, hingga ayam, dan lain-lain. Itu kan ada potensi ekonomi di situ. Masyarakat bisa mengambil peluang itu untuk saling melengkapi kebutuhan krama Bali,” imbuhnya. Sementara kebutuhan untuk dijual keluar, misalnya kerajinan tangan dan aneka buah tangan lainnya. Hasil-hasil alam seperti pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan pun bisa dijual untuk kepentingan pariwisata. *ind
Komentar