Harus Sinergi Mengisi Konten Lokal
KPID Bali sangat mendorong konten Bali terpenuhi 10 persen dari siaran TV selama satu hari.
Lembaga Penyiaran dan Seniman
DENPASAR, NusaBali
Setiap media penyiaran di daerah wajib menyertakan konten lokal. Inilah yang menjadi pembahasan menarik dalam diskusi ‘Literasi Media, Memajukan Seni Budaya Melalui Dunia Penyiaran’ yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali di Rumah Budaya Penggak Men Mersi, Kesiman, Denpasar, Jumat (14/12) lalu.
Diskusi yang dimoderatori oleh IB Martinaya, menghadirkan tiga narasumber yakni jurnalis yang juga pengamat musik I Made Adnyana, Ketua KPID Bali Made Sunarsa, dan Ketua Pramusti Bali yang juga Wakil Ketua KPID Bali IGN ‘Rahman’ Murthana. Diskusi dihadiri oleh berbagai seniman, mulai dari musisi, arranger musik, video maker, seniman tradisi, ketua Listibiya Bali, hingga penikmat musik Bali.
Pengamat musik Bali, I Made Adnyana mengatakan, dalam 10 tahun terakhir, perkembangan musik di Bali begitu cepat perubahannya. Dalam satu minggu bahkan ada enam launching single. Dalam pengamatannya, dalam satu tahun ini setidaknya 250 rekaman yang dipublish, karena itu ia pun tidak setuju ketika industri musik Bali dianggap lesu.
“Kalau dilihat dari jumlah CD yang dirilis, mungkin iya (lesu). Tapi, kalau dilihat dari jumlah rekaman, tentu tidak bisa dikatakan lesu. Dalam 10 tahun terakhir, saya sebut ini ada peralihan. Musik tetap berjalan, namun trennya yang berubah (CD ke digital), dan kreativitas justru meningkat,” ujarnya.
Adnyana menambahkan, sebenarnya peluang di zaman sekarang sangat terbuka. Orang belum berpikir lagi untuk membuat album yang menelan biaya produksi cukup besar. Lewat kemudahan digital, membuat sebuah single lengkap dengan video klip cukup mudah dilakukan saat ini. Penyanyi bahkan tidak susah-susah lagi mempublish karya mereka di TV, karena ada media yang lebih murah yakni media sosial, YouTube, dan aplikasi musik.
Kaitannya dengan industri penyiaran, kata Adnyana, TV nasional yang siaran di Bali wajib punya konten lokal, sehingga seniman yang sedang semangatnya berkarya, merasa memiliki wadah. Namun kenyataanya, kata dia, ada stasiun tv yang menayangkan satu konten lokal yang terus diulang-ulang tanpa ada konten lokal lainnya.
“Jadi ada saya perhatikan satu siaran tv yang konten lokalnya itu-itu saja yang diputar, sampai bosan dengarnya. Padahal ada konten seniman, penyanyi, dan seni lainnya. Jadi, perlu sinergi anatar seniaman dan lembaga penyiaran. Tapi pertanyaannya, sudah siapkah seniman mengisi dengan konten yang bukan saja menghibur namu juga edukatif,” tanyanya.
Sementara itu, Ketua Pramusti Bali, Rahman Murthana mengatakan, penyiaran memang harus dikuatkan dengan konten lokal. Dalam mengisi konten lokal ini, seniman punya tanggung jawab sosial, dimana karya yang diharapkan bisa menghibur dan mendidik. “Kita harus siap mengisi ruang-ruang itu. Untuk konten lokal ini, sesungguhnya kembali pada kesadaran seniman masing-masing. Bagaimana menyajikan hiburan yang menarik yang sekaligus memberikan tuntunan,” katanya.
Sebagai wakil KPID Bali, Rahman mengatakan, penyiaran menjadi media yang efektif buat seniman. Ruang inilah yang mestinya dimanfaatkan oleh seniman untuk menujukkan kualitas seni dan budaya Bali. Sebab, media penyiaran adalah salah satu yang bisa dipercaya publik karena memiliki aturan-aturan yang jelas. “Ranah kami TV dan radio, karena media yang bisa dipercaya. Aturannya jelas. Kalau online kami tidak bisa masuk ke sana,” katanya.
Ditambahkan oleh Ketua KPID Bali, Made Sunarsa, KPI zaman now kini menempatkan punishman paling terakhir. Artinya, pembinaan dan penghargaan (reward) didahulukan. Jalan terakhirnya barulah punishman atau sanksi. “Kami harus jelaskan disini, bahwa kami tidak mengatur senimannya, tetapi mengatur lembaga penyiarannya. Lembaga penyiaran ini yang harus mengatakan tidak boleh pada senimannya apabila kontennya tidak pantas atau tidak sesuai,” jelasnya.
Ia sebenarnya sangat mendorong konten Bali terpenuhi 10 persen dari siaran selama satu hari tersebut. Namun, jika sudah diberikan ruang, jangan sampai diri sendiri yang tidak bisa memenuhi konten tersebut dengan konten yang mendidik. Misalnya menampilkan adegan kekerasan, muatan seks atau pornografi, atau bahkan konten yang mengandung minuman keras dan hal negatif lainnya. “Saya pikir soal konten kita tidak kalah. Tapi jangan sampai sudah diberikan peluang, jangan sampai malah kita sendiri yang menyajikan tontonan yang tidak berkenan,” tandasnya. *ind
DENPASAR, NusaBali
Setiap media penyiaran di daerah wajib menyertakan konten lokal. Inilah yang menjadi pembahasan menarik dalam diskusi ‘Literasi Media, Memajukan Seni Budaya Melalui Dunia Penyiaran’ yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali di Rumah Budaya Penggak Men Mersi, Kesiman, Denpasar, Jumat (14/12) lalu.
Diskusi yang dimoderatori oleh IB Martinaya, menghadirkan tiga narasumber yakni jurnalis yang juga pengamat musik I Made Adnyana, Ketua KPID Bali Made Sunarsa, dan Ketua Pramusti Bali yang juga Wakil Ketua KPID Bali IGN ‘Rahman’ Murthana. Diskusi dihadiri oleh berbagai seniman, mulai dari musisi, arranger musik, video maker, seniman tradisi, ketua Listibiya Bali, hingga penikmat musik Bali.
Pengamat musik Bali, I Made Adnyana mengatakan, dalam 10 tahun terakhir, perkembangan musik di Bali begitu cepat perubahannya. Dalam satu minggu bahkan ada enam launching single. Dalam pengamatannya, dalam satu tahun ini setidaknya 250 rekaman yang dipublish, karena itu ia pun tidak setuju ketika industri musik Bali dianggap lesu.
“Kalau dilihat dari jumlah CD yang dirilis, mungkin iya (lesu). Tapi, kalau dilihat dari jumlah rekaman, tentu tidak bisa dikatakan lesu. Dalam 10 tahun terakhir, saya sebut ini ada peralihan. Musik tetap berjalan, namun trennya yang berubah (CD ke digital), dan kreativitas justru meningkat,” ujarnya.
Adnyana menambahkan, sebenarnya peluang di zaman sekarang sangat terbuka. Orang belum berpikir lagi untuk membuat album yang menelan biaya produksi cukup besar. Lewat kemudahan digital, membuat sebuah single lengkap dengan video klip cukup mudah dilakukan saat ini. Penyanyi bahkan tidak susah-susah lagi mempublish karya mereka di TV, karena ada media yang lebih murah yakni media sosial, YouTube, dan aplikasi musik.
Kaitannya dengan industri penyiaran, kata Adnyana, TV nasional yang siaran di Bali wajib punya konten lokal, sehingga seniman yang sedang semangatnya berkarya, merasa memiliki wadah. Namun kenyataanya, kata dia, ada stasiun tv yang menayangkan satu konten lokal yang terus diulang-ulang tanpa ada konten lokal lainnya.
“Jadi ada saya perhatikan satu siaran tv yang konten lokalnya itu-itu saja yang diputar, sampai bosan dengarnya. Padahal ada konten seniman, penyanyi, dan seni lainnya. Jadi, perlu sinergi anatar seniaman dan lembaga penyiaran. Tapi pertanyaannya, sudah siapkah seniman mengisi dengan konten yang bukan saja menghibur namu juga edukatif,” tanyanya.
Sementara itu, Ketua Pramusti Bali, Rahman Murthana mengatakan, penyiaran memang harus dikuatkan dengan konten lokal. Dalam mengisi konten lokal ini, seniman punya tanggung jawab sosial, dimana karya yang diharapkan bisa menghibur dan mendidik. “Kita harus siap mengisi ruang-ruang itu. Untuk konten lokal ini, sesungguhnya kembali pada kesadaran seniman masing-masing. Bagaimana menyajikan hiburan yang menarik yang sekaligus memberikan tuntunan,” katanya.
Sebagai wakil KPID Bali, Rahman mengatakan, penyiaran menjadi media yang efektif buat seniman. Ruang inilah yang mestinya dimanfaatkan oleh seniman untuk menujukkan kualitas seni dan budaya Bali. Sebab, media penyiaran adalah salah satu yang bisa dipercaya publik karena memiliki aturan-aturan yang jelas. “Ranah kami TV dan radio, karena media yang bisa dipercaya. Aturannya jelas. Kalau online kami tidak bisa masuk ke sana,” katanya.
Ditambahkan oleh Ketua KPID Bali, Made Sunarsa, KPI zaman now kini menempatkan punishman paling terakhir. Artinya, pembinaan dan penghargaan (reward) didahulukan. Jalan terakhirnya barulah punishman atau sanksi. “Kami harus jelaskan disini, bahwa kami tidak mengatur senimannya, tetapi mengatur lembaga penyiarannya. Lembaga penyiaran ini yang harus mengatakan tidak boleh pada senimannya apabila kontennya tidak pantas atau tidak sesuai,” jelasnya.
Ia sebenarnya sangat mendorong konten Bali terpenuhi 10 persen dari siaran selama satu hari tersebut. Namun, jika sudah diberikan ruang, jangan sampai diri sendiri yang tidak bisa memenuhi konten tersebut dengan konten yang mendidik. Misalnya menampilkan adegan kekerasan, muatan seks atau pornografi, atau bahkan konten yang mengandung minuman keras dan hal negatif lainnya. “Saya pikir soal konten kita tidak kalah. Tapi jangan sampai sudah diberikan peluang, jangan sampai malah kita sendiri yang menyajikan tontonan yang tidak berkenan,” tandasnya. *ind
1
Komentar