Selera Pasar Bergeser, Eksportir Bali Cari Celah
Pertumbuhan ekonomi Bali yang diprediksi di kisaran 6 persen tahun 2019 mendatang, tidak serta merta membuat para pebisnis di Bali optimistis.
Ekspor Handicraft Lesu
DENPASAR, NusaBali
Pebisnis produk handicraft misalnya, mereka belum berani membuat kalkulasi tentang prospek ekspor handicraft. Salah satu alasannya, trend pergeseran selera masyarakat, termasuk masyarakat di negara-negara Amerika, Eropa dan negara lain yang selama ini menjadi pasar handicraft Bali.
“Sekarang kan kecenderungan mereka umumnya lebih suka ‘membeli’ eksperience (pengalaman traveling ),” ujar Ketua Asosiasi Pelaku Usaha Handicraft Indonesia (Asephi) Bali Ketut Darma Putra Siadja, Minggu (16/12).
Hal tersebut, kata Darma Siadja salah satunya faktor era milenial, era digital yang merangsang orang untuk lebih suka menikmati eksperience, dibanding hal lain.” Daya beli sesungguhnya masih ada, namun selera mereka mengalami pergeseran,” ujarnya.
Termasuk kemungkinan pergeseran selera terhadap produk handicraft. Karena itulah, Darma Siadja tak berani membuat prediksi tentang prospek pasar atau ekspor produk kerajinan Bali tahun depan. “Mudah-mudahan bisa meningkat, atau minimal bertahan,” jelasnya. Pergeseran selera tersebut bisa dilihat dari kecenderungan melesunya ekspor produk handicraft. Kondisi berbeda bila dibandingkan pasar pada tahun 2000-an ke bawah yang masih ramai.
Meski demikian pelaku bisnis kerajinan, kata Dharma Siadja tentu berusaha mempelajari dan mencari celah sehingga produk handicraft Bali tetap merangsang pasar untuk diekspor.
Ketua Kadin Bali Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra, membenarkan adanya pergeseran selera konsumen dari awalnya sebagai ‘kolektor’ menjadi konsumen jalan-jalan atau pengalaman traveling. Namun demikian, bukan berarti sama sekali tak ada peluang untuk handicraft. “Pasar handicraft masih ada,” ujarnya.
Hanya saja pelaku bisnis handicraft tentu mesti lihai mencari celah. Celah tersebut adalah, kecenderungan konsumen khususnya di barat yang lebih menyukai produk handicraft yang memiliki nilai utility atau fungsi sampingan, selain fungsi dekoratif atau pajangan.
“Misalnya kotak pulpen dari kayu, kerajinan produk lain yang punya sampingan lainnya,” jelasnya,”kata Alit Wiraputra. Intinya, lebih mendekati ke produk kreatif.
Menurutnya celah- celah tersebutlah masih terbuka. Selain tentu masih ada pasar yang memang suka pada produk kerajinan tradisional. Pihaknya yakin para pelaku industri handicraft Bali sedang berupaya menemukan peluang itu. “ Karena bisnis kan harus jalan terus,” jelasnya. *K17
DENPASAR, NusaBali
Pebisnis produk handicraft misalnya, mereka belum berani membuat kalkulasi tentang prospek ekspor handicraft. Salah satu alasannya, trend pergeseran selera masyarakat, termasuk masyarakat di negara-negara Amerika, Eropa dan negara lain yang selama ini menjadi pasar handicraft Bali.
“Sekarang kan kecenderungan mereka umumnya lebih suka ‘membeli’ eksperience (pengalaman traveling ),” ujar Ketua Asosiasi Pelaku Usaha Handicraft Indonesia (Asephi) Bali Ketut Darma Putra Siadja, Minggu (16/12).
Hal tersebut, kata Darma Siadja salah satunya faktor era milenial, era digital yang merangsang orang untuk lebih suka menikmati eksperience, dibanding hal lain.” Daya beli sesungguhnya masih ada, namun selera mereka mengalami pergeseran,” ujarnya.
Termasuk kemungkinan pergeseran selera terhadap produk handicraft. Karena itulah, Darma Siadja tak berani membuat prediksi tentang prospek pasar atau ekspor produk kerajinan Bali tahun depan. “Mudah-mudahan bisa meningkat, atau minimal bertahan,” jelasnya. Pergeseran selera tersebut bisa dilihat dari kecenderungan melesunya ekspor produk handicraft. Kondisi berbeda bila dibandingkan pasar pada tahun 2000-an ke bawah yang masih ramai.
Meski demikian pelaku bisnis kerajinan, kata Dharma Siadja tentu berusaha mempelajari dan mencari celah sehingga produk handicraft Bali tetap merangsang pasar untuk diekspor.
Ketua Kadin Bali Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra, membenarkan adanya pergeseran selera konsumen dari awalnya sebagai ‘kolektor’ menjadi konsumen jalan-jalan atau pengalaman traveling. Namun demikian, bukan berarti sama sekali tak ada peluang untuk handicraft. “Pasar handicraft masih ada,” ujarnya.
Hanya saja pelaku bisnis handicraft tentu mesti lihai mencari celah. Celah tersebut adalah, kecenderungan konsumen khususnya di barat yang lebih menyukai produk handicraft yang memiliki nilai utility atau fungsi sampingan, selain fungsi dekoratif atau pajangan.
“Misalnya kotak pulpen dari kayu, kerajinan produk lain yang punya sampingan lainnya,” jelasnya,”kata Alit Wiraputra. Intinya, lebih mendekati ke produk kreatif.
Menurutnya celah- celah tersebutlah masih terbuka. Selain tentu masih ada pasar yang memang suka pada produk kerajinan tradisional. Pihaknya yakin para pelaku industri handicraft Bali sedang berupaya menemukan peluang itu. “ Karena bisnis kan harus jalan terus,” jelasnya. *K17
Komentar