Sejumlah Guru Besar Ilmu Hukum Bahas soal LPD
Guru besar ilmu hukum dari beberapa universitas di Indonesia menjadi pembicara dalam seminar nasional bertajuk ‘Peranan LPD sebagai Lembaga Keungan Komunal dalam Meningkatkan Perekonomian Masyarakat Desa Adat Bali.
DENPASAR, NusaBali
Seminar yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa bekerjasama dengan LPD Desa Adat Kedonganan ini digelar di Gedung Widya Sabha Utama Universitas Warmadewa Denpasar, Selasa (18/12).
Para guru besar ilmu hukum yang menjadi pembicara, tersebut yakni, I Nyoman Nurjaya (Universitas Brawijaya), I Gede Arya Bagus Wiranata (Universitas Lampung) Zaenal Arifin Husein (Universitas Muhammadyah Jakarta), Johannes Ibrahim Kosasih (Universitas Warmadewa), dan I Made Suwitra (Universitas Warmadewa).
Selain itu, turut tampil sebagai pembicara sejumlah praktisi, yakni Gde Made Sadguna (Ketua Dewan LPD Bali), I Ketut Madra (Ketua LPD Kedonganan), I Ketut Sumarta (konsultan adat dan budaya Bali), serta Jro Gede Putu Suwena Putus Upadesa (Ketua Majelis Utama Desa Pakraman Bali). Sebagai pembicara kunci (keynote speaker) adalah Hakim Mahkamah Konstitusi, Dewa Gede Palguna.
“LPD sudah jelas berdasarkan hukum adat. Dalam UUD 1945 ditegaskan Negara mengakui dan mengayomi kesatuan-kesatuan hukum adat yang sudah ada sebelum Negara ini ada,” kata I Nyoman Nurjaya.
Menurut Nurjaya, Pemerintah Provinsi Bali mesti berterima kasih dan bangga kepada LPD. Pasalnya, lembaga keuangan berbasis komunitas adat ini hingga kini eksis dan memberi kontribusi besar pada pertumbuhan perekonomian Bali yang berarti juga mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
“Sungguh ide cerdas Gubernur Mantra yang menempatkan LPD di desa adat, bukan di desa dinas. Dengan diletakkan di bawah desa adat atau desa pakraman, LPD menganut prinsip semi-autonomous social field. LPD diatur berdasarkan hukum adat, tetapi juga mengadopsi hukum negara,” tandas Nurjaya.
Pandangan senada juga disampaikan Zaenal Arifin Husein. Zaenal memandang LPD sebagai upaya memberikan akses keuangan dan perekonomian bagi masyarakat adat. Dikatakan, setiap kelompok masyarakat di Indonesia memiliki legal standing. Masyarakat adat berhak menata kehidupannya berdasarkan keyakinannya. Dengan karakteristiknya yang hanya melayani komunitas, LPD termasuk kategori lembaga forum internum.
“Boleh dibuatkan perda, sepanjang tidak mengatur substansi adatnya. Yang boleh diatur oleh perda adalah tata kelolanya, bukan substansinya,” beber Zaenal Arifin.
Dia membandingkan dengan masalah zakat di kalangan umat Islam Indonesia. Negara mengatur tata kelola zakat melalui UU Pengelolaan Zakat. “Yang diatur negara hanyalah pengelolaannya. Kalau zakatnya tetap berdasarkan agama Islam, tidak boleh diintervensi negara,” tegasnya.
I Gede Arya Bagus Wiranata juga berpandangan serupa. Kedudukan hukum LPD tidak hanya sudah jelas, tetapi juga menjadi berkah bagi LPD, terutama setelah keluarnya UU No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang mengecualikan LPD. “Ini patut disyukuri oleh masyarakat Bali karena keberadaan LPD tidak hanya diakui, tetapi juga tidak diwajibkan tunduk kepada UU LKM karena diatur dengan hukum adat,” tandas Wiranata.
Sementara Johannes Ibrahim Kosasih yang ahli hukum perbankan tetap mengingatkan LPD yang dalam faktanya menjalankan praktik-praktik perbankan. Praktik perbankan hanya bisa dilakukan oleh lembaga yang berbadan hukum. Kalau LPD tidak berbadan hukum, kata dia, maka mesti kembali ke fungsi asalnya sebagai lembaga keuangan khusus yang hanya melayani komunitasnya.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Dewa Gede Palguna yang tampil sebagai pembicara kunci (keynote speaker) menegaskan LPD sudah mendapat pengakuan tunduk kepada hukum adat. Negara, kata dia, hanya mengakui hukum adat, tidak boleh mencampuri. Perda boleh mengatur, tetapi lebih bersifat rekomendasi tentang pengakuan terhadap LPD. “Karena LPD bukan lahir dari produk hukum positif,” tegas Dewa Palguna.
Namun, Dewa Palguna mengingatkan persoalan tidak samanya aturan pada masing-masing desa adat. Hal ini, kata dia, perlu dibuatkan pararem yang kemudian dikukuhkan dalam perda. “Dalam pengelolaan LPD harus ada kesamaan pandangan,” tegasnya. *isu
Seminar yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa bekerjasama dengan LPD Desa Adat Kedonganan ini digelar di Gedung Widya Sabha Utama Universitas Warmadewa Denpasar, Selasa (18/12).
Para guru besar ilmu hukum yang menjadi pembicara, tersebut yakni, I Nyoman Nurjaya (Universitas Brawijaya), I Gede Arya Bagus Wiranata (Universitas Lampung) Zaenal Arifin Husein (Universitas Muhammadyah Jakarta), Johannes Ibrahim Kosasih (Universitas Warmadewa), dan I Made Suwitra (Universitas Warmadewa).
Selain itu, turut tampil sebagai pembicara sejumlah praktisi, yakni Gde Made Sadguna (Ketua Dewan LPD Bali), I Ketut Madra (Ketua LPD Kedonganan), I Ketut Sumarta (konsultan adat dan budaya Bali), serta Jro Gede Putu Suwena Putus Upadesa (Ketua Majelis Utama Desa Pakraman Bali). Sebagai pembicara kunci (keynote speaker) adalah Hakim Mahkamah Konstitusi, Dewa Gede Palguna.
“LPD sudah jelas berdasarkan hukum adat. Dalam UUD 1945 ditegaskan Negara mengakui dan mengayomi kesatuan-kesatuan hukum adat yang sudah ada sebelum Negara ini ada,” kata I Nyoman Nurjaya.
Menurut Nurjaya, Pemerintah Provinsi Bali mesti berterima kasih dan bangga kepada LPD. Pasalnya, lembaga keuangan berbasis komunitas adat ini hingga kini eksis dan memberi kontribusi besar pada pertumbuhan perekonomian Bali yang berarti juga mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
“Sungguh ide cerdas Gubernur Mantra yang menempatkan LPD di desa adat, bukan di desa dinas. Dengan diletakkan di bawah desa adat atau desa pakraman, LPD menganut prinsip semi-autonomous social field. LPD diatur berdasarkan hukum adat, tetapi juga mengadopsi hukum negara,” tandas Nurjaya.
Pandangan senada juga disampaikan Zaenal Arifin Husein. Zaenal memandang LPD sebagai upaya memberikan akses keuangan dan perekonomian bagi masyarakat adat. Dikatakan, setiap kelompok masyarakat di Indonesia memiliki legal standing. Masyarakat adat berhak menata kehidupannya berdasarkan keyakinannya. Dengan karakteristiknya yang hanya melayani komunitas, LPD termasuk kategori lembaga forum internum.
“Boleh dibuatkan perda, sepanjang tidak mengatur substansi adatnya. Yang boleh diatur oleh perda adalah tata kelolanya, bukan substansinya,” beber Zaenal Arifin.
Dia membandingkan dengan masalah zakat di kalangan umat Islam Indonesia. Negara mengatur tata kelola zakat melalui UU Pengelolaan Zakat. “Yang diatur negara hanyalah pengelolaannya. Kalau zakatnya tetap berdasarkan agama Islam, tidak boleh diintervensi negara,” tegasnya.
I Gede Arya Bagus Wiranata juga berpandangan serupa. Kedudukan hukum LPD tidak hanya sudah jelas, tetapi juga menjadi berkah bagi LPD, terutama setelah keluarnya UU No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang mengecualikan LPD. “Ini patut disyukuri oleh masyarakat Bali karena keberadaan LPD tidak hanya diakui, tetapi juga tidak diwajibkan tunduk kepada UU LKM karena diatur dengan hukum adat,” tandas Wiranata.
Sementara Johannes Ibrahim Kosasih yang ahli hukum perbankan tetap mengingatkan LPD yang dalam faktanya menjalankan praktik-praktik perbankan. Praktik perbankan hanya bisa dilakukan oleh lembaga yang berbadan hukum. Kalau LPD tidak berbadan hukum, kata dia, maka mesti kembali ke fungsi asalnya sebagai lembaga keuangan khusus yang hanya melayani komunitasnya.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Dewa Gede Palguna yang tampil sebagai pembicara kunci (keynote speaker) menegaskan LPD sudah mendapat pengakuan tunduk kepada hukum adat. Negara, kata dia, hanya mengakui hukum adat, tidak boleh mencampuri. Perda boleh mengatur, tetapi lebih bersifat rekomendasi tentang pengakuan terhadap LPD. “Karena LPD bukan lahir dari produk hukum positif,” tegas Dewa Palguna.
Namun, Dewa Palguna mengingatkan persoalan tidak samanya aturan pada masing-masing desa adat. Hal ini, kata dia, perlu dibuatkan pararem yang kemudian dikukuhkan dalam perda. “Dalam pengelolaan LPD harus ada kesamaan pandangan,” tegasnya. *isu
Komentar