Petani Munduk Pilih 'Lupakan' Kopi
Jika dulu Desa Munduk, Kecamatan Banyuatis, Buleleng, banyak membudidayakan kopi, maka belakangan ini sebagian besar petani memilih cengkih sebagai komoditas unggulan.
Harga Cengkih Lima Kali Lipat Kopi
SINGARAJA, NusaBali
“Karena harga cengkih lima kali lipat harga kopi. Jadi perbandingannya di sini 70 persen petani cengkih, sisanya kopi,” ujar I Nyoman Sutarya, petani yang juga salah seorang tokoh pariwisata Desa Munduk, Rabu (19/12).
Harga cengkih yang lebih menjanjikan tingkat kesejahteraan itulah, maka kopi agak dikesampingkan petani Munduk. Sutarya yang akrab disapa Mangkok, mengatakan untuk 2 ton kopi dan 2 ton cengkih, hasilnya memang timpang jauh.
“Dengan harga saat ini 2 ton cengkeh menghasilkan sekitar Rp 20 juta. Sementara dengan berat yang sama, cengkih menghasilan Rp 200 juta. Karena ada gap penghasilan itulah petani ogah budidaya kopi, " ujar Sutarya. Malah harga cengkih pernah sampai Rp 200 ribu per kilogram, sebelum harga sekarang rata-rata Rp 100 ribu per kilogram.
Padahal untuk menjaga kesuburan tanah, budidaya kopi lebih kondusif dibanding cengkeh. Tanaman atau pohon cengkih umumnya menyebabkan kondisi tanah di bawah justru mengering. Diperkirakan karena gas dan zat minyak dari sampah daun dan ranting cengkih.
Sebaliknya dengan kopi. Tanah di bawah pohon kopi, lebih berhumus, lebih sejuk dan lebih subur. Apalagi ada tanaman penyela sebagai pelindung tanaman kopi. "Tekstur tanah lebih gembur, " ujar Sutarya.
Hanya saja perbandingan keunggulan lain dari kopi, tak serta merta petani beralih ke kopi.Keunggulan pendapatan dari penjualan cengkih dibanding kopi, menyebabkan petani di Munduk tak banyak tertarik dengan kopi.
Sutarya berharap petani semakin banyak budidaya kopi. Harapannya, bukan semata faktor tekstur tanah, namun berupaya agar di Munduk dan sekitarnya tak monokultur, sehingga terkesan menoton. Namun beragam variasi tanaman produktif, sehingga Munduk yang juga merupakan desa wisata semakin memiliki daya tarik.
Apalagi cikal bakal Munduk dikenal orang luar, adalah karena berkat tanaman kopi, yang diperkenalkan Belanda tahun 1870, yakni kopi Arabica. Kopi sempat berjaya di Munduk hingga tahun 1970-an. Setelah itu harga kopi terus merosot, karena kelebihan produksi kopi dunia dari Amerika Latin. Salah satunya tanaman cengkeh yang kemudian menyela, dan menjadi vegatasi dominan di Munduk hingga saat ini. “Cengkih memang dominan menjadi sumber perekonomian warga Munduk,” kata Sutarya. Namun kedai-kedai kopi untuk kepentingan wisatawan juga kembali bermunculan, melengkapi Munduk sebagai desa wisata. “Semoga perkembangannya makin bagus ke depan,” harap Sutarya *k17
SINGARAJA, NusaBali
“Karena harga cengkih lima kali lipat harga kopi. Jadi perbandingannya di sini 70 persen petani cengkih, sisanya kopi,” ujar I Nyoman Sutarya, petani yang juga salah seorang tokoh pariwisata Desa Munduk, Rabu (19/12).
Harga cengkih yang lebih menjanjikan tingkat kesejahteraan itulah, maka kopi agak dikesampingkan petani Munduk. Sutarya yang akrab disapa Mangkok, mengatakan untuk 2 ton kopi dan 2 ton cengkih, hasilnya memang timpang jauh.
“Dengan harga saat ini 2 ton cengkeh menghasilkan sekitar Rp 20 juta. Sementara dengan berat yang sama, cengkih menghasilan Rp 200 juta. Karena ada gap penghasilan itulah petani ogah budidaya kopi, " ujar Sutarya. Malah harga cengkih pernah sampai Rp 200 ribu per kilogram, sebelum harga sekarang rata-rata Rp 100 ribu per kilogram.
Padahal untuk menjaga kesuburan tanah, budidaya kopi lebih kondusif dibanding cengkeh. Tanaman atau pohon cengkih umumnya menyebabkan kondisi tanah di bawah justru mengering. Diperkirakan karena gas dan zat minyak dari sampah daun dan ranting cengkih.
Sebaliknya dengan kopi. Tanah di bawah pohon kopi, lebih berhumus, lebih sejuk dan lebih subur. Apalagi ada tanaman penyela sebagai pelindung tanaman kopi. "Tekstur tanah lebih gembur, " ujar Sutarya.
Hanya saja perbandingan keunggulan lain dari kopi, tak serta merta petani beralih ke kopi.Keunggulan pendapatan dari penjualan cengkih dibanding kopi, menyebabkan petani di Munduk tak banyak tertarik dengan kopi.
Sutarya berharap petani semakin banyak budidaya kopi. Harapannya, bukan semata faktor tekstur tanah, namun berupaya agar di Munduk dan sekitarnya tak monokultur, sehingga terkesan menoton. Namun beragam variasi tanaman produktif, sehingga Munduk yang juga merupakan desa wisata semakin memiliki daya tarik.
Apalagi cikal bakal Munduk dikenal orang luar, adalah karena berkat tanaman kopi, yang diperkenalkan Belanda tahun 1870, yakni kopi Arabica. Kopi sempat berjaya di Munduk hingga tahun 1970-an. Setelah itu harga kopi terus merosot, karena kelebihan produksi kopi dunia dari Amerika Latin. Salah satunya tanaman cengkeh yang kemudian menyela, dan menjadi vegatasi dominan di Munduk hingga saat ini. “Cengkih memang dominan menjadi sumber perekonomian warga Munduk,” kata Sutarya. Namun kedai-kedai kopi untuk kepentingan wisatawan juga kembali bermunculan, melengkapi Munduk sebagai desa wisata. “Semoga perkembangannya makin bagus ke depan,” harap Sutarya *k17
1
Komentar