Teror Air Keras Novel Terencana dan Sistematis
Komnas HAM meminta Presiden agar Kapolri bentuk TGPF
JAKARTA, NusaBali
Komnas HAM mengatakan teror air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dilakukan secara terencana dan sistematis. Ada pihak yang diduga sebagai perencana, pengintai hingga pelaku.
"Novel Baswedan mengalami tindakan kekerasan pada tanggal 11 April 2017 diduga merupakan tindakan yang direncanakan dan sistematis yang melibatkan beberapa pihak yang masih belum terungkap. Tindakan tersebut diduga melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai perencana, pengintai, dan pelaku kekerasan," kata Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (21/12).
Sandrayati mengatakan tim dari Komnas HAM telah menemukan bukti permulaan yang cukup atas pelanggaran sejumlah hak dalam kasus Novel. Hak yang dilanggar antara lain adalah hak atas rasa aman, hak diperlakukan sama di muka hukum hingga hak atas perlindungan HAM.
"Dalam peristiwa kekerasan yang dialami Novel Baswedan terdapat bukti permulaan cukup, diduga terjadi pelanggaran hak atas rasa aman, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum dan hak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar tanpa diskriminasi sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan undang-undang," ucapnya.
Dia menyebut Komnas HAM lewat Tim Pemantauan Proses Hukum kasus Novel Baswedan telah menyerahkan laporan akhir tim kepada Polri dan KPK. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh tim, Komnas HAM menyatakan kerja tim Polda Metro Jaya dalam mengungkap kasus ini terlalu lama hingga setelah lebih dari setahun belum ada juga pelaku yang ditangkap.
"Sampai saat ini, kejahatan yang dialami belum terungkap, belum ada satupun pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka. Komnas HAM menyimpulkan bahwa Tim Polda bekerja terlalu lama. Lamanya proses pengungkapan diduga akibat dari kompleksitas permasalahan. Namun timbul pertanyaan apakah telah terjadi abuse of process," ujar Sandrayati.
Dalam laporan itu, tim dari Komnas HAM juga menyertakan semua catatan keterangan yang diperoleh dari berbagai saksi. Termasuk soal jenderal yang pernah disebut oleh Novel. Selanjutnya Komnas HAM merekomendasikan kasus ini kepada semua pihak terkait.
"Komnas HAM menyampaikan rekomendasi sebagai berikut. Kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia membentuk Tim Gabungan untuk mengungkap fakta peristiwa dan pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang terjadi pada tanggal 11 April 2017 yang terdiri dari Polri, KPK, tokoh masyarakat, pakar dan pihak lain yang dibutuhkan. Memastikan tim gabungan tersebut dibentuk sesegera mungkin, bekerja cepat, efektif sesuai prosedur yang berlaku," kata Sandrayati.
Komnas HAM juga meminta Presiden RI memastikan terbentuknya tim gabungan pencari fakta (TGPF) oleh Kapolri, mendukung dan mengawasi pelaksanaannya. Namun Ombudsman Republik Indonesia tak setuju wacana pembentukan TGPF dalam kasus ini. Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala mengatakan tak ada aturan soal pembentukan TGPF sehingga dalam kasus Novel Baswedan, Polri lebih didorong untuk mengusut tuntas.
"Kami ini kan pengawas publik, yang tentu saja memakai pendekatan aturan, ada enggak aturan TPGF? Kalau tidak ada aturannya, bagaimana kami setuju dengan alasan itu. Kami mendorong ke pihak berwenang yaitu kepolisian," ujarnya di Ombudsman, Jakarta Selatan, Jumat (21/12) seperti dilansir cnnindonesia.
Adrianus mengatakan pihaknya meminta Polda Metro Jaya memaparkan penjelasan soal temuan maladministrasi minor oleh Ombudsman. Hal itu, kata dia, dapat membuat penyidikan kasus tersebut lebih terang daripada sebelumnya. *
Komnas HAM mengatakan teror air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dilakukan secara terencana dan sistematis. Ada pihak yang diduga sebagai perencana, pengintai hingga pelaku.
"Novel Baswedan mengalami tindakan kekerasan pada tanggal 11 April 2017 diduga merupakan tindakan yang direncanakan dan sistematis yang melibatkan beberapa pihak yang masih belum terungkap. Tindakan tersebut diduga melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai perencana, pengintai, dan pelaku kekerasan," kata Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (21/12).
Sandrayati mengatakan tim dari Komnas HAM telah menemukan bukti permulaan yang cukup atas pelanggaran sejumlah hak dalam kasus Novel. Hak yang dilanggar antara lain adalah hak atas rasa aman, hak diperlakukan sama di muka hukum hingga hak atas perlindungan HAM.
"Dalam peristiwa kekerasan yang dialami Novel Baswedan terdapat bukti permulaan cukup, diduga terjadi pelanggaran hak atas rasa aman, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum dan hak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar tanpa diskriminasi sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan undang-undang," ucapnya.
Dia menyebut Komnas HAM lewat Tim Pemantauan Proses Hukum kasus Novel Baswedan telah menyerahkan laporan akhir tim kepada Polri dan KPK. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh tim, Komnas HAM menyatakan kerja tim Polda Metro Jaya dalam mengungkap kasus ini terlalu lama hingga setelah lebih dari setahun belum ada juga pelaku yang ditangkap.
"Sampai saat ini, kejahatan yang dialami belum terungkap, belum ada satupun pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka. Komnas HAM menyimpulkan bahwa Tim Polda bekerja terlalu lama. Lamanya proses pengungkapan diduga akibat dari kompleksitas permasalahan. Namun timbul pertanyaan apakah telah terjadi abuse of process," ujar Sandrayati.
Dalam laporan itu, tim dari Komnas HAM juga menyertakan semua catatan keterangan yang diperoleh dari berbagai saksi. Termasuk soal jenderal yang pernah disebut oleh Novel. Selanjutnya Komnas HAM merekomendasikan kasus ini kepada semua pihak terkait.
"Komnas HAM menyampaikan rekomendasi sebagai berikut. Kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia membentuk Tim Gabungan untuk mengungkap fakta peristiwa dan pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang terjadi pada tanggal 11 April 2017 yang terdiri dari Polri, KPK, tokoh masyarakat, pakar dan pihak lain yang dibutuhkan. Memastikan tim gabungan tersebut dibentuk sesegera mungkin, bekerja cepat, efektif sesuai prosedur yang berlaku," kata Sandrayati.
Komnas HAM juga meminta Presiden RI memastikan terbentuknya tim gabungan pencari fakta (TGPF) oleh Kapolri, mendukung dan mengawasi pelaksanaannya. Namun Ombudsman Republik Indonesia tak setuju wacana pembentukan TGPF dalam kasus ini. Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala mengatakan tak ada aturan soal pembentukan TGPF sehingga dalam kasus Novel Baswedan, Polri lebih didorong untuk mengusut tuntas.
"Kami ini kan pengawas publik, yang tentu saja memakai pendekatan aturan, ada enggak aturan TPGF? Kalau tidak ada aturannya, bagaimana kami setuju dengan alasan itu. Kami mendorong ke pihak berwenang yaitu kepolisian," ujarnya di Ombudsman, Jakarta Selatan, Jumat (21/12) seperti dilansir cnnindonesia.
Adrianus mengatakan pihaknya meminta Polda Metro Jaya memaparkan penjelasan soal temuan maladministrasi minor oleh Ombudsman. Hal itu, kata dia, dapat membuat penyidikan kasus tersebut lebih terang daripada sebelumnya. *
Komentar