Mempertahankan Tradisi, Memposisikan Situasi
MELAKSANAKAN ajaran Hindu berdasarkan atas sastra adalah kebenaran. Mempertimbangkan situasi merupakan suatu kebaikan. Sepintas kata ‘benar’ dan ‘baik’ bermakna dekat.
Tetapi, bila ditelaah secara kritis kedua kata tersebut memiliki konteks berbeda. Analog dengan sebuah tutur: “Mau ke mana sekarang?” secara gramatika benar. Tetapi, dalam situasi tertentu bentuk tutur itu bermakna: “Bukan urusanmu ke mana aku pergi!”, ada campur tangan terlalu jauh. Demikian pula dalam melaksanakan acara agama harus menimbang antara kebenaran dan kebaikan.
Kebenaran lebih memperhatikan tattwa, baik aspek filsafat maupun teologinya. Sebaliknya, kebaikan mempertimbangkan susila, baik aspek situasi maupun realitanya. Meraih kebenaran berdasar atas sastra serupa dengan menafikan perubahan. Pemuka agama lebih menekankan ketaatan pada kebenaran ketimbang kebaikan? Menurut Friedrich Nietzsche (1878), filsuf Jerman seratus tahun sebelum istilah multikulturalisme muncul, bahwa ‘…living people as the active negotiators of culture and cultural difference’. Artinya, kebenaran itu lentur, tergantung pada pemeluk keyakinan yang bersangkutan. Jadi, krama Bali merupakan negosiator ulung kebudayaannya termasuk agama dari sejak dulu sampai saat ini.
Sebuah contoh terpampang jelas, seperti kremasi bersandar pada tradisi. Saat ini kremasi dilakukan di krematorium, yaitu, kremasi situasional yang bertumpu pada esensi. Kedua berjalan tanpa ada konflik. Keduanya mengandung kebenaran dan kebaikan. Kremasi bersandar tradisi bersumber pada sastra. Sedangkan, kremasi situasional dilaksanakan dengan prinsip keadilan sosial. Seharusnya, keduanya tidak dipertentangkan. Seperti pandangan Friedrich Nietzsche di atas, krama Bali adalah pelaku kebudayaan dan agamanya. Tidaklah bijaksana bersikap deterministik, yaitu, mengharuskan dan mewajibkan pelaku begini dan begitu. Berilah kemerdekaan kepada pelaku untuk mewarnai kebudayaan dan meyakini agamanya. Inilah contoh multikulturalisme dalam berbudaya dan beragama.
Masih banyak contoh kehidupan berbudaya dan beragama di Bali yang sejalan dengan multikulturalisme. Pada zaman revolusi industri 4.0, semakin sedikit jumlah orang yang terikat tradisi secara ketat. Sebaliknya, semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman orang berinteraksi dengan kebudayaan dan agama lain di dunia. Intensi polifoni juga mendorong orang untuk berpindah tempat, profesi atau pekerjaan. Fenomena global ini berefek pada ketidak-terikatan seseorang pada satu tradisi, kebudayaan, gaya hidup ataupun moralitas. Dewasa ini perbedaan tersebut merupakan pelangi warna warni yang saling berdampingan serasi, selaras, dan seimbang.
Era saat ini harus dimaknai lebih bijak, bukan dipolemikkan atau dikonflikkan. Keragaman merupakan kekayaan budaya dan religi. Keragaman tersebut seharusnya dipahami sebagai ‘..a positive way as folk cultures and beyond the culture of comparison’, saran Friedrich Nietzsche yang dikutip oleh Gerd Baumann (1999). Dengan pemahaman positif terhadap keragaman budaya maupun religi, maka kehidupan yang ‘paras paros sarpanaya, salulung sabayantaka’ dan ‘gemah ripah loh jinawi, asing tinandur mupu, asing tinuku murah’ terwujud dengan baik dan benar.
Dewasa ini, Bali bukan hanya milik krama Bali. Bali sudah disesaki dengan berbagai etnik, budaya, dan agama dengan berbagai gaya hidup serta pesona kehidupan. Interaksi transaksional dan inter-kultural yang menciptakan suatu ‘folk cultures’ yang berbeda warna dengan tradisi asali. Di tengah-tengah interaksi demikian, sekelompok krama Bali sibuk mencari ‘folk roots’, kawitan asalinya. Ketika akarnya ditemukan, mereka mengganti identitas sosialnya dengan yang baru. Walau situasi kurang memungkinkan, ada sekelompok orang meraih kepercayaan diri dengan atribut sosial baru tersebut. Ini bukan suatu kebenaran atau kebaikan, mungkin suatu pseudo prestise sosial. 7
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Kebenaran lebih memperhatikan tattwa, baik aspek filsafat maupun teologinya. Sebaliknya, kebaikan mempertimbangkan susila, baik aspek situasi maupun realitanya. Meraih kebenaran berdasar atas sastra serupa dengan menafikan perubahan. Pemuka agama lebih menekankan ketaatan pada kebenaran ketimbang kebaikan? Menurut Friedrich Nietzsche (1878), filsuf Jerman seratus tahun sebelum istilah multikulturalisme muncul, bahwa ‘…living people as the active negotiators of culture and cultural difference’. Artinya, kebenaran itu lentur, tergantung pada pemeluk keyakinan yang bersangkutan. Jadi, krama Bali merupakan negosiator ulung kebudayaannya termasuk agama dari sejak dulu sampai saat ini.
Sebuah contoh terpampang jelas, seperti kremasi bersandar pada tradisi. Saat ini kremasi dilakukan di krematorium, yaitu, kremasi situasional yang bertumpu pada esensi. Kedua berjalan tanpa ada konflik. Keduanya mengandung kebenaran dan kebaikan. Kremasi bersandar tradisi bersumber pada sastra. Sedangkan, kremasi situasional dilaksanakan dengan prinsip keadilan sosial. Seharusnya, keduanya tidak dipertentangkan. Seperti pandangan Friedrich Nietzsche di atas, krama Bali adalah pelaku kebudayaan dan agamanya. Tidaklah bijaksana bersikap deterministik, yaitu, mengharuskan dan mewajibkan pelaku begini dan begitu. Berilah kemerdekaan kepada pelaku untuk mewarnai kebudayaan dan meyakini agamanya. Inilah contoh multikulturalisme dalam berbudaya dan beragama.
Masih banyak contoh kehidupan berbudaya dan beragama di Bali yang sejalan dengan multikulturalisme. Pada zaman revolusi industri 4.0, semakin sedikit jumlah orang yang terikat tradisi secara ketat. Sebaliknya, semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman orang berinteraksi dengan kebudayaan dan agama lain di dunia. Intensi polifoni juga mendorong orang untuk berpindah tempat, profesi atau pekerjaan. Fenomena global ini berefek pada ketidak-terikatan seseorang pada satu tradisi, kebudayaan, gaya hidup ataupun moralitas. Dewasa ini perbedaan tersebut merupakan pelangi warna warni yang saling berdampingan serasi, selaras, dan seimbang.
Era saat ini harus dimaknai lebih bijak, bukan dipolemikkan atau dikonflikkan. Keragaman merupakan kekayaan budaya dan religi. Keragaman tersebut seharusnya dipahami sebagai ‘..a positive way as folk cultures and beyond the culture of comparison’, saran Friedrich Nietzsche yang dikutip oleh Gerd Baumann (1999). Dengan pemahaman positif terhadap keragaman budaya maupun religi, maka kehidupan yang ‘paras paros sarpanaya, salulung sabayantaka’ dan ‘gemah ripah loh jinawi, asing tinandur mupu, asing tinuku murah’ terwujud dengan baik dan benar.
Dewasa ini, Bali bukan hanya milik krama Bali. Bali sudah disesaki dengan berbagai etnik, budaya, dan agama dengan berbagai gaya hidup serta pesona kehidupan. Interaksi transaksional dan inter-kultural yang menciptakan suatu ‘folk cultures’ yang berbeda warna dengan tradisi asali. Di tengah-tengah interaksi demikian, sekelompok krama Bali sibuk mencari ‘folk roots’, kawitan asalinya. Ketika akarnya ditemukan, mereka mengganti identitas sosialnya dengan yang baru. Walau situasi kurang memungkinkan, ada sekelompok orang meraih kepercayaan diri dengan atribut sosial baru tersebut. Ini bukan suatu kebenaran atau kebaikan, mungkin suatu pseudo prestise sosial. 7
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
1
Komentar