Prof Wayan P Windia: Sekarang Orang Cenderung Kawin Mapadik
Jika Prof Wayan P Windia luncurkan buku berjudul ‘Mapadik: Orang Biasa, Kawin Biasa, Cara Biasa di Bali’, Dr Ketut Sudantra luncurkan buku ‘Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman’, sedangkan Dr Ketut Wirata buku berjudul ‘Kebijakan Pengelolaan Wisata Ekoreligi Berkelanjutan Berbasis Masyarakat Hukum Adat Bali’
Hari Ini, Tiga Akademisi Bidang Hukum Adat Luncurkan Buku Bersama-sama di Desa Mas
DENPASAR, NusaBali
Guru Besar Bidang Hukum Adat Bali Fakultas Hukum Unud, Prof Dr Wayan P Windia SH MSi, akan meluncurkan karya tulis berupa buku berjudul ‘Mapadik: Orang Biasa, Kawin Biasa, Cara Biasa di Bali’, Sabtu (30/4) ini. Versi Prof Windia, era sekarang semakin banyak orang kawin mapadik.
Acara peluncuran buku ‘Mapadik: Orang Biasa, Kawin Biasa, Cara Biasa di Bali’ tersebut rencananya akan digelar di Museum Patung Wayan Pendet, Banjar Nyuh Kuning, Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar, Sabtu pagi ini pukul 09.00 Wita. Ada tiga akademisi sekaligus yang meluncurkan karya dalam bentuk buku di sini. Selain Prof Windia, juga ada Dr I Ketut Sudantra SH MH dan Dr Ketut Wirata SH MKn.
Dr Ketut Sudantra, akademisi yang juga dari Fakultas Hukum Unud, meluncurkan buku berjudul ‘Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman’. Sedangkan Dr Ketut Wirata akan meluncurkan buku berjudul ‘Kebijakan Pengelolaan Wisata Ekoreligi Berkelanjutan Berbasis Masyarakat Hukum Adat Bali’.
Rencananya, peluncuran tiga buku karya Prof Windia, Dr Sudantra, dan Dr Wirata pagi ini akan dihadiri sejumlah guru besar dari Unud dan Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Jawa Timur. Mereka, antara lain, Prof Nyoman Nurjaya dan Prof Sudarsono. Selain itu, juga dihadiri kaum intelektual muda dan tokoh-tokoh masyarakat bali.
Prof Windia mengungkapkan, hasil karyanya tentang mapadik berjudul ‘Mapadik: Orang Biasa, Kawin Biasa, Cara Biasa di Bali’ ini sebagai bahan bacaan bagi masyarakat. Buku ini membahas tentang tata cara proses melangsungkan perkawinan oleh orang biasa, dengan cara yang biasa. Mapadik dalam hal ini adalah meminang serangkaian dengan pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat Bali. ‘Orang biasa’ maksudnya adalah orang kebanyakan atau orang yang bukan keturunan bangsawan.
"Buku ini bukan hanya tentang mapadik, tapi juga kawin ngerorod (kawin lari). Fokus pembahasan diletakkan pada perkawinan biasa, bukan kawin nyentana atau pada gelahang. Biasa dalam arti perkawinan mapadik menggunakan tata bahasa, cara, tata kramanya diungkapkan dengan biasa, bahasa ringan, dan mudah dimengerti," ungkap Prof Windia kepada NusaBali, Jumat (29/4).
Pakar Hukum Adat Bali asal Banjar Nyuh Kuning, Desa Mas kelahiran 27 November 1955 ini menuturkan, bahan-bahan untuk menulis buku setebal 275 halaman tersebut diperoleh dengan menjadikan Kabupaten Gianyar sebagai sampel. Buku disusun melalui pengalaman lahir melangsungkan perkawinan, sebagai pelaksana upacara perkawinan, mengamati pelaksanaan rangkaian perkawinan, serta pengalaman bathin yang didapat dan diolah dari sejumlah buku dan informan.
"Walaupun buku dan penelitian tentang perkawinan menurut Hukum Adat Bali cukup banyak, namun karena latar belakang penyusunannya berbeda, menyebabkan buku ini (‘Mapadik: Orang Biasa, Kawin Biasa, Cara Biasa di Bali’ ) memiliki perbedaan dengan buku serupa yang telah ada," jelas penyandang gelar Doktor pada Program Kajian Budaya Unud tahun 2008 ini.
Prof Windia yang juga Ketua ‘Bali Shanti’ Pusat Pelayanan Konsultasi Adat dan Budaya Bali (LPPM Unud) menjelaskan, beberapa kasus perkawinan biasa yang ditemukan di lapangan. salah satunya, kasus pasangan anak muda dari kalangan biasa mau kawin biasa dengan cara mapadik (meminang) agar dirasa lebih terhormat. Namun, orangtuanya justru menyarankan ngerorod (kawin lari), karena bingung dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan serangkaian kegiatan mapadik. Kecuali itu, ngerorod dianggap lebih mudah, murah, meskipun kurang ramah.
Kasus kedua, ketika pasangan anak muda biasa kawin biasa dan memilih jalan ngrorod. Namun, orangtuanya saat itu setuju dan langsung menanyakan dewasa ayu (hari baik) upacara perkawinan. Bahkan, sesampainya di rumah calon mempelai laki-laki, segala perlengkapan upacara telah disediakan (ngrorod yang telah dipersiapkan). Dalam hal ini, apakah benar kawin dengan cara ngrorod memang seperti demikian?
Kasus lain yang diamati yakni pasangan anak muda biasa mau kawin biasa dengan cara mapadik. Namun, saat keduabelah pihak (orangtua) menunjuk juru raos (juru bicara) dalam mapadik, pada akhirnya berdebat sengit dengan aneka raos makulit dan raos wayah (berbagai pengandaian) yang susah dimengerti, sehingga suasana papadikan menjadi tegang.
Sementara itu, kata Prof Windia, ada pula pasangan anak muda yang berencana kawin dengan cara mapadik. Kedua orangtua mereka sangat mendukung perkawinan anaknya, karena pasangan tergolong papadan (wajah, pendidikan, kekayaan, pekerjaan serba seimbang). Namun, suasana papadikan menjadi sangat santai dan cenderung bercanda, seperti suasana magenjekan.
Ada juga pengantin yang tidak mengerti dengan Hukum Adat Bali dan awig-awig desa pakraman, tidak kenal prajuru adat, tidak kenal mana nyama mana braya. Sehingga, mereka tidak mengerti tata krama melangsungkan perkawinan yang biasa menurut Hukum Adat Bali. Hal yang menjadi luar biasa adalah di antara mereka yang bangga atas ketidakmengertiannya akan hal-hal yang menyangkut perkawinan biasa oleh orang biasa dan dengan cara yang biasa.
"Karena itu, buku ini saya tulis untuk memberikan pemahaman bahwa mapadik itu tidak seperti dibayangkan dan juga tidak beranggapan bahwa ngerorod lebih mudah dan murah daripada mapadik. Mapadik bisa dilakukan dengan tata bahasa yang ringan dan mudah dimengerti, mudah, dan murah," jelas Prof Windia.
Seiring kemajuan dan perkembangan zaman, kata dia, semakin muncul semangat saling menghargai antar-sesama. Prof Windia juga melihat, perkawinan di Bali sekarang sudah beralih ke mapadik dari trend ngerorod yang sempat salah kaprah dinilai lebih mudah dan murah. Ini menandakan masyarakat sudah semakin paham akan mapadik. "Sekarang orang memilih kawin dengan mapadik. Yang ngerorod sudah tidak laku. Ini tandanya orang semakin mengerti untuk menghormati orang lain," tandasnya.
Secara sederhana, kata Prof Windia, mapadik dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, dari pangaksama atau mapitahu (perkenalan antar keluarga). Tahap kedua, makruna atau masuaka (mererasaan atau pembicaraan bersama keluarga). Tahap ketiga, mapadik (mengajak calon pengantin wanita ke rumah calon suami). "Nanti, pakaian yang digunakan dalam tiap tahap, tata bahasa, hingga proses mapadik dijelaskan dalam buku ini. Ngerorod ada tata caranya," sebut Prof Windia.
Melalui buku ‘Mapadik: Orang Biasa, Kawin Biasa, Cara Biasa di Bali’, Prof Windia berharap jangan lagi ada orang yang takut dan bingung dalam merencanakan perkawinan dengan mapadik. Jangan pula ada yang sampai adu ilmu hanya untuk mapadik, dan tidak patut meremehkan suasana mapadik hanya karena kawin papadan. “Buku ini bertujuan untuk memberikan pengertian mapadik, agar masyarakat tidak salah kaprah dan jumlah orang yang bangga atas ketidakmengertiannya terkait perkawinan biasa oleh orang biasa dan dengan cara yang biasa, juga semakin berkurang,” jelas Prof Windia. 7 i
1
Komentar