Keluarga Korban Lion Air JT 610 Gugat Boeing
Keluarga korban penumpang pesawat Lion Air JT 610 registrasi PK-LQP yang jatuh Oktober lalu kini menggugat Boeing produsen pesawat 737 MAX-8 yang digunakan pada kecelakaan nahas itu.
CHICAGO, NusaBali
Gugatan itu menuduh pesawat Boeing 737 MAX-8 tersebut 'berbahaya'. Keluarga tersebut meminta tuntutan itu disidangkan oleh pengadilan yang menggunakan sistem juri di Chicago, basis pabrik pesawat terbang itu, demikian seperti dikutip liputan6 dari The Daily Beast, Kamis (27/12).
Tuntutan hukum itu diajukan pada Senin 24 Desember kepada Circuit Court Cook County, Illinois, atas nama ahli waris Sudibyo Onggo Wardoyo. Sudibyo adalah salah satu korban yang tewas dalam kecelakaan pesawat Lion Air penerbangan JT 610 yang jatuh ke Laut Jawa tidak lama setelah bertolak dari Jakarta tanggal 29 Oktober 2018. Semua, 189 orang yang berada dalam pesawat tewas.
Tuntutan hukum itu menuduh pesawat Boeing yang berumur dua bulan itu berbahaya sebab sensornya tidak memberi data yang akurat kepada sistem kendali terbangnya dan menyebabkan sistem anti-stall-nya tidak terpasang dengan benar.
Tuntutan juga menuduh Boeing tidak memberi instruksi yang secukupnya kepada pilot tentang bagaimana harus bertindak dan mematikan sistem anti-stall yang terpasang itu.
"Sepertinya Boeing mula-mula menutup mata, kemudian mengikat tangan pilot," kata pengacara hukum Thomas Demetrio dari firma hukum Corboy & Demetrio, yang mewakili ahli waris Sudibyo Onggo Wardoyo, yang terdiri dari orang tua dan tiga saudaranya.
Boeing telah dituduh tak melakukan pencatatan atas perubahan dalam manual instruksi penerbangan pesawat terkait sensor anti-stall dan tidak memberikan penjelasan kepada pilot maskapai selama pelatihan yang diperlukan saat mereka berpindah dari model lama 737 ke tipe MAX.
Perubahan itu, diberi nama Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), melibatkan beberapa lini perangkat lunak baru. Ini diperkenalkan setelah tes di terowongan angin yang menunjukkan perubahan karakteristik penanganan MAX-8. Tes menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, jet bisa mengalami kondisi stall pada aerodinamikanya di mana sayap melenggang dan menderita kehilangan daya angkat secara tiba-tiba.
Selama penerbangan JT 610 yang berlangsung hanya 11 menit, pilot Lion Air bertempur melawan aksi yang dipicu oleh MCAS yang berulang kali memaksa hidung jet melakukan nosedive --seperti yang seharusnya dilakukan ketika pesawat mengalami kondisi stall. Namun Lion Air PK-LQP itu tidak pernah dalam bahaya stall tersebut.
MCAS merespons data palsu yang berasal dari sensor yang dirancang untuk mendeteksi ketika sayap menggantung — yang disebabkan oleh perubahan pada angle of attack. Dengan memaksakan nosedive, pilot itu akhirnya mengirim jet menukik mengerikan ke laut.
Boeing memiliki waktu 30 hari untuk menjawab keluhan yang diajukan oleh firma Corboy & Demetrio --tim pengacara dengan pengalaman puluhan tahun dalam menangani kecelakaan udara-- yang diminta untuk membawa kasus tersebut oleh pengacara Indonesia yang mewakili keluarga Wardoyo. Boeing dapat memutuskan untuk mengajukan mosi untuk menghapus kasus dari negara bagian ke pengadilan federal. *
Tuntutan hukum itu diajukan pada Senin 24 Desember kepada Circuit Court Cook County, Illinois, atas nama ahli waris Sudibyo Onggo Wardoyo. Sudibyo adalah salah satu korban yang tewas dalam kecelakaan pesawat Lion Air penerbangan JT 610 yang jatuh ke Laut Jawa tidak lama setelah bertolak dari Jakarta tanggal 29 Oktober 2018. Semua, 189 orang yang berada dalam pesawat tewas.
Tuntutan hukum itu menuduh pesawat Boeing yang berumur dua bulan itu berbahaya sebab sensornya tidak memberi data yang akurat kepada sistem kendali terbangnya dan menyebabkan sistem anti-stall-nya tidak terpasang dengan benar.
Tuntutan juga menuduh Boeing tidak memberi instruksi yang secukupnya kepada pilot tentang bagaimana harus bertindak dan mematikan sistem anti-stall yang terpasang itu.
"Sepertinya Boeing mula-mula menutup mata, kemudian mengikat tangan pilot," kata pengacara hukum Thomas Demetrio dari firma hukum Corboy & Demetrio, yang mewakili ahli waris Sudibyo Onggo Wardoyo, yang terdiri dari orang tua dan tiga saudaranya.
Boeing telah dituduh tak melakukan pencatatan atas perubahan dalam manual instruksi penerbangan pesawat terkait sensor anti-stall dan tidak memberikan penjelasan kepada pilot maskapai selama pelatihan yang diperlukan saat mereka berpindah dari model lama 737 ke tipe MAX.
Perubahan itu, diberi nama Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), melibatkan beberapa lini perangkat lunak baru. Ini diperkenalkan setelah tes di terowongan angin yang menunjukkan perubahan karakteristik penanganan MAX-8. Tes menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, jet bisa mengalami kondisi stall pada aerodinamikanya di mana sayap melenggang dan menderita kehilangan daya angkat secara tiba-tiba.
Selama penerbangan JT 610 yang berlangsung hanya 11 menit, pilot Lion Air bertempur melawan aksi yang dipicu oleh MCAS yang berulang kali memaksa hidung jet melakukan nosedive --seperti yang seharusnya dilakukan ketika pesawat mengalami kondisi stall. Namun Lion Air PK-LQP itu tidak pernah dalam bahaya stall tersebut.
MCAS merespons data palsu yang berasal dari sensor yang dirancang untuk mendeteksi ketika sayap menggantung — yang disebabkan oleh perubahan pada angle of attack. Dengan memaksakan nosedive, pilot itu akhirnya mengirim jet menukik mengerikan ke laut.
Boeing memiliki waktu 30 hari untuk menjawab keluhan yang diajukan oleh firma Corboy & Demetrio --tim pengacara dengan pengalaman puluhan tahun dalam menangani kecelakaan udara-- yang diminta untuk membawa kasus tersebut oleh pengacara Indonesia yang mewakili keluarga Wardoyo. Boeing dapat memutuskan untuk mengajukan mosi untuk menghapus kasus dari negara bagian ke pengadilan federal. *
Komentar