Lahirkan Alternatif Baru Pementasan Teater
Tuntasnya pementasan monolog ‘11 Ibu, 11 Kisah, 11 Panggung’ garapan sutradara Kadek Sonia Piscayanti, memberikan sejumlah alternatif baru dalam pementasan teater.
Teater 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah
SINGARAJA, NusaBali
Pendekatan pementasan yang cenderung masuk dalam teater kontenporer itu pun dinilai cukup menyegarkan kembali pertunjukan teater. Hal tersebut disampaikan langsung oleh budayawan Wayan Juniarta dalam Focus Group Discussion (FGD), Minggu (30/12) siang.
Evalausi, refleksi yang diselenggarakan di rumah belajar Komunitas Mahima itu, membahas kemungkinan-kemungkinan dan kontinuitas teater ‘11 Ibu, 11 Kisah, 11 Panggung’ ke depan. Dalam 11 pementasan yang dilakukan oleh 11 aktor ibu dari berbagai profesi itu Juniarta mencatat tiga hal baru yang ditemukan dalam projek itu.
Teater ‘11 Ibu, 11 Kisah, 11 Panggung’ menurutnya mampu merangkul narasi kontemporer yang berakar dari hari para ibu dengan berbagai latar sosial, yang selama ini luput dieksplorasi narasi-narasi besar yang diusung teater besar. “Selama ini teater cenderung sangat eksklusif, mengambil narasi besar dengan agak mengabaikan narasi kecil. Sebuah contoh, narasi sejarah besar pasti diciptakan dari event besar dan orang besar di suatu peristiwa, jarang sekali sejarah mampu membidik narasi kecil-kecil yang tanpa disadari sebenarnya membentuk narasi besar tersebut,” kata dia.
Pengekplorasian narasi-narasi kecil pada pementasan ‘11 Ibu, 11 Kisah, 11 Panggung’ itu justru mampu menciptakan narasi kecil sendiri, yang selama ini dipendam sendiri kemudian mencapai sejarah baru dicatat dan dibagikan kepapa umum. Juniarta pun menggaris bawahi hal unik dalam pementasan dari segi setting pemetasan.
Menurutnya aktor yang membawakan kisahnya sendiri juga dikemas sangat apik dengan pentas langsung di rumah dan sekitar lingkungannya.
Seperti dua setting yang dinilainya sangat menarik, yakni saat pementasan ibu Hermawati dengan latar kuburan keluarga dan ibu Sumarni Astuti, di Bale Gede rumahnya yang sangat personal, spriritual dan filosofis. “Hal ini yang menjadi alternative kemungkinan bari dalam konteks teater kontemporer. Panggung tidak lagi menjadi hal yang kaku, statis dan memisahkan aktor dengan audiens, bahkan memisahkan aktor dengan dirinya sendiri,” imbuh dia.
Catatan lain menurut Juniarta adalah menyatakan sebagai produk teater, project ini adalah produk seni yang memadukan seni estetis, simbolis dan perspektif subjektif penciptanya dalam hal ini sutradara. Sonia disebutnya menonjolkan visi keberpihakan kepada perempuan khususnya ibu di projek ini. Yang kedua sebagai sebuah eksperimen sosial, project ini mampu menyatukan kesebelas ibu dari berbagai latar sosial dalam satu komunitas yang aman bagi mereka untuk saling berbagi.
Sementara itu aktor 11 ibu yang juga hadir dalam FGD tersebut juga memberikan komentar saat dilibatkan pertama kali menjadi aktor. Seperti salah satu ibu, Prof Dr Putu Kerti Nitiasih, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha, mengatakan bahwa project ini luar biasa mempersatukan 11 ibu dengan beragam latar belakang untuk saling mendukung di projek ini.
Ia yang pengajar itu pun mengakui sebagai orang yang biasa didengar menjadi orang yang belajar mendengar di projek ini. Dengan beragam persoalan Prof Titik begitu ia biasa disapa, merasa banyak belajar dari projek ini.
Hal yang hampir sama dikatakan oleh Sumarni Astuti alias Tuti Dirgha seorang kepala sekolah yang juga guru SD sekaligus penulis. Ia mengakui bahwa projek ini adalah projek yang memberinya waktu untuk memaknai kembali perannya menjadi perempuan, istri, ibu dan nenek.
Aktor ibu lainnya, Diah Mode juga menjelaskan projek 11 ibu yang menyeretnya ke kelompok itu telah membuatnya ‘lulus’ atau ‘wisuda’ sebagai ibu dan istri. Beragam peristiwa dan momen hampir gagalnya dalam berumah tangga menjadi terselamatkan karena projek ini.
Dia mulai membangun narasi dirinya dengan lebih dalam, lebih menghargai kesalahan sebagai sebuah pembelajaran, lalu membuat keputusan untuk mampu belajar lebih baik.
Sementara itu Sutradara pementasan, Kadek Sonia Piscayanti mengatakan bahwa projek ini adalah upaya mendengarkan ibu dari berbagai kalangan dan tidak menutup kemungkinan akan ada banyak lagi ibu-ibu lain yang kisahnya akan dipentaskan. Sebagai projek inisiasi, Sonia mengatakan projek ini adalah awal untuk munculnya kemungkinan lebih banyak dan lebih besarnya komunitas mendukung perempuan berbicara dan bercerita di masa depan. *k23
SINGARAJA, NusaBali
Pendekatan pementasan yang cenderung masuk dalam teater kontenporer itu pun dinilai cukup menyegarkan kembali pertunjukan teater. Hal tersebut disampaikan langsung oleh budayawan Wayan Juniarta dalam Focus Group Discussion (FGD), Minggu (30/12) siang.
Evalausi, refleksi yang diselenggarakan di rumah belajar Komunitas Mahima itu, membahas kemungkinan-kemungkinan dan kontinuitas teater ‘11 Ibu, 11 Kisah, 11 Panggung’ ke depan. Dalam 11 pementasan yang dilakukan oleh 11 aktor ibu dari berbagai profesi itu Juniarta mencatat tiga hal baru yang ditemukan dalam projek itu.
Teater ‘11 Ibu, 11 Kisah, 11 Panggung’ menurutnya mampu merangkul narasi kontemporer yang berakar dari hari para ibu dengan berbagai latar sosial, yang selama ini luput dieksplorasi narasi-narasi besar yang diusung teater besar. “Selama ini teater cenderung sangat eksklusif, mengambil narasi besar dengan agak mengabaikan narasi kecil. Sebuah contoh, narasi sejarah besar pasti diciptakan dari event besar dan orang besar di suatu peristiwa, jarang sekali sejarah mampu membidik narasi kecil-kecil yang tanpa disadari sebenarnya membentuk narasi besar tersebut,” kata dia.
Pengekplorasian narasi-narasi kecil pada pementasan ‘11 Ibu, 11 Kisah, 11 Panggung’ itu justru mampu menciptakan narasi kecil sendiri, yang selama ini dipendam sendiri kemudian mencapai sejarah baru dicatat dan dibagikan kepapa umum. Juniarta pun menggaris bawahi hal unik dalam pementasan dari segi setting pemetasan.
Menurutnya aktor yang membawakan kisahnya sendiri juga dikemas sangat apik dengan pentas langsung di rumah dan sekitar lingkungannya.
Seperti dua setting yang dinilainya sangat menarik, yakni saat pementasan ibu Hermawati dengan latar kuburan keluarga dan ibu Sumarni Astuti, di Bale Gede rumahnya yang sangat personal, spriritual dan filosofis. “Hal ini yang menjadi alternative kemungkinan bari dalam konteks teater kontemporer. Panggung tidak lagi menjadi hal yang kaku, statis dan memisahkan aktor dengan audiens, bahkan memisahkan aktor dengan dirinya sendiri,” imbuh dia.
Catatan lain menurut Juniarta adalah menyatakan sebagai produk teater, project ini adalah produk seni yang memadukan seni estetis, simbolis dan perspektif subjektif penciptanya dalam hal ini sutradara. Sonia disebutnya menonjolkan visi keberpihakan kepada perempuan khususnya ibu di projek ini. Yang kedua sebagai sebuah eksperimen sosial, project ini mampu menyatukan kesebelas ibu dari berbagai latar sosial dalam satu komunitas yang aman bagi mereka untuk saling berbagi.
Sementara itu aktor 11 ibu yang juga hadir dalam FGD tersebut juga memberikan komentar saat dilibatkan pertama kali menjadi aktor. Seperti salah satu ibu, Prof Dr Putu Kerti Nitiasih, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha, mengatakan bahwa project ini luar biasa mempersatukan 11 ibu dengan beragam latar belakang untuk saling mendukung di projek ini.
Ia yang pengajar itu pun mengakui sebagai orang yang biasa didengar menjadi orang yang belajar mendengar di projek ini. Dengan beragam persoalan Prof Titik begitu ia biasa disapa, merasa banyak belajar dari projek ini.
Hal yang hampir sama dikatakan oleh Sumarni Astuti alias Tuti Dirgha seorang kepala sekolah yang juga guru SD sekaligus penulis. Ia mengakui bahwa projek ini adalah projek yang memberinya waktu untuk memaknai kembali perannya menjadi perempuan, istri, ibu dan nenek.
Aktor ibu lainnya, Diah Mode juga menjelaskan projek 11 ibu yang menyeretnya ke kelompok itu telah membuatnya ‘lulus’ atau ‘wisuda’ sebagai ibu dan istri. Beragam peristiwa dan momen hampir gagalnya dalam berumah tangga menjadi terselamatkan karena projek ini.
Dia mulai membangun narasi dirinya dengan lebih dalam, lebih menghargai kesalahan sebagai sebuah pembelajaran, lalu membuat keputusan untuk mampu belajar lebih baik.
Sementara itu Sutradara pementasan, Kadek Sonia Piscayanti mengatakan bahwa projek ini adalah upaya mendengarkan ibu dari berbagai kalangan dan tidak menutup kemungkinan akan ada banyak lagi ibu-ibu lain yang kisahnya akan dipentaskan. Sebagai projek inisiasi, Sonia mengatakan projek ini adalah awal untuk munculnya kemungkinan lebih banyak dan lebih besarnya komunitas mendukung perempuan berbicara dan bercerita di masa depan. *k23
1
Komentar