MUTIARA WEDA : Sekali lagi Kasta
Brahmana untuk pengetahuan, ksatriya untuk perlindungan, vaishya untuk perdagangan dan sudra untuk pekerjaan jasmani.
Brahmane brahmanam kshatriya rajanyam,
Marudbhyo vaishyam, tapase sudram.
(Yajur Veda, XXX.5)
HARUS kita akui bahwa catur varna yang teraplikasi menjadi catur kasta sangat mengakar kuat disebutkan dalam Veda. Meskipun kita bisa mengatakan dengan pasti bahwa kelas kehidupan yang rigid berdasarkan kasta dalam tradisi Vedik adalah salah interpretasi dan mengandung muatan politis, namun tetap konsep dasarnya termuat dengan jelas di berbagai kitab sruti dan kemudian ditegaskan dalam smerti bahwa perbedaan tersebut berdasarkan kelahiran. Selama ribuan tahun interpretasi smerti itu hidup dalam masyarakat penganut Vedik sehingga ada jurang pemisah yang seolah tak terjembatani. Bukti nyatanya adalah sampai saat ini, bias kasta tersebut masih terasa khususnya di India meskipun wilayah itu pernah diduduki oleh bangsa asing dengan paham egalitarian selama lebih dari lima ratus tahun.
Kuatnya konsep Varna yang diinterpretasi kasta dikarenakan teks sruti menyebutkannya demikian, kemudian smerti menjustifikasinya dan yang paling kuat adalah muncul dari prinsip karma. Teks menyatakannya demikian berkorelasi dengan karma. Karma lah yang menyebabkan orang harus lahir di mana apakah mereka Brahmana atau sudra atau yang lainnya. Kekakuan tradisi yang dijalani oleh masyarakat Hindu tersebut terjadi oleh karena dijustifikasi kitab suci dan oleh konsep yang sophisticated. Apakah kemudian tradisi Vedik tersebut tidak mendapat perlawanan di dalam masyarakat? Tentu, sejak tradisi tersebut dikukuhkan, perlawanan telah terjadi. Munculnya gugusan pemikiran yang nastika, seperti Carvaka, Baudha, Jaina, Ajivika, dan yang lainnya bisa dikatakan bentuk perlawanan dari tradisi Vedik karena sepenuhnya menolak prinsip Vedik.
Apakah perlawanan mereka berhasil? Dipastikan tidak. Mereka yang menolak prinsip Vedik tersebut tidak mampu melenyapkannya dalam tradisi, melainkan mereka hanya mampu membentuk kelompok dari sesama mereka yang tidak setuju dengan perbedaan kasta. Bahkan di India sebagian besar kelompok penentang tersebut berhasil didepak keluar dari India seperti Baudha dan beberapa lainnya lenyap tanpa bekas, seperti Ajivika dan Carvaka. Secara bergelombang, para jenius Vedik mampu mengembalikan supremasi Veda ke dalam masyarakat. Seperti misalnya Adi Shankaracharya telah sangat sukses mengembalikan ajaran Veda ke masyarakat dengan kemenangannya yang gemilang dari perdebatan-perdebatan filosofis atas lawan-lawannya. Tentu dengan kembalinya Veda dijalankan oleh masyarakat, maka secara otomatis meneguhkan kembali sistem kasta tersebut, karena antara Veda dan kasta seolah-olah inheren.
Sejak abad kedua puluh, upaya penggulingan terhadap hegemoni kasta tersebut dimulai lagi secara serempak di India dengan lahirnya beberapa organisasi spiritual yang mendunia. Swami Vivekananda, Mahatma Gandhi, Swami Chinmayananda, Maharishi Mahesh Yogi adalah beberapa dari mereka yang berperan aktif berupaya mengembalikan kemuliaan manusia. Manusia tidak pernah sudah membawa kehinaan atau dipandang sebelah mata sejak lahir atau ditentukan oleh karena kelahiran, melainkan mulia atau hinanya seseorang ditentukan oleh perbuatannya. Ditambah dengan sistem pendidikan yang memberikan ruang bagi semua lapisan masyarakat serta sistem pemerintahan yang demokratis yang menjadikan semua orang di mata kekuasaan adalah sama, merupakan tantangan besar bagi sistem kasta tersebut.
Demikian juga di Bali, pertentangan tersebut telah terjadi secara sengit. Meskipun jurang kasta saat ini masih tampak hanya dalam perkawinan, pertentangan tersebut masih terus berlangsung. Sistem yang telah mengakar kuat tersebut sungguh susah dipadamkan. Sekuat apapun memangkasnya, pohon kasta tetap masih bisa tumbuh. Salah satu buktinya, ketika warga tertentu di Bali memantapkan dirinya sebagai Brahmana Jati dan membentuk sulinggih yang didwijati, segera sulinggih tersebut dijuluki sebagai ‘sulinggih jaba’ oleh mereka dari kalangan yang selama ratusan tahun telah mapan dalam supremasinya memegang tampuk kesulinggihan. Jika ditanya, apakah perjuangan tersebut akan berhasil, baik di India maupun di Bali? Apakah sejarah bisa berulang seperti yang dialami oleh kaum Nastika di India? Apakah para penentang hanya mampu membentuk kelompok-kelompok yang nantinya bisa dilenyapkan dan sekali lagi supremasi kasta hidup di masyarakat? Lihat saja nanti. *
(Yajur Veda, XXX.5)
HARUS kita akui bahwa catur varna yang teraplikasi menjadi catur kasta sangat mengakar kuat disebutkan dalam Veda. Meskipun kita bisa mengatakan dengan pasti bahwa kelas kehidupan yang rigid berdasarkan kasta dalam tradisi Vedik adalah salah interpretasi dan mengandung muatan politis, namun tetap konsep dasarnya termuat dengan jelas di berbagai kitab sruti dan kemudian ditegaskan dalam smerti bahwa perbedaan tersebut berdasarkan kelahiran. Selama ribuan tahun interpretasi smerti itu hidup dalam masyarakat penganut Vedik sehingga ada jurang pemisah yang seolah tak terjembatani. Bukti nyatanya adalah sampai saat ini, bias kasta tersebut masih terasa khususnya di India meskipun wilayah itu pernah diduduki oleh bangsa asing dengan paham egalitarian selama lebih dari lima ratus tahun.
Kuatnya konsep Varna yang diinterpretasi kasta dikarenakan teks sruti menyebutkannya demikian, kemudian smerti menjustifikasinya dan yang paling kuat adalah muncul dari prinsip karma. Teks menyatakannya demikian berkorelasi dengan karma. Karma lah yang menyebabkan orang harus lahir di mana apakah mereka Brahmana atau sudra atau yang lainnya. Kekakuan tradisi yang dijalani oleh masyarakat Hindu tersebut terjadi oleh karena dijustifikasi kitab suci dan oleh konsep yang sophisticated. Apakah kemudian tradisi Vedik tersebut tidak mendapat perlawanan di dalam masyarakat? Tentu, sejak tradisi tersebut dikukuhkan, perlawanan telah terjadi. Munculnya gugusan pemikiran yang nastika, seperti Carvaka, Baudha, Jaina, Ajivika, dan yang lainnya bisa dikatakan bentuk perlawanan dari tradisi Vedik karena sepenuhnya menolak prinsip Vedik.
Apakah perlawanan mereka berhasil? Dipastikan tidak. Mereka yang menolak prinsip Vedik tersebut tidak mampu melenyapkannya dalam tradisi, melainkan mereka hanya mampu membentuk kelompok dari sesama mereka yang tidak setuju dengan perbedaan kasta. Bahkan di India sebagian besar kelompok penentang tersebut berhasil didepak keluar dari India seperti Baudha dan beberapa lainnya lenyap tanpa bekas, seperti Ajivika dan Carvaka. Secara bergelombang, para jenius Vedik mampu mengembalikan supremasi Veda ke dalam masyarakat. Seperti misalnya Adi Shankaracharya telah sangat sukses mengembalikan ajaran Veda ke masyarakat dengan kemenangannya yang gemilang dari perdebatan-perdebatan filosofis atas lawan-lawannya. Tentu dengan kembalinya Veda dijalankan oleh masyarakat, maka secara otomatis meneguhkan kembali sistem kasta tersebut, karena antara Veda dan kasta seolah-olah inheren.
Sejak abad kedua puluh, upaya penggulingan terhadap hegemoni kasta tersebut dimulai lagi secara serempak di India dengan lahirnya beberapa organisasi spiritual yang mendunia. Swami Vivekananda, Mahatma Gandhi, Swami Chinmayananda, Maharishi Mahesh Yogi adalah beberapa dari mereka yang berperan aktif berupaya mengembalikan kemuliaan manusia. Manusia tidak pernah sudah membawa kehinaan atau dipandang sebelah mata sejak lahir atau ditentukan oleh karena kelahiran, melainkan mulia atau hinanya seseorang ditentukan oleh perbuatannya. Ditambah dengan sistem pendidikan yang memberikan ruang bagi semua lapisan masyarakat serta sistem pemerintahan yang demokratis yang menjadikan semua orang di mata kekuasaan adalah sama, merupakan tantangan besar bagi sistem kasta tersebut.
Demikian juga di Bali, pertentangan tersebut telah terjadi secara sengit. Meskipun jurang kasta saat ini masih tampak hanya dalam perkawinan, pertentangan tersebut masih terus berlangsung. Sistem yang telah mengakar kuat tersebut sungguh susah dipadamkan. Sekuat apapun memangkasnya, pohon kasta tetap masih bisa tumbuh. Salah satu buktinya, ketika warga tertentu di Bali memantapkan dirinya sebagai Brahmana Jati dan membentuk sulinggih yang didwijati, segera sulinggih tersebut dijuluki sebagai ‘sulinggih jaba’ oleh mereka dari kalangan yang selama ratusan tahun telah mapan dalam supremasinya memegang tampuk kesulinggihan. Jika ditanya, apakah perjuangan tersebut akan berhasil, baik di India maupun di Bali? Apakah sejarah bisa berulang seperti yang dialami oleh kaum Nastika di India? Apakah para penentang hanya mampu membentuk kelompok-kelompok yang nantinya bisa dilenyapkan dan sekali lagi supremasi kasta hidup di masyarakat? Lihat saja nanti. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar