Wisatawan Berburu Momen Unik Tradisi Makotek
Tradisi makotek atau makotekan yang dilaksanakan krama Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung bertepatan Hari Raya Kuningan pada Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (5/1), berlangsung semarak.
MANGUPURA, NusaBali
Tradisi yang telah berlangsung turun temurun ini menjadi salah satu even yang ditunggu, terutama kalangan wisatawan mancanegara. Tradisi makotek adalah tradisi ‘perang kayu’. Disebut makotek karena mengikuti bunyi kayu-kayu yang saling bertabrakan satu sama lain. Sejak dulu tradisi selalu digelar krama Desa Adat Munggu saat Hari Raya Kuningan. Masyarakat setempat percaya, tradisi ini selain mengenang perisitiwa kemenangan Kerajaan Mengwi saat perang melawan Kerajaan Blambangan pada zaman dahulu kala, juga dalam rangka mempererat ikatan persaudaran untuk menolak bala.
Krama Desa Adat Munggu yang berjumlah kurang lebih 1.118 kepala keluarga (KK) tumpah ruah mengikuti tradisi makotek. Mereka mulai berkumpul sekitar pukul 12.00 WITA di Pura Desa setempat untuk melakukan persembahyangan. Setelah persembahyangan di pura, lalu kemudian krama mengelilingi desa dengan membawa tombak-tombak pusaka yang di-sungsung (disucikan), berikut pusaka tamiang kolem atau tameng yang terbuat dari perunggu.
Bendesa Adat Munggu, I Made Rai Sujana, mengatakan pelaksanaan tradisi makotek tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan sebelumnya. “Jadi saat pengarakan pusaka tamiang kolem, krama juga membawa kayu pulet sepanjang kurang lebih 3 meter pengganti tombak yang dulu digunakan Kerajaan Mengwi saat perang melawan Kerajaan Blambangan,” terangnya.
“Dulunya tombak yang dipakai. Namun, karena pada jaman penjajahan sempat dilarang sama Belanda dikira warga akan melakukan perlawanan. Kemudian diganti dengan kayu pulet,” kata Sujana.
Kendati seluruh krama dari 12 banjar terlibat dalam pelaksanaan tradisi makotek, hanya kaum laki-laki saja yang melaksanakan tradisi makotek ini. Sementara kaum perempuan mengiringi dan menyemangati dari pinggir. Setiap kali peperangan terjadi, kayu-kayu pulet disusun menyerupai gunungan. Tidak hanya satu melainkan dua gunungan atau bisa lebih. Nah, setelah itu satu sama lain saling beradu.
Sujana lebih lanjut mengatakan, penyelenggaran tradisi makotek sudah berdasarkan pawisik. “Kenapa pada Hari Raya Kuningan, karena sebelum menyerang (Kerajaan Blambangan, red) bala tentara dan raja (Kerajaan Mengwi, red) saat itu melakukan semedi. Kebetulan saat itu bertepatan dengan Kuningan, sehingga pada saat Hari Raya Kuningan selalu diperingati tradisi makotek ini,” terangnya.
Menurut Sujana, tradisi makotek akan terus dilestarikan sampai kapanpun. Sebab, masyarakat percaya akan terjadi musibah bila tidak melaksanakan tradisi ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya tradisi makotek selalu menyedot perhatian para wisatawan. Tidak saja wisatawan lokal, tapi juga banyak wisatawan asing datang untuk menyaksikan tradisi yang cuma ada pada saat Hari Raya Kuningan ini. Banyak dari para wisatawan sengaja mengabadikan momen unik pada pelaksanaan tradisi moketk tersebut. *asa
Krama Desa Adat Munggu yang berjumlah kurang lebih 1.118 kepala keluarga (KK) tumpah ruah mengikuti tradisi makotek. Mereka mulai berkumpul sekitar pukul 12.00 WITA di Pura Desa setempat untuk melakukan persembahyangan. Setelah persembahyangan di pura, lalu kemudian krama mengelilingi desa dengan membawa tombak-tombak pusaka yang di-sungsung (disucikan), berikut pusaka tamiang kolem atau tameng yang terbuat dari perunggu.
Bendesa Adat Munggu, I Made Rai Sujana, mengatakan pelaksanaan tradisi makotek tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan sebelumnya. “Jadi saat pengarakan pusaka tamiang kolem, krama juga membawa kayu pulet sepanjang kurang lebih 3 meter pengganti tombak yang dulu digunakan Kerajaan Mengwi saat perang melawan Kerajaan Blambangan,” terangnya.
“Dulunya tombak yang dipakai. Namun, karena pada jaman penjajahan sempat dilarang sama Belanda dikira warga akan melakukan perlawanan. Kemudian diganti dengan kayu pulet,” kata Sujana.
Kendati seluruh krama dari 12 banjar terlibat dalam pelaksanaan tradisi makotek, hanya kaum laki-laki saja yang melaksanakan tradisi makotek ini. Sementara kaum perempuan mengiringi dan menyemangati dari pinggir. Setiap kali peperangan terjadi, kayu-kayu pulet disusun menyerupai gunungan. Tidak hanya satu melainkan dua gunungan atau bisa lebih. Nah, setelah itu satu sama lain saling beradu.
Sujana lebih lanjut mengatakan, penyelenggaran tradisi makotek sudah berdasarkan pawisik. “Kenapa pada Hari Raya Kuningan, karena sebelum menyerang (Kerajaan Blambangan, red) bala tentara dan raja (Kerajaan Mengwi, red) saat itu melakukan semedi. Kebetulan saat itu bertepatan dengan Kuningan, sehingga pada saat Hari Raya Kuningan selalu diperingati tradisi makotek ini,” terangnya.
Menurut Sujana, tradisi makotek akan terus dilestarikan sampai kapanpun. Sebab, masyarakat percaya akan terjadi musibah bila tidak melaksanakan tradisi ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya tradisi makotek selalu menyedot perhatian para wisatawan. Tidak saja wisatawan lokal, tapi juga banyak wisatawan asing datang untuk menyaksikan tradisi yang cuma ada pada saat Hari Raya Kuningan ini. Banyak dari para wisatawan sengaja mengabadikan momen unik pada pelaksanaan tradisi moketk tersebut. *asa
Komentar