Pastika Sarankan Cari Referensi Heroik Puputan Jagaraga ke Belanda
Gubernur Pastika dan istri, Nyonya Ayu Pastika, untuk kedua kalinya menginap di rumah keluarga miskin penerima bantuan bedah rumah di Desa Jagaraga. Kali ini, Pastika menginap di rumah pasutri sepuh I Made Resika, 80, Ni Nyoman Sayang, 60
Terkait Rencana Buleleng Bangun Monumen Puputan Jagaraga Senilai Rp 15 Miliar
SINGARAJA, NusaBali
Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan istri, Nyonya Ayu Pastika, kembali menginap di rumah keluarga miskin penerima program bedah rumah di kawasan Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Buleleng, Sabtu (30/4) malam. Gubernur Pastika sempat mampir ke Lapangan Umum Jagaraga dan sekaligus mendapat pemaparan rencana pembangunan Monumen Puputan Jagaraga oleh Pemkab Buleleng. Pastika pun sarankan cari referensi ke Belanda terkait pembangunan monumen perjuangan ini.
Pemaparan soal rencana pembangunan Munumen Puputan Jagaraga senilai Rp 15 miliar kepada Gubernur Pastika, Sabtu sore, disampaikan Kepala Dinas Sosial Buleleng I Gede Komang di Lpangan Desa Jagaraga. Gubernur Pastika mampir di Lapangan Desa Jagaraga sebelum menuju rumah keluarga pasutri sepuh I Made Resika, 80, Ni Nyoman Sayang, 60, keluarga miskin di Desa Jagaraga penerima program bedah rumah dari Pemprov Bali tahun 2015.
Dalam paparannya, Kadis Sosial Buleleng Gede Komang menyebutkan rencana pem-bangunan Monumen Puputan Jagaraga menghabiskan dana sekitar 15 miliar. Nantinya, di Monumen Jagaraga akan ditampilkan dua tokoh pejuang melawan Belanda, yakni Gusti Ketut Jelantik (Mahapatih Kerajaan Buleleng) dan Jro Jempiring. Kedua tokoh dari trah Semeton Arya Pangalasan ini pegang peran penting dalam Perang Puputan Jagaraga melawan Belanda tahun 1849.
Monumen Jagaraga rencananya dibangun di atas lahan seluas 0,5 hektare di kawasan Ban-jar Kauh Teben, Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan. Untuk mendapatkan kisah heroik Perang Puputan Jagaraga tahun 1849 tersebut, Dinas Sosial Buleleng sudah mencari referensi dari berbagai sumber.
Menanggapi pemaparan Kadis Sosial Buleleng Gede Komang, Gubernur Pastika menyatakan Perang Puputan Jagaraga merupakan perang terlama dan pertama (melawan Belanda) di Bali. Dengan dibuatnya Monumen Puputan Jagaraga, Gubernur Pastika berharap masyrakat dapat menghargai jasa dan pengorbanan para pejuang masa silam.
"Menilai kepahlawanan itu sangat berguna untuk menjiwai kita. Itu kita warisi untuk menghadapi berbagai tantangan ke depan. Kita harus belajar dari para leluhur kita bagaimana mereka menjaga martabatnya, menjaga harga dirinya, menjaga tanah airnya, menjaga keluarganya, menjara rakyatnya, bahkan rela mengorbankan jiwa dan raganya,” ujar Pastika.
“Perang Puputan Jagaraga termasuk perang terlama dan perang pertama melawan Belanda di Bali. Jadi, pembuatan Monumen Puputan Jagaraga ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi merupakan sebuah kebanggaan untuk kita semua," lanjut Gubernur asal Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Buleleng ini.
Pastika mengingatkan, Monumen Puputan Jagaraga di Desa Jagaraga ini agar tidak sembarangan dibangun. Jajaran SKPD terkait diminta mencari referensi langsung ke negeri Belanda. “Bila perlu, kita harus ke Belanda. Siapa tahu di Belanda ada foto Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring. Sehingga, pembuatan patungnnya nanti ada kemiripan. Sekarang kan masalahnya di situ: siapa yang bisa menggabarkan seperti apa wajah Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring?” kata Pastika.
Menurut Pastika, pencarian referensi ke negeri Belanda bukan hanya penting untuk menemukan foto wajah Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring, tapi juga agar pembuatan diorama heroik Perang Puputan Jagaraga sesuai dengan ceritanya. “Demi akurasi dari monumen itu sendiri, perlu banyak referensi. Kita harus ke museum-museum, siapa tahu ada dokumen-dokumennya. Saya yakin di Belanda pasti ada itu,” tegas mantan Kapolda Bali berpangkat Komisaris Jenferal Polisi (Purn) ini.
Pastika juga mewanti-wanti pihak rekanan yang mendapat proyek pembangunan Monumen Puputan Jagaraga nantinya tidak mencari untung banyak. Pasalnya, pembangunan monumen perjuangan ini untuk orang-orang yang telah rela berkorban demi bangsa dan tanah air. “Jangan cari untung, jangan pula ada pungutan apa pun. Ini bukan membangun gedung biasa, tapi monumen sebagai penghormatan terhadap Ida (Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring, Red). Saya minta masyarakat di sini ikut mengawasinya,” imbuhnya.
Berdasarkan catatan yang dirangkum dari berbagai sumber, perang Puputan Jagaraga sendiri berawal dari kandasnya kapal Belanda di perairan Buleleng tahun 1844. Kerajaan Buleleng kala itu memberlakukan adat Hak Tawan Karang, yang intinya menawan setiap kapal asing yang kandas di perairannya. Kapal dan harta bendanya pun dirampas, sedangkan anak buah kapalnya dijadikan budak karena dianggap sebagai miliknya.
Belanda menuntut Raja Buleleng (waktu itu) I Gusti Ngurah Made Karangasem untuk mengembalikan kapal dan segala isinya. Tuntutan itu ditolak oleh raja dan Patih I Gusti Ketut Jelantik. Maka, pada 1846 Belanda mengirimkan pasukannya untuk menyerang Buleleng.
Untuk menghadapi tentara Belanda, Buleleng dibantu Kerajaan Karangasem. Namun, kedua kerajaan ini kemudian dipaksa menandatangani suatu perjanjian. Isi perjanjian tersebut adalah pengakuan Kerajaan Buleleng dan Karangasem terhadap kekuasaan Belanda di Batavia. Belanda berhak memonopoli dagang, sementara Hak Tawan Karang dihapuskan.
Dengan perjanjian itu, Belanda mengira Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem telah dikuasai, sehingga tentaranya ditarik ke Batavia. Raja-raja di Bali tak pernah tunduk kepada Belanda. Lalu, dihimpunlah kekuatan dari Kerajaan Buleleng, Kerajaan Karangasem, dan Kerajaan Klungkung untuk menghadapi tentara Belanda.
Desa Jagaraga (kawasan Buleleng Timur) dijadikan pertahanan utama (benteng) pasukan Bali. Secara geografis, Desa Jagaraga memang berada pada tempat ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk supit urang atau menyerupai jepitan udang. Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu untuk menghambat gerakan musuh.
Benteng Jagaraga ini dipertahankan oleh 15.000 orang, dengan 2.000 orang bersenjata senapan api dan sisanya bersenjatakan tombak. Tahun 1848, Belanda mengirim pasukannya ke Bali untuk menghancurkan perlawanan di Benteng Jagaraga. Namun, Belanda tidak mampu menghadapi perlawanan rakyat Bali di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik.
Awalnya, kapal perang Belanda tiba di Pantai Sangsit (Desa sangsit, Kecamatan sawan, Buleleng) pada 7 Maret 1848, dengan kekuatan 2.265 orang. Serangan pertama ditujukan ke Desa Sangsit dan Desa Bunkulan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van der Wijck. Serangan kedua ditujukan langsung ke Benteng Jagaraga, 8 Juni 1848.
Namun, serangan tersebut gagal karena Belanda belum mengetahui medan yang sebe-narnya dan siasat pertahanan supit urang Laskar Jagaraga. Belanda pun mundur sampai ke Pantai Sangsit dan minta tambahan serdadu dari Batavia.
Pada 15 April 1849, pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Michiels mendarat lagi di Pantai Sangsit, dengan kekuatan 15.235 orang, terdiri atas pasukan infantri, kavaleri, artileri, zeni, dan kesehatan. Di samping itu, terdapat 29 kapal laut. Pantai Buleleng dan Sangsit benar-benar telah terkepung.
Jiendaral Michiels akhirnya mengetahui siasat pertahanan supit urang dari mata-mata yang dikirimnya ke Benteng Jagaraga. Setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga dari dua arah, yaitu depan dan belakang. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Namun, tidak ada seorang pun Laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur, lalu Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda pada 19 April 1849. Sejak saat itulah Belanda berhasil kuasai Bali Utara.
Sementara itu, Gubernur Pastika dan istri, Nyonya Ayu Pastika, kembali menginap di rumah keluarga miskin penerima bantuan bedah rumah di Desa Jagaraga, Sabtu malam. Kali ini, Pastika menginap di rumah pasutri I Made Resika dan Ni Nyoman Sayang di Banjar Kauh Temben, Desa Jagaraga.
Tiga tahun sebelumnya, Pastika dan istri juga pernah menginap di rumah keluarga penerima bedah rumah di Desa Jagaraga pada 2013 lalu. Kala itu, Pastika menginap di rumah keluarga I Putu Sirna, 52, di Banjar Kauh Luan, Desa Jagaraga.
Gubernur Pastika dan istri menuju rtumah pasutri sepuh Made Resika dan Ni Nyoman Sayang, setelah lebih dulu tijau lokasi rencana pembangunan Monumen Puputan Jagaraga dan peternakan sapi program Simantri di Desa Jagaraga. Usai menijau Simantri, Pastika bersama rombongan juga menyerahkan paket sembako dan satu unit bantuan bendah rumah dari CSR sebuah bank swasta di Wantilan Desa Jagaraga.
Tiba di rumah pasutri Made Resika-Nyoman Sayang, Sabtu sore pukul 17.00 Wita, Pastika dan istri langsung disambut sang tua rumah. Gubernur dipersilakan duduk di teras rumah dengan beralas tikar plastik. Pemilik rumah, Made Resika, mengaku tidak pernah membayangkan kalau Gubernur Bali menginap di rumahnya. Dia juga tidak pernah membayangkan mendapat bantuan bedah rumah.
“Tiyang ngaturang suksma tekening Bapak-bapak niki, tiyang ten uning napi-napi, ten taen tiyang mekeneh kel inepine teken Bapak-bapak (Saya berterimakasih banyak terhadap Bapak Gubernur dan rombongan, saya tidak tahu apa-apa, tidak pernah membayangkan kalau Pak Gubernur dan rombongan menginap di rumah saya, Red),” tutur pekak berusia 80 tahun ini.
Mede Resika dan istrinya selama ini hanya menempati rumah tua berisi dua kamar warisan dari orangtuanya. Rumah yang ditempati sudah tidak layak huni, karena lantai tanah dan dindingnya kropos. Mereka harus tinggal bersama 8 anaknya yang kini semuanya sudah berkeluarga. Pada 2015, keluarga miskin ini mendapat bantuan bedah rumah senilai Rp 30 juta dari Pemprov Bali. 7 k19
Komentar