Sebelum Dikremasi, Jenazah Diserbu Ratusan Warga
Kengerian tradisi Mesbes Bangke di Tampaksiring, Gianyar, Bali, yang masih bertahan hingga kini.
GIANYAR, NusaBali.com
Ada sebuah tradisi unik di Banjar Buruan, Tampaksiring, Gianyar, Bali, yang bernama ‘Mesbes Bangke’ atau Mencabik Mayat. Setiap ada warga yang meninggal dan diaben secara personal, saat itulah jenazah akan melalui ritual ini.
Warga asli Banjar Buruan akan berkumpul dijalan untuk menanti datangnya jenazah yang diusung dari rumah duka. Begitu jenazah terlihat, maka akan diserbu oleh warga untuk dibesbes (dicabik). Sebagian warga ada yang secara sadar dan sebagian lagi ada yang setengah sadar. Bahkan, ada yang sampai menaiki jenazah. Tangan dan mulut mereka akan sibuk mencabik-cabik tubuh yang tidak bernyawa tersebut.
Tidak ada yang tahu, kapan pastinya tradisi ini dimulai dan siapa yang memulainya. Yang jelas menurut tetua adat setempat, berkaca dari zaman yang lalu, saat seorang warga meninggal, bau busuk jenazahnya tidak bisa diredam karena harus menentukan hari baik untuk diaben, terlebih saat itu belum ditemukan formalin. Maka, jenazah bisa didiamkan berhari-hari. Warga yang mencium bau busuk tersebut mempunyai inisiatif untuk mesbes jenazah agar lupa dengan bau yang tidak sedap itu. Beramai-ramai mereka mengarak dan memain-mainkan jenazah dengan riang sambil mesbes, konon aroma busuk itu akan sirna.
Setelah warga puas mesbes, barulah jenazah dibawa ke kuburan dan dikremasi. Dari 13 banjar dinas yang ada di Desa Tampaksiring, hanya Banjar Dinas Buruan-lah yang masih setia menjalankan tradisi ini. Jika yang meninggal adalah pemuka agama seperti Pedanda, Sulinggih, dan Pemangku, maka keluarga akan menyusun rencana agar jenazah tidak sampai dibesbes ketika keluar dari rumah. Hal itu diwujudkan dengan melakukan ritual ‘mekinsan di geni’ atau dititipkan (dikuburkan) dahulu di pemakaman. Maka, saat ngaben, kuburan dibongkar kembali dan jenazah dikremasi.
Dalam melaksanakan tradisi Mesbes Bangke ini, ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar. Pertama, jenazah tidak boleh jatuh ke tanah karena akan mengakibatkan warga banjar harus menggelar Pecaruan (penyucian) besar-besaran di daerah tersebut. Syukurnya, hingga sekarang belum pernah terjadi hal demikian. Maka, yang dipilih untuk menggotong jenazah haruslah pria yang memiliki postur sejajar dan kekar.
Kedua, masyarakat di luar Banjar Buruan tidak boleh ikut melaksanakan prosesi Mesbes Bangke, jika ketahuan, maka orang tersebut bisa saja dikroyok oleh warga setempat yang sedang setengah sadar.
Lain dulu lain pula sekarang. Kendati tradisi ini masih dijalankan hingga sekarang, namun jenazah tidak dibiarkan terbuka seperti dulu. Kini, jenazah telah dibungkus dengan tikar, kain, dan dirantai hingga berlapis-lapis untuk menghindari hal-hal buruk yang kemungkinan terjadi. Seperti, penyakit dari jenazah yang semasa hidupnya memiliki penyakit menular.
Kendati demikian, tak sedikit pula kontroversi yang timbul dari berbagai kalangan tentang tradisi ini. Ada yang mengatakan tradisi ini telalu kejam dan tidak menghormati perasaan keluarga yang ditinggalkan, dan masih banyak lagi sanggahan-sanggahan yang timbul. Namun, kenyataannya para keluarga yang bersangkutan pun telah menerima hal tersebut dan beberapa ada yang ikut mesbes jenazah keluarganya. Yang jelas, tradisi ini ada untuk membangun keakraban dan kekeluargaan antarwarga di Banjar Buruan. *ph
Komentar