Ratusan Eks Karyawan Hardys Bingung
Kuasa Hukum PT Arta Sedana Retailindo, Ni Wayan Umi Martina, mengatakan, tidak adil jika kliennya yang harus bertanggung jawab untuk menanggung kewajiban pesangon
Tuntut Hak Pesangon karena Belum Dibayar
DENPASAR, NusaBali
Sudah hampir satu tahun tidak ada kejelasan pesangon, ratusan eks karyawan Hardys yang telah diputus hubungan kerjanya (PHK) akhirnya terpaksa mengadu ke Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali untuk mendapat kejelasan siapa yang sesungguhnya harus membayar pesangon mereka. Mediasi antara eks karyawan Hardys dengan pengusaha yang diwakili oleh kuasa hukumnya dilakukan di Kantor Dinas Setempat, Selasa (8/1).
Sebelumnya, eks karyawan ini bekerja pada PT Hardys Retailindo. Namun pada November 2017, Pengadilan Niaga Surabaya menyatakan pailit terhadap PT Hardys Retailindo yang telah dibangun selama 20 tahun itu. Termasuk pailit terhadap PT Hardys Group dan pendirinya I Gede Agus Hardiawan. PT Hardys Retailindo kemudian diakuisisi oleh PT Arta Sedana Retailindo sebagai induk outlet-outlet Hardys Retail. PT Arta Sedana Retailindo juga mengembangkan PT Super Grosir Indonesia sebagai Distribution Centre Hardys Retail.
Berdasarkan kronologi yang didapat NusaBali dari eks karyawan, setelah peralihan manajemen, tidak ada hitam di atas putih mengenai peralihan masa kerja yang sebelumnya dari PT Hardys Retailindo ke PT Arta Sedana Retailindo atau dari PT Hardys Retailindo ke PT Super Grosir Indonesia, yang ditunjukkan jelas ke semua karyawan.
Setelah diakuisisi, mereka bekerja pada PT Arta Sedana Retailindo dan PT Super Grosir Indonesia. Pada Januari 2018, PT Arta Sedana Retailindo melakukan penutupan terhadap delapan outlet Hardys. Ini berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ratusan karyawan. Pada 25 Januari 2018, pekerja menandatangani Surat Kesepakatan Berakhir Hubungan Kerja outlet-outlet dan DC Hardys Retail. PHK dilakukan dua tahap yakni Januari dan Februari 2018. “Yang mem-PHK kami itu PT Arta Sedana Retailindo dan PT Super Grosir Indonesia. Kami mengadukan hak-hak kami berupa pesangon dari kedua perusahaan yang mem-PHK kami ini ke Disnaker Provinsi Bali. Ini masih proses mediasi, belum ada titik terang apakah akan dibayar pesangon kami, kapan dan berapa,” ujar perwakilan eks pekerja, Yeni Anita.
Ia mengatakan, eks karyawan diwakili dalam aduan tersebut sebanyak 193 orang. Namun yang di-PHK lebih dari 500 orang. Sisanya tidak mengonfirmasi kembali apakah akan ikut melakukan aduan menuntut pesangon, karena itu tergantung kesadaran. “Pesangon yang kami minta ya sesuai dengan UU saja, sesuai dengan gaji terakhir dan masa kerja. Pokoknya yang kami tuntut adalah perusahaan yang mem-PHK kami, yakni PT Arta Sedana Retailindo dan PT Super Grosir Indonesia. Selebihnya entah mereka masih ada masalah dengan pailitnya Hardys, itu bukan urusan karyawan,” katanya.
Sebelum melakukan pengaduan ke Disnaker Provinsi Bali, kata dia, perusahaan sempat memfasilitasi karyawan melalui pengacaranya untuk menuntut hak-hak berupa pesangon ke perusahaan sebelumnya yakni Hardys Retailindo. “Pada saat itu kita juga sudah ada melaporkan ke Disnaker. Tapi karena kita semuanya buta hukum, dan pengacara serta dari PT Arta Sedana Retailindo bilang akan bantu, bahwa pesangonnya adalah atas nama Hardys Retailindo,” jelasnya. “Kita akhirnya menunggu dan tidak lapor lagi. Tapi sampai akhir Desember 2018 tidak satupun klarifikasi atau pemberitahuan dari perusahaan kapan dan berapa akan dibayarkan pesangonnya. Kami konfirmasi ke pengacara hanya tiga sampai empat kali. Itu pun kita yang meminta untuk bertemu, tidak ada inisiatif dari pengacara maupun perusahaannya,” imbuhnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum PT Arta Sedana Retailindo, Ni Wayan Umi Martina, mengatakan, tidak adil jika kliennya yang harus bertanggung jawab untuk menanggung kewajiban pesangon. Sebab menurutnya, sang klien baru setahun bekerja tapi langsung dibebani dengan tanggung jawab karyawan yang bekerja selama 10 hingga 17 tahun.
Selain itu, ia juga menjelaskan, bahwa secara hubungan hukum, kliennya tidak memiliki hubungan secara langsung dengan Hardys, melainkan hubungan langsungnya hanya dengan Bank Muamalat. “Ini masih perlu perhitungan dan mediasi karena klien kami melanjutkan operasional dari Bank Muamalat. Tidak adil, kami baru bekerja setahun disuruh bertanggung jawab untuk yang 10 hingga 17 tahun,” ungkapnya.
Sedangkan kurator dari Pengadilan Niaga Surabaya, Ega Indra Gunawan, mengatakan, siapa yang harus membayar bisa dilihat dari bagaimana hubungan kerja karyawan yang di-PHK tersebut. Namun karena ia tidak masuk sejak awal, maka saat ini ia hanya akan mengikuti proses. “Kalau cerita dari pihak pekerja, mereka mengaku di-PHK oleh PT Arta Sedana Retailindo. Jadi yang bertanggung jawab seharusnya PT tersebut. Dulunya saat pemindahan aset sudah ada kesepakatan, bahwa selain aset adalah tenaga kerjanya. Tapi untuk pastinya dan dulunya seperti apa, saya tidak mengetahui karena belum masuk saat itu,” terangnya.
Ketidakjelasan pesangon ini membuat eks karyawan resah karena belum kunjung mendapatkan haknya. Belum lagi dipusingkan dengan nasib usai PHK yang tidak mudah mencari pekerjaan. Beberapa di antaranya memang bisa langsung mendapat pekerjaan. Namun sebagian lagi masih menganggur. Salah satunya Putu Purwa, 41, asal Karangasem yang telah 13 tahun bekerja di Hardys. Terakhir ia menjabat sebagai kepala staf. Ia di-PHK dari PT Super Grosir Indonesia. “Habis PHK ini saya nganggur. Kadang jadi sopir grab, itupun nggak banyak ngambil orderan. Karena juga harus urus anak yang masih umur 8 bulan,” katanya.
Ia sangat merasakan dampak PHK. Ia yang harus menghidupi istri dan ketiga anaknya mengaku cukup sulit mencari kerjaan saat ini. Apalagi umurnya yang sudah 40 tahun semakin menambah sulitnya mencari kerja. Beruntung sang istri juga bantu-bantu bekerja. Ia sangat berharap ada kejelasan mengenai pesangon yang bisa ia dapatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama buah hatinya yang belum genap satu tahun. “Saya berharap ada kejelasan saja. Karena itu kan hak kita sebagai pekerja. Kalau tidak dibayar, saya percaya ada karma yang mengikuti,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali, Ni Luh Made Wiratmi menjelaskan, jika masalah ini masih dalam proses penanganan karena belum ada kesepakatan. “Langkah selanjutnya agar mereka menerima hak-haknya. Kami tangani dulu dan ini masih dalam proses. Saya mohon maaf belum bisa memberikan keterangan. Karena saya sedang di Jakarta, dan belum ada laporan tentang proses mediasi tadi,” ucapnya per telepon, kemarin. *ind
Komentar