Pameran Lima C, Kritisi Alam dan Masa Depan Bali
Sebanyak 13 seniman dari Bali, Jakarta, dan DI Jogjakarta yang tergabung dalam Komunitas Lima C menggelar pameran bersama di Griya Santrian Sanur, 11 Januari-28 Februari 2019.
DENPASAR, NusaBali
Pameran tersebut merespons fenomena sosial melalui kritik, komunikasi, kolaborasi, kooperasi, yang diikat oleh kreativitas.
Dijelaskan, C5 merupakan critical (kritis), communicotion (komunikasi), collaboration (kolaborasi), cooperation (kooperasi) dan creativity (kreatifitas). Critical atau kritis berarti bersifat tidak lekas percaya yang tujuannya untuk menimbang, menguji dan evaluasi, sehingga mendorong munculnya ide dan pemikiran baru.
Sedangkan communication atau komunikasi adalah sebuah cara berpikir lebih terbuka, sehingga karya menjadi pesan yang dapat diterima oleh penikmat seni. Luas jangkauan yang diinginkan merupakan salah satu penentu sifat komunikatif. Sementara komunikatif dapat tersampaikan melalui collaboration dan cooperation. Dua hal ini bermakna kerja sama untuk mencapai tujuan bersama, sehingga tidak hanya terbatas bersama seseorang satu pendapat.
Bertemunya perbedaan dari cara pandang akan memunculkan kemungkinan tak terduga. Keempat hal tersebut apabila berhubungan dengan dunia seni, maka perlu diikat dengan semangat kreatif. Creativity atau kreatifitas adalah kemampuan untuk mencipta sesuatu yang baru dalam bentuk gagasan maupun karya nyata. Kreatifitas menjadi inti semangat dalam menjalani proses berkesenian.
“Setiap seniman, khususnya pelukis pasti melukiskan keresahannya terhadap fenomena sosial yang dijumpainya dalam karya. Ada unsur kritis, komunikasi, kolaborasi, kooperasi, dan kreativitas yang coba dirangkum dalam pameran ini,” ujar koordinator pameran Lima C di Bali, I Ketut Sugantika alias Lekung, Kamis (10/1).
Komunitas Lima C yang dibentuk tahun 2017 ini sudah pernah pameran bersama sebelumnya, yakni di Studio Kalahan Jogjakarta. Jadi, ini adalah pameran lanjutan dengan tema yang sama. Pemikiran seluruh seniman dalam tema pameran C5 ini adalah mengajak semua untuk selalu sadar. Kesadaran yang dimaksud, bahwa seniman dan setiap orang berusaha kritis, berarti memahami diri dan sekitarnya. Pemahaman yang membawa kepada keinginan untuk selalu terhubung dengan segala sesuatu. Hubungan tersebut menjadikan kerelaan bekerja sama dengan siapapun, dengan tujuan dan cara yang positif. Puncaknya menciptakan pembaruan dalam ruang-ruang kreatif.
Pameran ini dengan berbagai aliran seperti abstrak, figuratif, dan lain-lain. Ada sebanyak 25 karya dari 13 seniman, di antaranya Agus ‘baqul’ Purnomo, I Nyoman Diwarupa, Galung Wiratmaja, I Ketut Agus Murdika, I Ketut Sugantika (Lekung), I Komang Trisno Adi Wirawan, I Wayan Arnata, Ipong Purnama Sidhi, Iqrar Dinata, Laila Tifah, M. Dwi Marianto, Nofria Doni Fitri, dan Syahrizal Koto.
Masing-masing bebas melukiskan apapun dengan aliran apapun. Seperti Lekung yang mengangkat isu lingkungan yakni sampah atau limbah plastik bekas alat-alat melukis. Sisa-sisa benda tak berguna itu disulap menjadi karya yang bertutur. Seolah ditanam langsung, limbah-limbah itu ditempel dalam sebuah kanvas dan ditempeli warna merah. Benda-benda yang ditempeli warna merah tersebut, muncul di permukaan kanvas dan menjadi sebuah karya seni yang indah. “Ini semacam seruan. Sebagai perupa kita ada kegelisahan, limbah plastik kita tuangkan ke dalam lukisan. Seperti di Bali sekarang darurat sampah, saya mencoba menawarkan karya untuk menggugah kesadaran. Meskipun tidak semua bisa membaca pesan itu secara mendalam,” katanya. *ind
Dijelaskan, C5 merupakan critical (kritis), communicotion (komunikasi), collaboration (kolaborasi), cooperation (kooperasi) dan creativity (kreatifitas). Critical atau kritis berarti bersifat tidak lekas percaya yang tujuannya untuk menimbang, menguji dan evaluasi, sehingga mendorong munculnya ide dan pemikiran baru.
Sedangkan communication atau komunikasi adalah sebuah cara berpikir lebih terbuka, sehingga karya menjadi pesan yang dapat diterima oleh penikmat seni. Luas jangkauan yang diinginkan merupakan salah satu penentu sifat komunikatif. Sementara komunikatif dapat tersampaikan melalui collaboration dan cooperation. Dua hal ini bermakna kerja sama untuk mencapai tujuan bersama, sehingga tidak hanya terbatas bersama seseorang satu pendapat.
Bertemunya perbedaan dari cara pandang akan memunculkan kemungkinan tak terduga. Keempat hal tersebut apabila berhubungan dengan dunia seni, maka perlu diikat dengan semangat kreatif. Creativity atau kreatifitas adalah kemampuan untuk mencipta sesuatu yang baru dalam bentuk gagasan maupun karya nyata. Kreatifitas menjadi inti semangat dalam menjalani proses berkesenian.
“Setiap seniman, khususnya pelukis pasti melukiskan keresahannya terhadap fenomena sosial yang dijumpainya dalam karya. Ada unsur kritis, komunikasi, kolaborasi, kooperasi, dan kreativitas yang coba dirangkum dalam pameran ini,” ujar koordinator pameran Lima C di Bali, I Ketut Sugantika alias Lekung, Kamis (10/1).
Komunitas Lima C yang dibentuk tahun 2017 ini sudah pernah pameran bersama sebelumnya, yakni di Studio Kalahan Jogjakarta. Jadi, ini adalah pameran lanjutan dengan tema yang sama. Pemikiran seluruh seniman dalam tema pameran C5 ini adalah mengajak semua untuk selalu sadar. Kesadaran yang dimaksud, bahwa seniman dan setiap orang berusaha kritis, berarti memahami diri dan sekitarnya. Pemahaman yang membawa kepada keinginan untuk selalu terhubung dengan segala sesuatu. Hubungan tersebut menjadikan kerelaan bekerja sama dengan siapapun, dengan tujuan dan cara yang positif. Puncaknya menciptakan pembaruan dalam ruang-ruang kreatif.
Pameran ini dengan berbagai aliran seperti abstrak, figuratif, dan lain-lain. Ada sebanyak 25 karya dari 13 seniman, di antaranya Agus ‘baqul’ Purnomo, I Nyoman Diwarupa, Galung Wiratmaja, I Ketut Agus Murdika, I Ketut Sugantika (Lekung), I Komang Trisno Adi Wirawan, I Wayan Arnata, Ipong Purnama Sidhi, Iqrar Dinata, Laila Tifah, M. Dwi Marianto, Nofria Doni Fitri, dan Syahrizal Koto.
Masing-masing bebas melukiskan apapun dengan aliran apapun. Seperti Lekung yang mengangkat isu lingkungan yakni sampah atau limbah plastik bekas alat-alat melukis. Sisa-sisa benda tak berguna itu disulap menjadi karya yang bertutur. Seolah ditanam langsung, limbah-limbah itu ditempel dalam sebuah kanvas dan ditempeli warna merah. Benda-benda yang ditempeli warna merah tersebut, muncul di permukaan kanvas dan menjadi sebuah karya seni yang indah. “Ini semacam seruan. Sebagai perupa kita ada kegelisahan, limbah plastik kita tuangkan ke dalam lukisan. Seperti di Bali sekarang darurat sampah, saya mencoba menawarkan karya untuk menggugah kesadaran. Meskipun tidak semua bisa membaca pesan itu secara mendalam,” katanya. *ind
Komentar