MUTIARA WEDA : Ritual dan Ahimsa, Mungkinkah?
Ketahuilah bahwa menyakiti makhluk-makhluk bergerak atau tak bergerak yang sudah ditentukan untuk suatu tujuan oleh Veda, bukanlah menyakiti sama sekali, karena Veda-lah hukum suci itu asalnya.
Yā vedavihitā himsā niyatā smimccarācare,
Ahimsāmeva tām vidyād vedādharmo hi nirbabhau.
(Manvadharmasastra, V: 44)
TRADISI ritual di Bali, khususnya yang berhubungan dengan Bhuta Yadnya sangat banyak menggunakan binatang, dan boleh dikatakan bahwa binatang adalah bagian paling penting dari ritual ini. Oleh karena itu sebagian besar orang di Bali mahir menyembelih binatang innocently. Tidak ada perasaan iba dengan kesakitan binatang yang sedang disembelih itu. Mereka merasa bahwa membunuh binatang sebagai bentuk pelaksanaan dharma, sebab binatang yang akan dibunuh tersebut digunakan untuk persembahan dan tujuannya untuk mewujudkan ketenteraman dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Bahkan, pembantaian binatang seperti sapi atau kerbau atas nama tradisi ritual ini pun masyarakat menjalankannya dengan penuh semangat.
Ada banyak teks yang mendukung bahwa membunuh binatang untuk tujuan upacara merupakan sebuah tindakan suci. Veda telah menyatakannya demikian. Seperti misalnya teks di atas, membunuh binatang tidak masuk dalam kategori menyakiti apabila ditujukan untuk upacara keagamaan. Bahkan dikatakan bahwa binatang-binatang yang disembelih untuk tujuan upacara tersebut akan ditinggikan derajatnya dan didoakan agar kelahirannya kelak lebih mulia. Jadi, atas dasar pemikiran ini, pertama, orang melakukan upacara dengan menggunakan binatang guna menjalankan anjuran kitab suci. Kedua, pembunuhan tersebut bukan kategori himsa oleh karena binatang tersebut disupat akan lahir menjadi lebih baik di kemudian hari. Menurut logika teks di atas, bahwa penggunaan binatang dalam upacara agama sama-sama saling menguntungkan, mutualisme. Manusia bisa selamat, hidup tenteram, tidak dilanda malapetaka dan binatang yang digunakan untuk itu rohnya ditinggikan. Baik hewan maupun manusia berada dalam semangat yang sama di dalam kegiatan upacara ini.
Namun, uniknya Hindu, di samping menguraikan secara detail tentang pelaksanaan ajaran agama dalam konteks upacara yang di dalamnya binatang dikorbankan, juga mengajarkan ahimsa yang bertolak belakang dengan tradisi ini. Ahimsa artinya tidak menyakiti, tidak membunuh. Slogan yang digunakan adalah ‘ahimsa paramo dharmo’, ahimsa adalah dharma tertinggi. Di sini, jangankan binatang yang telah mampu merasakan rasa sakit dan senang, binatang kecil dan sederhana seperti semut pun tidak diperkenankan untuk dibunuh. Ide tentang pembunuhan mesti ditiadakan secara sempurna. Hanya ketika hal tersebut bisa dilakukan, ia baru dikatakan berada dalam dharma tertinggi. Menurut paham ini, ketenteraman baru terjadi hanya ketika tidak ada lagi yang tersakiti dan tidak ada ide untuk menyakiti. Sepanjang kesakitan itu masih ada, maka dunia dipastikan tidak akan tenteram, apakah yang disakiti itu manusia atau binatang. Binatang ketika dibunuh akan merasakan sakit yang luar biasa dan rasa sakit tersebut sama rasanya seperti manusia rasakan.
Melihat kedua ajaran ini, masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda tentang ketenteraman dan kesejahteraan. Tujuan yang sama tersebut didekati dengan cara yang berbeda. Ritualisme memandang bahwa dengan sarana binatang ketenteraman dan kesejahteraan tercapai, karena bhuta akan disomia, dan roh binatang itu ditingkatkan derajatnya. Sementara itu, praktisi ahimsa melihat bahwa ketenteraman dan kesejahteraan akan mencapai puncaknya ketika tidak ada makhluk apapun yang tersakiti. Manusia dan binatang yang hidup saling mengasihi dan harmoni akan memunculkan vibrasi positif bagi alam, sehingga atmosfer sekitar akan dimurnikan dari vibrasi tersebut. Bhuta kala akan kehilangan kekuatan merusaknya ketika terpapar oleh getaran kasih dan kemurnian.
Mana yang benar? Waktu yang bisa menjawabnya, karena kebenaran sejati itu bisa diraih di dalam kesadaran dan pemahaman yang benar. Pemahaman yang benar mesti ditemukan di dalam hubungan diantara semua makhluk hidup. Diktum agungnya adalah ‘tat tvam asi’, ‘vasudaiva kutumbhakam’, dan yang sejenisnya. Tetapi, jika yang dicari hanya pembenaran, maka kedua-duanya disebutkan di dalam teks, sehingga keduanya tampak benar. Tetapi, perkembangan kesadaran atau perluasan kesadaran manusialah yang mampu menjawabnya secara jujur. Jika manusia ke depan bisa mengembangkan kesadarannya sampai puncak, tentu di sanalah ditemukan jawabannya. Untuk sementara, biarlah apa yang telah terjadi sebagai jawabannya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar