Lentera : Kemenangan yang Sesungguhnya
DI sejumlah agama dan tradisi, manusia menyebut hari rayanya sebagai hari kemenangan.
Demikian juga dengan Hari Raya Galungan ala tetua Bali. Dalam catatan sejarah terlihat di sana ada perayaan kemenangan cahaya terhadap kegelapan. Kendati masih bisa ditanyakan ulang, cahaya dalam pengertian siapa, kegelapan dalam perspektif yang bagaimana?
Dan, dalam konteks kekinian, kemenangan punya wajah yang lain lagi. Memerlukan pendalaman yang lain lagi, terutama karena ilmu-ilmu manusia sifatnya selalu kontekstual, dipengaruhi oleh perkembangan banyak hal di putaran waktu tertentu.
Sulit mengingkari, di zaman ini energi yang daya hancurnya paling besar adalah kemarahan. Jangankan keluarga kecil, bahkan planet bumi bisa hancur dalam waktu singkat kalau pemimpin negara adi kuasa dibakar kemarahan menakutkan. Untuk itu, kemenangan pertama yang layak direnungkan adalah kemenangan atas kemarahan.
Sudah diteliti luas menggunakan mesin EEG (mesin pengukur gelombang otak), hambatan terbesar manusia di zaman ini agar bertumbuh secara spiritual adalah kegagalan untuk memaafkan, terutama karena energi kemarahan masih sangat menguasai di dalam. Kemarahan memang memiliki banyak wajah. Dari luka jiwa, karma buruk kehidupan lalu, harapan yang tidak menjadi kenyataan, sampai tumbuh di jalur hidup yang tidak sesuai dengan panggilan alami yang bersangkutan.
Apa pun wajah kemarahan yang ada di dalam, penting sekali mengembangkan energi pengimbang di dalam yang bisa menetralisasi energi kemarahan. Di jalan meditasi, energi pengimbang itu bernama praktek kesadaran. Kemenangan kedua yang layak direnungkan, belajar menang dari pengkondisian yang telah berumur sangat tua. Semua orang tidak mau kejahatan, tapi kejahatan terus bertumbuh di sepanjang waktu. Semua agama melarang kekerasan, tapi kekerasan selalu hadir di setiap zaman.
Dalam bahasa J Krisnamurti, ada pengkondisian yang sangat dalam pada diri manusia. Ia mirip pesawat TV yang remote controle-nya dipegang oleh orang lain. Makanya, Krisnamurti memberi judul maha karyanya dengan ‘freedom from the known’, yang artinya membebaskan diri dari hal-hal yang pernah diketahui, membebaskan diri dari segala bentuk pengkondisian.
Jika ilmu di sekolah sangat menekankan pentingnya kemampuan untuk mengingat, di jalan ini manusia sangat disarankan untuk memiliki keberanian spiritual buat melupakan. Persisnya, menghapus banyak pengetahuan yang pernah dikumpulkan. Seperti obatnya para dokter, obat yang menyembuhkan ribuan tahun lalu, belum tentu menyembuhkan di zaman ini. Di tingkat ini, dibutuhkan tokoh pemberani yang berani meramu obat yang cocok untuk tantangan di zaman ini. Belajar dari temuan-temuan di neuro-science (ilmu otak manusia) yang meneliti dampak praktek spiritual seperti meditasi terhadap gelombang otak, zaman ini sangat memerlukan obat indah bernama ‘memaafkan’. Termasuk dalam kegiatan memaafkan adalah melupakan kejadian buruk yang pernah melukai.
Orangtua dilukai nenek-kakek, sementara nenek-kakek dilukai oleh orangtua mereka. Tanpa keberanian memaafkan, maka mata rantai penderitaan akan terus berlanjut dari satu generasi ke generasi yang lain. Lebih dari sekadar memutuskan mata rantai penderitaan, memaafkan juga membuat seseorang berevolusi dari pihak yang kalah (baca: kalah melawan kemarahan), menjadi pihak yang menang. Begitu seseorang bisa menjadi pemenang, di sana ia bisa membebaskan diri dari pengkondisian yang jauh lebih dalam.
Kemenangan ketiga yang layak direnungkan adalah kemenangan melawan keinginan berlebihan. Ciri unik zaman ini, manusia yang meninggal karena kelebihan (baca: kelebihan makan, kelebihan gula, kelebihan narkoba), jumlahnya lebih banyak dari yang meninggal karena kekurangan.
Ia bercerita terang benderang, kalau mau sehat dan selamat, belajar berjarak secukupnya dengan segala bentuk keinginan berlebihan. Termasuk keinginan berlebihan untuk segera mengalami pencerahan, keinginan berlebihan untuk disebut suci, keinginan berlebihan untuk disebut rendah hati. Ia yang bisa membersihkan dirinya dari segala bentuk keinginan berlebihan inilah yang layak disebut sebagai pahlawan spiritual.
Sebagai jalan setapak menuju ke sana, layak direnungkan untuk mengikuti tiga langkah berikut ini. Pertama, belajar menjadi pendengar penuh empati pada semua bentuk lanskap di dalam. Bagi yang peka, di dalam dirinya ada banyak percakapan yang menyebut dirinya sebagai korban yang layak dikasihani. Sahabat yang tidak peka, persoalan waktu akan dikejar banyak rasa bersalah. Apa pun wajah lanskap di dalam, kurangi mengkritik diri, belajar penuh harmoni dengan segala wajah diri di dalam. Miliki keberanian untuk keluar dari pengkondisian tua melalui istilah dosa dan neraka.
Kedua, berhenti menjadi pembunuh bagi diri sendiri. Belajarlah menjadi penyembuh bagi diri sendiri. Orang yang sering mengkritik dirinya melalui judul dosa, neraka, hina adalah contoh manusia yang sedang membunuh dirinya secara pelan, namun meyakinkan. Kalau tidak berhenti, ia akan dikunjungi penyakit berbahaya. Yang dimaksud menjadi penyembuh bagi diri sendiri sederhana, apa yang disebut kesalahan hanya tumpukan pelajaran, bukan hukuman. Kemudian, bangkit dari lumpur rasa bersalah, lalu belajar tumbuh menjadi jiwa yang indah. Ingatkan diri lagi dan lagi, semua kejadian adalah wakil dari tarian kesempurnaan yang sama.
Ketiga, sulit diingkari kalau sekolah, kulturisasi, agama, tradisi membuat manusia menjadi manusia yang sama. Terutama agar masyarakat tumbuh tertata dalam norma, tidak terjadi kekacauan. Namun, begitu jiwa dewasa, apalagi bercahaya, seseorang akan merasa tidak nyaman tumbuh sebagaimana orang kebanyakan. Itu sebabnya, di sana-sini terlihat mata yang resah dan gelisah, sahabat yang mudah lelah. Bahkan, banyak yang marah-marah. Sebab utamanya, karena seseorang dipaksa tumbuh menjadi orang lain. Akibatnya, tubuh seperti rumah orang lain. Seindah apa pun penataannya di luar, tetap saja ada rasa tidak nyaman di dalam. Di tingkat inilah diperlukan terobosan spiritual agar bisa menjadi pribadi yang unik dan autentik.
Puluhan tahun lalu Ivan Illich pernah menulis maha karya berjudul ‘Deschooling Society’, membebaskan masyarakat dari pengaruh buruk sekolah. Ide ini terlalu maju ketika itu, sehingga tidak laku. Namun, di tengah putaran zaman di mana banyak manusia sudah terasing dalam tubuhnya sendiri, inilah saatnya untuk belajar mengenali kembali panggilan alami masing-masing. Rahasianya sering tersembunyi di balik mimpi-mimpi masa kecil, pelajaran yang mudah menarik minat di masa kecil, orang-orang yang menyentuh hati juga di masa kecil. Dari sini temukan benihnya, carikan lahan subur yang memungkinkan benih tumbuh indah.
Sebagaimana sering dibagikan, lumba-lumba memperindah lautan, kupu-kupu memperindah taman, Anda juga sedang memperindah kehidupan dengan menjadi diri Anda apa adanya. Ditemani ketekunan dan ketulusan, pada waktunya para sahabat akan menjadi pemenang yang sesungguhnya. Di sana juga teman-teman bisa mengucapkan selamat tinggal pada kemarahan, pengkondisian serta keinginan berlebihan. *)
Gede Prama
1
Komentar