Tahu Bali Leni-Lina
Bengkalis di Riau sana, adalah kampung nenek moyang Leni. Tapi, ia lahir, remaja, dewasa, hingga kini di Bali. Ia berteman karib dengan Lina, perempuan sebaya yang leluhurnya di Pontianak. Lina lahir dan dewasa di Manado.
Aryantha Soethama
Pengarang
Mereka bertemu tatkala menjadi peserta kemah budaya mahasiswa se-Nusantara di tepi Danau Beratan, Tabanan. Paras mereka mirip, hidung bangir, bola mata membelalak kalau keheranan, dan suka bilang “ooohhhh.... begitu....!” dengan wajah bersemu merah jika paham akan satu persoalan.
Rekan-rekan yang berkemah sangat senang dan selalu gembira berteman Leni dan Lina, karena mereka dua perempuan jauh bermukim, tapi seperti saudara kembar. Kendati begitu, mereka mudah dibedakan: Lina berambut seleher, Leni sepinggang. Kalau terlibat adu pendapat, Leni tenang, Lina lebih garang. Tapi, keduanya selalu kompak saling dukung dalam debat, sehingga diskusi kemah budaya itu jadi segar dan sumringah.
Suatu hari Leni berkirim SMS ke Lina di Manado sana. “Lin, kamu jadi ke Bali? Kapan?”
Lina segera membalas, “Jadi dong, tapi belum tau kapan.”
Sejenak Leni memelototi HP membaca pesan karibnya. “Tahu, Lin, bukan tau. Haha...”
“Oh, iya ya? Tahu temannya tempe juga berarti makanan kan? Yang kutahu kamu memang banyak tahu tentang Bali karena lahir di Bali. Tapi, memangnya Bali punya tahu? Seingatku, ketika kemah kita tak mencicipi tahu bali. Yang dihidangkan panitia tahu sumedang.”
“Nanti, kalau kamu ke Bali, kuantar kamu keliling-keliling cari tahu bali. Tahu lho, bukan tau. Hehe...”
Libur pertengahan tahun, Lina ke Bali. Tentu, Leni menepati janji mengantar Lina mencari-cari tahu bali. Ke luar masuk swalayan, yang mereka temukan tahu lombok, tahu sumedang, tahu jawa, dikemas dengan plastik. Tak mereka temukan tahu bali.
“Ayo kita cari di pasar-pasar,” ajak Lina. Mereka menelusuri Pasar Badung dan pasar desa memburu tahu. Yang mereka temukan sama saja, tahu lombok, tahu jawa, tahu sumedang. “Memangnya ada apa dengan tahu bali?” tanya Lina. Leni membisu, cuma geleng-geleng kepala, bahunya bergoyang-goyang. Baru ia sadari, ternyata Bali mengabaikan tahu.
“Mestinya kamu telusuri penyebabnya, mengapa tak kita temukan tahu bali,” saran Lina ketika mereka belanja oleh-oleh khas Bali di Pasar Seni Sukawati. Ketika itulah Leni membeli tipat santok dengan adonan kecambah, kelongkang, dan kangkung, di sisi timur jalan, di antara deretan padat toko-toko menjual oleh-oleh. Pedagang menawarkan, “Isi tahu, Mbak? Ini tahu khas Sukawati.”
Tentu Leni dan Lina berseri-seri tipat santok ditambah tahu. Mereka pun tahu, ternyata memang ada tahu bali. Orang lebih mengenalnya sebagai tahu sukawati, karena memang dibuat di Sukawati. Pembuat tahu ini tersebar di beberapa banjar, seperti di Banjar Palak, Banjar Tebuana, Banjar Gelumpang atau Banjar Tameng. Mendapatkan tahu sukawati tentu tak mudah, tak bisa dinikmati di sebarang waktu dan tempat. Tahu-tahu ini juga tidak tersedia di swalayan atau pasar-pasar di kota lain kecuali di Pasar Sukawati, Gianyar. Di Jalan Suli, Denpasar, ada warung yang memasang pemberitahuan menjual tahu sukawati, tapi sebatas siang hingga petang.
Tahu sukawati mudah diperoleh di Banjar Gelulung, Sukawati. Ni Sarti menjual tahu goreng di pekarangan rumah sejak pagi (untuk sarapan) hingga siang (buat yang bangun kesiangan). Jika sore, pedagang tahu goreng tersebar di banjar-banjar di Sukawati, dengan bumbu khas ketela bercampur bawang putih dan kacang, digoreng dan diulek, disuguhkan dengan guyuran kecap manis.
Leni dan Lina tak mampir ke warung-warung yang menjual tahu sukawati itu. Jika mereka menikmatinya, bisa jadi mereka bertanya-tanya, bolehkah tahu sukawati ini disebut sebagai tahu bali? Apakah desa-desa lain di Bali juga bikin tahu, dan khas? Orang-orang Sukawati sudah berbisnis tahu sejak berpuluh tahun silam, secara tradisional, menggiling kedele, bahan utama tahu, dengan batu. Beberapa usaha rakyat itu gulung tikar akibat kedele mahal karena diimpor, dolar naik. Tapi, muncul pengusaha tahu baru dengan pekerja dari Lombok atau Jawa Timur. Beberapa mulai mempekerjakan orang-orang dari Nusa Tenggara Timur.
Menjelang balik ke Manado, Lina menyodorkan gagasan kepada Leni. “Bagaimana kalau kita kemas tahu sukawati menjadi tahu bali, dan kita jual ke swalayan?” Leni cuma manggut-manggut mendengar usul itu. “Tahu memang makanan kelas rakyat, disantap orang-orang miskin. Tapi, kamu kan tahu, banyak orang kaya sekarang penganut vegetarian, demi kesehatan. Mereka butuh tahu bersih dan lezat. Nah, kepada mereka kita tawarkan tahu bali ini, bisa laku mahal.”
Leni terus manggut-manggut menanggapi rencana karibnya. “Kamu kok manggut-manggut saja sih?” sergah Lina. “Kita namai bisnis ini Tahu Bali Leni-Lina. Keren kan?”
Leni tersenyum, masih terus manggut-manggut, goyang-goyang kaki. Ia sibuk sendiri membayangkan jika tahu cap Leni-Lina terkenal, diburu banyak orang. “Aku akan kaya raya,” bisiknya dalam hati. Jantungnya berdebar-debar. 7
Komentar