Baju Adat Berbahan Chiffon Banyak Dipilih Murid dan Pegawai
Jika Pergub Nomor 97 Tahun 2018 membuat pedagang plastik merugi hampir 50 persen, namun Pergub Nomor 79 Tahun 2018 malah menjadi keuntungan tersendiri bagi pedagang baju adat Bali.
DENPASAR, NusaBali
Menurut penuturan salah satu penjaga toko baju adat Bali di kawasan Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, keuntungannya dapat mencapai puluhan juta dalam sehari.
“Pertama-pertama sih jelas banget. Waktu ini, pas pertama kali diberlakukan peraturan, naiknya itu banyak banget. Yang awalnya sehari dapat jualan Rp 3 juta, sekarang bisa sampai belasan juta. Kebanyakan beli kebaya dan kamen,” ujar Dewi, penjaga toko baju adat Bali kepada NusaBali, Senin (28/1).
Dewi pun mengaku pembelian kerap terjadi di hari Rabu atau hari lain menjelang Kamis. Setelah Pergub tersebut telah dianggap biasa, pembelian kembali ke arah normal, namun masih tetap untung dibanding saat sebelum pergub ditetapkan. Kini, kebaya berbahan chiffon yang banyak dicari oleh para pelanggan yang kebanyakan berstatus murid dan pegawai. “Yang kebanyakan dicari anak sekolahan dan pegawai itu, baju yang bahannya kain chiffon karena tidak diizinkan pakai brokat kan, jadi harus tertutup,” sambung wanita berdarah campuran Jawa dan Bali itu.
Sementara, Kepala Sekolah SDN 3 Pemecutan, Ni Made Meni, mengungkapkan sikap setujunya terhadap pergub yang dirancang Gubernur Koster tersebut.
“Kalau tentang penggunaan busana adat ini, saya merasa senang, bangga, dan setuju. Mengapa? Ada alasannya, selain kita dapat melestarikan budaya adat Bali ya, kita juga bisa menunjukkan bagaimana sih budaya kita. Yang jelas saya setuju dengan pergub ini, selaku Kepala Sekolah di SDN 3 Pemecutan,” ungkap perempuan yang telah 2 tahun diangkat menjadi Kepala Sekolah di SDN 3 Pemecutan tersebut kepada NusaBali di hari yang sama.
Meski setiap orang memiliki busana adatnya masing-masing yang bisa saja beragam, namun Made Meni tidak memperkenankan kebiasaan berganti-ganti kostum itu dipupuk. Dirinya dan guru-guru lain sepakat agar baju adat Bali mereka diseragamkan agar tidak terjadi kesenjangan sosial satu sama lain di kalangan guru-guru dan pegawai. “Kalau di sekolah dengan guru-guru, kami tidak terlalu memperhatikan biar bervariasi setiap Kamisnya, ndak. Biar murah, sederhana, tapi seragam, menunjukkan rasa persatuan kami. Saya hanya punya satu seragam (baju adat) setiap Kamis, itu juga yang dipakai oleh guru-guru kami secara serentak,” tambah Made Meni sambil menunjuk sebuah foto berukuran besar yang memperlihatkan barisan guru-guru SDN 3 Pemecutan saat mengenakan pakaian adat Bali.
Meski menjadi kepala sekolah, perempuan asal Desa Pangsan, Petang, Badung, tersebut tidak ingin menjadi yang mentereng di antara guru-guru atau murid-muridnya karena ia ingin memberi contoh untuk berbusana yang sopan dan baik. Mengenai pergub ini, dia pun berharap agar tidak berhenti sampai di sini saja dan bisa berkelanjutan. “Harapan ke depan untuk pergub ini, biar bisa berkelanjutan. Jangan seperti hangat-hangat tahi ayam, kalau sudah begini kan bagus ya. Jadinya kita itu sebagai orang Bali harus menerapkan ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,’” tutup Meni. *cr41
“Pertama-pertama sih jelas banget. Waktu ini, pas pertama kali diberlakukan peraturan, naiknya itu banyak banget. Yang awalnya sehari dapat jualan Rp 3 juta, sekarang bisa sampai belasan juta. Kebanyakan beli kebaya dan kamen,” ujar Dewi, penjaga toko baju adat Bali kepada NusaBali, Senin (28/1).
Dewi pun mengaku pembelian kerap terjadi di hari Rabu atau hari lain menjelang Kamis. Setelah Pergub tersebut telah dianggap biasa, pembelian kembali ke arah normal, namun masih tetap untung dibanding saat sebelum pergub ditetapkan. Kini, kebaya berbahan chiffon yang banyak dicari oleh para pelanggan yang kebanyakan berstatus murid dan pegawai. “Yang kebanyakan dicari anak sekolahan dan pegawai itu, baju yang bahannya kain chiffon karena tidak diizinkan pakai brokat kan, jadi harus tertutup,” sambung wanita berdarah campuran Jawa dan Bali itu.
Sementara, Kepala Sekolah SDN 3 Pemecutan, Ni Made Meni, mengungkapkan sikap setujunya terhadap pergub yang dirancang Gubernur Koster tersebut.
“Kalau tentang penggunaan busana adat ini, saya merasa senang, bangga, dan setuju. Mengapa? Ada alasannya, selain kita dapat melestarikan budaya adat Bali ya, kita juga bisa menunjukkan bagaimana sih budaya kita. Yang jelas saya setuju dengan pergub ini, selaku Kepala Sekolah di SDN 3 Pemecutan,” ungkap perempuan yang telah 2 tahun diangkat menjadi Kepala Sekolah di SDN 3 Pemecutan tersebut kepada NusaBali di hari yang sama.
Meski setiap orang memiliki busana adatnya masing-masing yang bisa saja beragam, namun Made Meni tidak memperkenankan kebiasaan berganti-ganti kostum itu dipupuk. Dirinya dan guru-guru lain sepakat agar baju adat Bali mereka diseragamkan agar tidak terjadi kesenjangan sosial satu sama lain di kalangan guru-guru dan pegawai. “Kalau di sekolah dengan guru-guru, kami tidak terlalu memperhatikan biar bervariasi setiap Kamisnya, ndak. Biar murah, sederhana, tapi seragam, menunjukkan rasa persatuan kami. Saya hanya punya satu seragam (baju adat) setiap Kamis, itu juga yang dipakai oleh guru-guru kami secara serentak,” tambah Made Meni sambil menunjuk sebuah foto berukuran besar yang memperlihatkan barisan guru-guru SDN 3 Pemecutan saat mengenakan pakaian adat Bali.
Meski menjadi kepala sekolah, perempuan asal Desa Pangsan, Petang, Badung, tersebut tidak ingin menjadi yang mentereng di antara guru-guru atau murid-muridnya karena ia ingin memberi contoh untuk berbusana yang sopan dan baik. Mengenai pergub ini, dia pun berharap agar tidak berhenti sampai di sini saja dan bisa berkelanjutan. “Harapan ke depan untuk pergub ini, biar bisa berkelanjutan. Jangan seperti hangat-hangat tahi ayam, kalau sudah begini kan bagus ya. Jadinya kita itu sebagai orang Bali harus menerapkan ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,’” tutup Meni. *cr41
Komentar