Gaungkan ‘Bali Bukan Pulau Plastik’ melalui Film Dokumenter
Sebuah film dokumenter bertajuk ‘Pulau Plastik’ akan diluncurkan oleh Kopernik, Akarumput, dan Visinema Pictures pada Jumat (1/2) nanti di Potato Head Bali.
DENPASAR, NusaBali
Film yang terbagi atas 8 seri ini menitikberatkan pada bagaimana masyarakat lokal sadar akan pengelolaan sampah plastik yang benar.
“Style dari Pulau Plastik ini adalah lebih kepada ‘solution based’ bagaimana tiga komponen yang kita anggap penting, yang sinergis dalam menyelesaikan sebuah masalah adalah pemerintah, masyarakat, dan korporat. Duduk bersama-sama mencari solusi, entah itu dari pemerintah atau dari masyarakat adat,” papar Gede Robi Supriyanto sebagai pembuka dalam jumpa pers Film Pulau Plastik, Rabu (30/1), di Kubu Kopi, Denpasar
Adapun per serinya, film dokumenter yang dipandu langsung oleh Gede Robi (Navicula) dan disutradarai oleh Dandhy D Laksono, tersebut akan membahas tentang mengapa isu plastik itu penting, data-data akademis tentang jumlah sampah plastik di Bali, lalu plastik juga merupakan sebuah permasalahan yang penyebab dan solusinya ada pada tiap-tiap orang, tentang eksistensi pemulung, industri makanan yang berpengaruh besar terhadap plastik, hingga gerakan masyarakat adat dalam konteks Tri Hita Karana.
Berdasarkan data yang dihimpun tim film dari berbagai sumber, Pulau Bali telah menghasilkan hingga 268 ton sampah plastik setiap harinya, dan 44 persen tidak diolah sehingga mencemari lingkungan. Sementara, 45 persen dari sampah yang ditemukan di pesisir Bali merupakan ‘plastik lunak’ dan 15 persen-nya lagi adalah plastik keras dan besi. Plastik lunak yang terbanyak adalah plastik kemasan makanan (40 persen), kemudian sedotan (17 persen), dan tas plastik (15 persen).
Data lain juga menyebutkan, Indonesia menghasilkan lebih dari 45,3 juta ton sampah per tahunnya, sepertiga dari angka tersebut tidak mendapat penanganan baik. Lalu, konsumsi plastik di Indonesia mencapai 4.000 ton tiap harinya, yang mengindikasikan bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah plastik kedua terbesar di dunia setelah Tiongkok.
Film dokumenter yang telah digagas sejak setahun lalu itu juga menyasar banjar-banjar dan tempat-tempat umum lainnya untuk pemutarannya setelah seri pertama diluncurkan. “Kita akan ada gerilya pemutaran di beberapa tempat. Kita akan coba di Tukad Badung dulu, lalu banjar-banjar. Kita benar-benar ingin memberikan ruang pada banjar untuk dapat mengakses film ini sebagai edukasi mereka,” timpal Andre perwakilan Kopernik.
Dari film dokumenter ini, Robi pun berharap agar gaung untuk mengurangi sampah plastik tidak hanya berhenti di pergub dan perwali, tetapi juga harus ada perda yang memuat sanksi bagi oknum yang membuang sampah sembarangan. Selain itu, pemilahan sampah juga penting, sehingga sampah menjadi tepat guna dan malah bisa dijadikan komoditas yang menghasilkan. “Saya yakin kalau pemerintah mau dan menjadikan ini prioritas, pasti bisa,” tutur Robi. *cr41
Film yang terbagi atas 8 seri ini menitikberatkan pada bagaimana masyarakat lokal sadar akan pengelolaan sampah plastik yang benar.
“Style dari Pulau Plastik ini adalah lebih kepada ‘solution based’ bagaimana tiga komponen yang kita anggap penting, yang sinergis dalam menyelesaikan sebuah masalah adalah pemerintah, masyarakat, dan korporat. Duduk bersama-sama mencari solusi, entah itu dari pemerintah atau dari masyarakat adat,” papar Gede Robi Supriyanto sebagai pembuka dalam jumpa pers Film Pulau Plastik, Rabu (30/1), di Kubu Kopi, Denpasar
Adapun per serinya, film dokumenter yang dipandu langsung oleh Gede Robi (Navicula) dan disutradarai oleh Dandhy D Laksono, tersebut akan membahas tentang mengapa isu plastik itu penting, data-data akademis tentang jumlah sampah plastik di Bali, lalu plastik juga merupakan sebuah permasalahan yang penyebab dan solusinya ada pada tiap-tiap orang, tentang eksistensi pemulung, industri makanan yang berpengaruh besar terhadap plastik, hingga gerakan masyarakat adat dalam konteks Tri Hita Karana.
Berdasarkan data yang dihimpun tim film dari berbagai sumber, Pulau Bali telah menghasilkan hingga 268 ton sampah plastik setiap harinya, dan 44 persen tidak diolah sehingga mencemari lingkungan. Sementara, 45 persen dari sampah yang ditemukan di pesisir Bali merupakan ‘plastik lunak’ dan 15 persen-nya lagi adalah plastik keras dan besi. Plastik lunak yang terbanyak adalah plastik kemasan makanan (40 persen), kemudian sedotan (17 persen), dan tas plastik (15 persen).
Data lain juga menyebutkan, Indonesia menghasilkan lebih dari 45,3 juta ton sampah per tahunnya, sepertiga dari angka tersebut tidak mendapat penanganan baik. Lalu, konsumsi plastik di Indonesia mencapai 4.000 ton tiap harinya, yang mengindikasikan bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah plastik kedua terbesar di dunia setelah Tiongkok.
Film dokumenter yang telah digagas sejak setahun lalu itu juga menyasar banjar-banjar dan tempat-tempat umum lainnya untuk pemutarannya setelah seri pertama diluncurkan. “Kita akan ada gerilya pemutaran di beberapa tempat. Kita akan coba di Tukad Badung dulu, lalu banjar-banjar. Kita benar-benar ingin memberikan ruang pada banjar untuk dapat mengakses film ini sebagai edukasi mereka,” timpal Andre perwakilan Kopernik.
Dari film dokumenter ini, Robi pun berharap agar gaung untuk mengurangi sampah plastik tidak hanya berhenti di pergub dan perwali, tetapi juga harus ada perda yang memuat sanksi bagi oknum yang membuang sampah sembarangan. Selain itu, pemilahan sampah juga penting, sehingga sampah menjadi tepat guna dan malah bisa dijadikan komoditas yang menghasilkan. “Saya yakin kalau pemerintah mau dan menjadikan ini prioritas, pasti bisa,” tutur Robi. *cr41
Komentar