Industri Makanan Melonjak, Pakaian Jadi Anjlok
Sektor industri manufaktur memberi kontribusi signifikan pada pergerakan perekonomian Bali.
DENPASAR, NusaBali
Hal itu mengacu pertumbuhan positif produksi manufaktur,khususnya industri manufaktur Industri Besar dan Sedang (IBS). Dari 7 jenis industri berdasarkan klasifikasi bahan bakunya, 6 industri surplus. Hanya satu jenis industri yakni industri pakaian jadi yang tumbuh negatif alias anjlok.
Hal tersebut terungkap dari penjelasan Kepala BPS Provinsi Bali Adi Nugroho, Jumat (1/2). Dijelaskan pada triwulan IV 2018 lalu, Industri makanan tumbuh 40,72 persen, industri minuman 18,14 persen, industri tekstil 28,27 persen. Disusul industri kayu, barang dari kayu dan gabus, anyaman dan barang dari bambu tumbuh 0,67 persen. Industri furnitur 6,58 persen dan industri pengolahan jasa lainnya 18,80 persen. Sedangkan industri pakaian jadi tumbuh minus (-21,05 ) persen.
Faktor konsumsi, diyakini menjadi pendorong lonjakan pertumbuhan industri makanan. Konsumsi tersebut baik oleh masyarakat Bali sendiri dan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. “Ini memberi gambaran berapa pun produksi makanan yang dihasilkan akan terserap karena dibutuhkan,” kata Adi Nugroho.
Ditambahkan Kabid Bidang Statistik Produksi, Sapto Wintardi, untuk triwulan IV 2018 pertumbuhan industri makanan juga terpengaruh peningkatan konsumsi yang bertalian dengan serentetan hari besar keagamaan (Galungan dan Natal) serta tahun baru 2019.
Fakta inilah menurut Adi Nugroho yang selalu memberi peluang terbuka tumbuhnya industri makanan melampaui pertumbuhan industri manufaktur lainnya. Sejauh ini BPS mencatat, industri makanan hampir selalu memberi sumbangan sebagai industri yang terbesar pertumbuhannya. “Selama ini memang hampir selalu demikian,” ujarnya.
Sebaliknya dengan industri pakaian jadi. Pertumbuhan industri pakaian jadi, anjlok (-21,05 ) persen dibandingkan triwulan IV tahun 2017. “Ini tidak menggembirakan,” ujarnya.
Diperkirakan hal itu karena faktor kebutuhan pakaian pada masyarakat Bali yang relatif sama dengan masyarakat lainnya.
Kalau ada kunjungan wisatawan, tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan industri pakaian jadi. Faktor lain, adalah supplier industri pakaian jadi kemungkinan lebih banyak tumbuh di luar Bali, sehingga juga berpengaruh terhadap capaian atau jumlah produksi pakaian jadi di Bali.
Karena itulah tandas Adi Nugroho, tidak mengherankan kalau produksi industri manufaktur pakaian di wilayah Bali tidak mengembirakan. “ Tidak seperti tumbuhnya industri makanan,” tandas Adi Nugroho.
Sementara secara umum industri besar sedang (IBS) tumbuh 9,86 persen dan industri mikro kecil (IMK) tumbuh 22,70 persen. *k17
Hal itu mengacu pertumbuhan positif produksi manufaktur,khususnya industri manufaktur Industri Besar dan Sedang (IBS). Dari 7 jenis industri berdasarkan klasifikasi bahan bakunya, 6 industri surplus. Hanya satu jenis industri yakni industri pakaian jadi yang tumbuh negatif alias anjlok.
Hal tersebut terungkap dari penjelasan Kepala BPS Provinsi Bali Adi Nugroho, Jumat (1/2). Dijelaskan pada triwulan IV 2018 lalu, Industri makanan tumbuh 40,72 persen, industri minuman 18,14 persen, industri tekstil 28,27 persen. Disusul industri kayu, barang dari kayu dan gabus, anyaman dan barang dari bambu tumbuh 0,67 persen. Industri furnitur 6,58 persen dan industri pengolahan jasa lainnya 18,80 persen. Sedangkan industri pakaian jadi tumbuh minus (-21,05 ) persen.
Faktor konsumsi, diyakini menjadi pendorong lonjakan pertumbuhan industri makanan. Konsumsi tersebut baik oleh masyarakat Bali sendiri dan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. “Ini memberi gambaran berapa pun produksi makanan yang dihasilkan akan terserap karena dibutuhkan,” kata Adi Nugroho.
Ditambahkan Kabid Bidang Statistik Produksi, Sapto Wintardi, untuk triwulan IV 2018 pertumbuhan industri makanan juga terpengaruh peningkatan konsumsi yang bertalian dengan serentetan hari besar keagamaan (Galungan dan Natal) serta tahun baru 2019.
Fakta inilah menurut Adi Nugroho yang selalu memberi peluang terbuka tumbuhnya industri makanan melampaui pertumbuhan industri manufaktur lainnya. Sejauh ini BPS mencatat, industri makanan hampir selalu memberi sumbangan sebagai industri yang terbesar pertumbuhannya. “Selama ini memang hampir selalu demikian,” ujarnya.
Sebaliknya dengan industri pakaian jadi. Pertumbuhan industri pakaian jadi, anjlok (-21,05 ) persen dibandingkan triwulan IV tahun 2017. “Ini tidak menggembirakan,” ujarnya.
Diperkirakan hal itu karena faktor kebutuhan pakaian pada masyarakat Bali yang relatif sama dengan masyarakat lainnya.
Kalau ada kunjungan wisatawan, tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan industri pakaian jadi. Faktor lain, adalah supplier industri pakaian jadi kemungkinan lebih banyak tumbuh di luar Bali, sehingga juga berpengaruh terhadap capaian atau jumlah produksi pakaian jadi di Bali.
Karena itulah tandas Adi Nugroho, tidak mengherankan kalau produksi industri manufaktur pakaian di wilayah Bali tidak mengembirakan. “ Tidak seperti tumbuhnya industri makanan,” tandas Adi Nugroho.
Sementara secara umum industri besar sedang (IBS) tumbuh 9,86 persen dan industri mikro kecil (IMK) tumbuh 22,70 persen. *k17
Komentar