Menjadi Tempat Ibadah Umat Budha, Konghucu, Agama Tao
Menurut Humas Pengurus Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Ling Gwan Kiong, Pipit Budiman Teja alias Pikhong, Klenteng Ling Gwan Kiong merupakan salah satu dari 9 klenteng di Indonesia yang memiliki pemujaan dewa utama Chen Fu Zhen Ren
Klenteng Ling Gwan Kiong, Tempat Peribadatan Umat Tri Dharma Tertua di Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Klenteng Ling Gwan Kiong yang berlokasi di bekas Pelabuhan Buleleng kawasan Kelurahan Kampung Bugis, Kota Singaraja, Kecamatan Buleleng merupakan salah satu Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) tertua di Bali. Klenteng Ling Gwan Kiong ini didirikan sekitar tahun 1873 silam.
Klenteng Ling Gwan Kiong sangat gampang dijangkau, karena berada di pinggir jalur Utama Singaraja-Kintamani. Begitu masuk ke kawasan Eks Pelabuhan Buleleng dari sebelah barat jembatan peninggalan Belanda di Kampung Tinggi Singaraja, akan melihat dengan jelas bangunan berwarna merah yang sangat kental dengan etnis Tionghoa. Bangunan tua ini menghadap arah utara (laut) bernuansa warna merah terang yang disertai jembatan kecil diapit patung naga, dengan atap menyerupai ekor wallet.
Menurut Humas TITD Ling Gwan Kiong, Pipit Budiman Teja alias Pikhong, pendirian Klenteng Ling Gwang Kiong yang merupakan klenteng terbesar di Kabupaten Buleleng berangka tahun 1873. Sebelumnya, bangunan klenteng sempat didirikan di seberang jalan lokasi saat ini (sisi selatan jalur Singaraja-Kintamani), sebelum akhirnya digeser lebih ke utara.
“Berdasarkan petunjuk prasasti, Piene, dituliskan dengan huruf Tionghoa, klenteng ini sudah ada pada zaman Dinasti Chang sekitar tahun 1873,” ujar Pikhong saat ditemui NusaBali di Klenteng Ling Gwang Kiong, Minggu (3/2).
Menurut Pikhong, sejarah itu didapatkan dari cerita leluhurnya terdahulu, termasuk cerita ekshebisi warga Tionghoa pertama kali masuk ke Buleleng yang hanya disampaikan secara verbal. Pikhong mengaku tidak memiliki sumber pasti terkait hal tersebut.
Sebelum banguanan Klenteng Ling Gwang Kiong berdiri megah seperti sekarang, pengurus TITD Ling Gwang Kiong sempat beberapa kali melakukan pemugaran. Pikhong mengatakan, pemugara besar-besaran dilakukan tahun 1970. Meski dilakukan pemugaran besar-besaran, namun tembok bangunan klenteng tidak ada perubahan. “Perbaikan besar-besraan saat itu sebatas perubahan lantai yang menggunakan tehel, juga perubahan ornamen. Sedangkan tembok Klenteng Ling Gwang Kiong tetap dipertahankan seperti awal,” papar Pikhong.
Sebagaimana klenteng pada umumnya, di Klenteng Ling Gwan Kiong juga terpajang beberapa ornamen umum, seperti tulisan pantun berpasangan yang dipasang bersebelahan, gambaran yang menceritakan kisah kehdupan warga Tionghoa, serta 28 bintang menurut ajaran Tionghoa yang digambarkan di sisi dinding. Sedangkan di bagian utama bangunan Klenteng Ling Gwang Kiong, berderet 11 altar para dewa yang distanakan.
Pikhong menyebutkan, Klenteng Ling Gwan Kiong merupakan tempat ibadah umat Tri Dharma yang terdiri dari umat Budha, Konghucu, dan agama Tao. Hal itu tercermin dari ornamen dan dewa-dewa yang distanakan di klenteng ini, seperti dewa utama yang disungsung ribuan umat Tri Dharma yakni Dewa Tan Hu Cin Jin atau Chen Fu Zhen Ren.
Pemujaan dewa utama di Klenteng Ling Gwan Kiong, kata Pikhong, sudah diwarisi dari leluhurnya secara turun temurun. Dewa Dewa Tan Hu Cin Jin atau Chen Fu Zhen Ren disebutkan bermakna manusia sakti dari marga Tan, mewakili agama Tao beserta sejumlah dewa dalam altar yang distanakan di sebelah barat dewa utama.
Pemujaan dewa utama Chen Fu Zhen Ren, kata Pihkong, hanya dilakukan di 9 klenteng yang ada di Indonesia. Empat di antaranya berada di Bali, yakni Klenteng Ling Gwan Kiong (di Buleleng), klenteng di Kuta (Badung), klenteng di Tabanan, dan klenteng di Jembrana. Sedangkan 4 klenteng lainnya yang ada pemujaan dewa utama Chen Fu Zhen Ren, masing-maisng berada Probolinggo (Jawa Timur), Besuki (Jawa Timur), Rogojampi (Jawa Timur), dan Banyuwangi (Jawa Timur). Sati klenteng lainnya lagi berada di Lombok, NTB.
Pikhong mengatakan, selain pemujaan dewa utama dan sejumlah dewa lainnya yang mewakil agama Tao, di Klenteng Ling Gwan Kiong juga distanakan Dewi Kwan Im, yang mewakili agama Budha. Sedangkan kepercayaan Konghucu-nya dianut dari rangkaian persembahyangan bersujud kepada Tuhan. Hal itu ditandai dengan persembahyang menghadap ke langit. “Biasanya, persembahyangan ini dilakukan di depan pintu masuk klenteng,” katanya.
Pikhong sendiri tidak tahu persis, kapan warga Tionghoa pertama kali masuk ke wilayah Buleleng. Namun, dari keberadaan klenteng tertua Ling Gwan Kiong di Buleleng, diperkirakan warga Tionghoa sudah sudah masuk ke Buleleng berpuluh tahun sebelum didirikannya klenteng ini pada 1873.
“Kemiungkinan beberapa puluh tahun sebelum adanya klenteng ini sudah masuk warga Tionghoa ke Buleleng. Itu bisa dilihat dari kuburan China tertua di Kelurahan Banyuasri (Singaraja), yang sudah ada jauh sebelum dibangunnya Klenteng Ling Gwan Kiong ini,” papar Pikhong.
Bukti lainnya pernah didapatkan Pikhong melalui sebuah batu nisan di sekitar Puri Singaraja, bertuliskan angka yang sama dengan dibangunnya Klenteng Ling Gwan Kiong ini. Berdasarkan sejarah, ada keturunan Raja Buleleng yang menikah dengan warga Tionghoa.
Menurut Pikhong, pemerintah dan masyarakat Buleleng menunjukkan toleransi sangat tinggi terhadap umat Tri Dharma Klenteng Ling Gwan Kiong. Umat Tri Dharma di Buleleng yang kini mencapai 4.000 jiwa lebih, mendapat perlakukan yang sangat terhormat dan hidup rukung saling berdampingan dengan umat keyakinan lainnya.
“Yang sangat dirasakan adalah tingginya toleransi masyarakat dan pemerintah kepada kami. Buktinya, di zaman Orde Baru yang banyak pembatasan dan larangan budaya Tionghoa, tapi kami di sini tak pernah diutak-atik. Kami juga akhirnya tahu diri. Mungkin di negara lain, belum tentu ada toleransi begini,” sebut Pikhong. *k23
1
Komentar